24

666 133 3
                                    

***

"Aku akan langsung mengabarimu begitu aku tahu sesuatu. Untuk sekarang, jangan mengatakan apapun, kita tidak tahu ayahmu benar-benar menerima suap atau tidak," ucap Lisa, berbohong kepada Taeyong yang ia telepon. Tentu Lisa tahu, kalau tuduhan korupsi itu benar. Lisa tahu betul bagaimana, darimana dan berapa jumlah suap yang Lee Byunghun terima selama beberapa tahun terakhir.

"Kau tidak bisa datang ke sini?"

"Aku akan ke sana, nanti setelah aku tahu apa yang terjadi pada ayahmu. Sekarang, aku harus menemui seseorang, kurasa dia tahu yang sebenarnya terjadi pada ayahmu-"

"Siapa yang kau temui? Kau tidak meminta bantuan gangster untuk mencuri laporan yang dikirim ke kantor polisi kan?" potongnya.

"Kalau aku bisa mendapatkan informasi dari gangster bahkan gelandang sekali pun, aku akan menemuinya. Jangan khawatir, aku yakin ayahmu bersih," bohongnya sekali lagi, kali ini bersamaan dengan Jiyong yang masuk ke dalam mobilnya— tempat Lisa menunggu.

"Jangan. Jangan bertemu dengannya kalau dia gangster. Kau tidak perlu melakukannya," larang Taeyong.

"Sadarlah Lee Taeyong. Bukankah kau meneleponku untuk ini? Kau ingin tahu apa ayahmu benar-benar menerima suap itu atau tidak, iya kan? Tunggu saja di sana. Aku akan ke sana lalu memberitahumu kebenarannya," Lisa mencoba untuk menenangkan temannya yang kebingungan itu, namun Jiyong sudah menyuruh Lisa cepat-cepat mengakhiri panggilannya. "Informanku datang, aku telepon lagi nanti," pamit Lisa, langsung mengakhiri panggilannya tanpa menunggu respon dari Taeyong.

Begitu Lisa menyimpan handphonenya, Jiyong mengatakan kalau pria Rusia yang tadi Lisa temui datang untuk mendapatkan obat baru darinya. Transaksi mereka berhasil, dan si pria Rusia tertarik pada Mrs. Twig. Pria Rusia itu ingin makan malam bersama Mrs. Twig dan Jiyong bisa mengatur janji untuk mereka, kalau Mrs. Twig mau. Tuan Ji bisa saja memberikan Mrs. Twig pada pria Rusia itu, selama si pria Rusia bisa membayarnya.

Namun Lisa tidak tertarik dengan tawaran itu. Ia tidak ingin tahu bagaimana bisnis Tuan Ji berjalan, ia tidak ingin tahu tentang si pria Rusia bahkan pengaruhnya. Yang Lisa ingin tahu adalah kenyataan yang ada di belakangnya— siapa yang membunuh dua Kepala Kepolisian di sekitarnya.

"Kau tidak membunuh Lee Byunghun tapi menyuruh seseorang membunuhnya? Bukankah itu sama saja?" tanya Lisa, sebab Tuan Ji tidak memberinya jawaban pasti.

"Kalau aku melakukan itu, kau akan marah padaku?" balas Jiyong, juga bertanya.

"Aku marah atau tidak, apa itu penting untukmu? Anggaplah aku tidak marah, tapi membunuh orang hanya untuk menggagalkan rencananya memenjarakanku, bukan kah itu berlebihan?"

"Sudah ku bilang aku belum melakukan apapun untuk itu. Semalam aku sibuk denganmu, lalu sejak pagi aku sibuk dengan pekerjaanku, aku belum sempat memikirkan cara agar kau tidak dipenjara."

"Kau tidak perlu berfikir untuk membunuh seseorang."

"Memang! Tapi kalau dia masih bisa memberiku keuntungan, untuk apa aku membunuhnya?"

"Jangan berbelit-belit, jadi... Kau membunuhnya atau tidak?"

"Aku tidak membunuh Lee Byunghun."

"Berarti kau membunuh Kepala Kepolisian yang memukulku," tebak Lisa dan Jiyong menghela nafasnya.

"Dia melukai kakiku dan anak buahku menembaknya, itu tidak direncanakan, itu kecelakaan."

"Kau terkilir karena Pak Tua sepertinya? Ternyata kau tidak sekuat kelihatannya," komentar Lisa, menendang pelan kaki Jiyong, membuat pria itu balas menendang milik Lisa. Bukan tendangan keras yang menyakitkan, namun karena Lisa menendang di tempat yang tepat, Jiyong sempat meringis karena nyeri. "Lalu dimana mayatnya?" susulnya ingin tahu.

"Tenggelam, entah dimana. Tapi ada apa dengan reaksimu? Kau baik-baik saja? Aku membunuh Pak Tua itu karenamu. Kau tidak merasa bersalah?"

"Kau bilang itu kecelakaan," sinis Mrs. Twig, membuat Tuan Ji terjebak dalam pilihan katanya sendiri. "Tapi kematian Lee Byunghun bukan kecelakaan kan? Kau tahu siapa yang membunuhnya, iya kan?" susulnya namun Tuan Ji enggan menjawab pertanyaan itu.

Hampir satu jam perjalanan, Jiyong mengabaikan Lisa dengan menyibukkan dirinya bersama beberapa file transaksi di handphonenya. Lisa yang kesal di abaikan menarik handphone pria itu, membuat pria itu menoleh padanya, memberikan semua perhatian kepadanya. "Bukankah kau sedikit keterlaluan? Kalau kau tidak ingin menjawab pertanyaanku, untuk apa aku duduk di sini?" sebal Mrs. Twig, meletakan kembali handphone Tuan Ji di atas kursi mobil itu setelah Tuan Ji menoleh menatapnya.

"Aku akan mengajakmu bertemu pembunuhnya. Duduk di sini atau turun dari sini, lakukan yang kau mau," balas Jiyong membuat Lisa memalingkan wajahnya. Duduk tenang di sebelah pria itu sembari menatap keluar jendela, menghindari Jiyong dan tatapan sinisnya.

Tuan Ji berdecak, mengeluh sebab saat ini Lisa terlalu rewel, terlalu menyebalkan untuk bisa ia atasi. Mendengar keluhan Jiyong, Mrs. Twig hanya bisa menutup rapat-rapat telinganya. Meski tersinggung, ia tidak bisa menunjukannya, ia tidak boleh menunjukannya kecuali dirinya mau diturunkan di jalanan sepi, sepanjang lereng tebing. Entah kemana mereka akan pergi, kalau suasana hatinya baik, Lisa pasti senang berkendara di sana. Melihat pemandangan laut yang luas di sela-sela pepohonan tinggi yang tidak terlalu lebat.

Mobil itu terus naik ke atas, berkendara sampai sebuah pondok terlihat berdiri kokoh di ujung jalannya. Pondok itu adalah satu-satunya rumah di sana. Sedikit berbeda dari sebelumnya, pondok itu jadi lebih tertutup sekarang. Di ujung jalannya ada sebuah pagar tinggi yang di jaga dua pria berkaus lusuh. Kaus tanpa lengan yang mereka pakai memperlihatkan lekuk otot mereka, terlihat padat dan kuat.

Melaju lagi beberapa meter, mobil akhirnya berhenti di pekarangan luas, di hadapan sebuah pondok dengan gudangnya. "Kenapa dia menaruh banyak penjaga sekarang? Dia takut ketahuan?" komentar Jiyong, membicarakan penjaga di gerbang, juga empat orang penjaga bersenjata di pekarangan.

Sembari mengikat rambut panjangnya, Mrs. Twig keluar dari mobil itu. Supir Jiyong dengan sopan membuka dan menutup pintu mobil untuknya sementara ia menghampiri Jiyong. "Siapa yang tinggal di sini?" tanya Lisa, berdiri di sebelah Jiyong sembari menyimpan handphonenya ke dalam saku. Pintu geser di gudang sebelah pondok kemudian terbuka. Seorang penjaga yang membukakannya, mempersilahkan Jiyong dan orang-orangnya untuk masuk ke sana.

"Orang yang kau cari, pembunuhnya," balas Jiyong, juga menyimpan handphonenya ke dalam saku pakaiannya kemudian meminta sebatang rokok kepada asistennya. "Masuk saja duluan, aku merokok sebentar-"

"Bagaimana aku bisa masuk tanpamu, masuk saja sambil merokok," potong Lisa, meraih lengan Jiyong, memeluknya, memaksa agar pria itu melangkah masuk bersamanya.

Tanpa banyak bicara, Jiyong melangkah kan kakinya mengikuti Lisa. Kedua tangannya masih sibuk menyulut rokok namun kakinya bisa bergerak santai mengikuti arah langkah gadis yang memeluk lengan kanannya itu. Satu demi satu langkah kaki membawa mereka masuk ke dalam gudang. Meja-meja penuh senjata dengan orang-orang yang merakit senjata itu memenuhi gudang. Tatap sinis dari para pekerja di sana menyambut Jiyong dengan Mrs. Twig.

"Mana Detektif Park?" tanya Jiyong, pada seorang pria yang sedang mengemas senjata api, membungkusnya dengan plastik, hendak memasukannya ke dalam tas. Nantinya senjata-senjata itu akan di bawa ke gudang ikan, dimasukan ke dalam perut ikan-ikan itu kemudian dikirim pada pembelinya.

"Kenapa kau datang?" tegur seorang yang baru saja datang, berdiri di belakang Jiyong dengan tangan terbalut gips yang digendong, mengalung ke lehernya— Detektif Park. "Tidak ada yang perlu kau lihat di sini," susulnya, sebab ia rasa, dirinya sudah melaporkan segalanya pada Kang Daesung.

"Oh? Kau terluka Detektif Park?" tegur Jiyong, berbalik bersama Lisa yang berdiri tenang di sebelahnya. "Aku datang karena putrimu ingin bertemu denganmu," tambahnya, memperkenalkan gadis yang berdiri tepat di sebelahnya.

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang