20

690 144 1
                                    

***

Jiyong yang penasaran kemana semua orangnya pergi bertanya pada asistennya. Sembari memakai kembali sarung tangan kulitnya, pria itu melangkah menjauhi samsaknya, menghampiri Kang Daesung yang berdiri tidak jauh di belakangnya.

"Detektif Park membawa para penjaga pergi siang ini," ucap Daesung.

"Aku tahu soal penjaga. Tapi kemana Somi dan pembantuku?"

"Mungkin mereka pergi berbelanja?"

"Mereka sering melakukannya?"

"Nona Somi beberapa kali mengajak nyonya Ahn pergi bersamanya," jawab Daesung, di susul sebuah perintah selanjutnya— menghubungi Somi agar gadis itu cepat pulang dan bisa menjamu tamunya. "Anda tidak keberatan Nona Somi bertemu dengan Mrs. Twig?" yakin Daesung, sebelum ia menjalankan perintah itu.

"Biarkan saja mereka bertemu," santai Jiyong, kembali menghampiri samsaknya, memukul samsak itu beberapa kali kemudian meminta seorang pesuruhnya untuk mengeluarkan seseorang di dalam samsaknya— Kepala Kepolisian, pria yang memukuli Lisa tempo hari. "Lama tidak melihatmu, Pak Tua," sapa Jiyong begitu tubuh ringkih yang sudah banyak berdarah jatuh ke lantai.

Pria yang jatuh itu meringkuk di lantai gudang pendingin, berusaha untuk berlutut, memohon agar dibiarkan pergi. Sayang, tidak seorang pun mendengarkannya. Tidak seorang pun berencana mendengarnya, bahkan Jiyong sekalipun. Setiap kali ia bicara, setiap kali ia membuka mulutnya dan mengucapkan satu persatu kata dalam kepalanya, rasa menusuk sampai ke tulangnya. Sangat sakit sampai ia tidak tahu dimana ia berada— dunia atau neraka, atau justru dunia yang terasa seperti neraka.

"Jangan terlalu membenciku, kau memang melakukan banyak kesalahan. Dan yang terburuk, kau memberitahu ibu putriku dimana sekolah putriku. Kenapa kau melibatkan anak kecil dalam urusan kita? Kalau kau ingin melakukannya, harusnya jangan sampai ketahuan," ucap Jiyong, dengan kaki yang sengaja menginjak kepala pria paruh baya itu. "Sayang sekali kau memilih partner yang salah," susulnya, membicarakan ibu Somi yang dimanfaatkan Kepala Kepolisian untuk menganggu Jiyong, untuk mendapatkan uang dari sang gangster.

"Sekarang kau sudah mati. Apa yang harus ku lakukan padamu?" tanya pria itu, masih dalam posisinya, menginjak kepala penuh memar di lantai kemudian memutar ujung sepatunya. Seolah ia tengah menginjak sepuntung rokok dengan ujung sepatunya yang keras. "Menjual organ-organmu? Semua itu tidak berguna karena AIDS. Menjadikanmu makanan anjing-anjingku? Apa AIDS akan menular lewat dagingmu? Terlalu beresiko, anjing-anjingku masih berguna. Mati sungguhan saja. Itu satu-satunya kebaikan yang bisa ku berikan untukmu," tegas Jiyong, yang kemudian menjatuhkan sebilah pisau di depan wajah Kepala Kepolisian itu.

Kwon Jiyong melangkah pergi. Namun belum dua langkah pria itu menjauhi si Kepala Kepolisian, pisau yang ia berikan justru melukai kakinya sendiri. Seolah tidak ingin terluka sendirian, Kepala Kepolisian tadi memakai sisa tenaganya untuk melukai pergelangan kaki Jiyong. Pisau super tajam yang disiapkan Tuan Ji untuk membunuh Kepala Kepolisian tadi, justru melukai kakinya sendiri, menggores cukup dalam hingga Jiyong hampir terjatuh, membungkuk, mengencangkan otot kakinya yang lain agar dirinya tidak perlu berlutut di lantai dingin gudangnya sendiri.

Detik selanjutnya suara tembakan terdengar. Seorang pria yang dipekerjakan sebagai penjaga, memuntahkan peluru dari senjata apinya, refleks, begitu saja saat ia melihat Kepala Kepolisian tiba-tiba bergerak melukai bosnya. Dengan mata marahnya, Tuan Ji menoleh ke belakang, menatap sebuah tubuh tidak berdaya yang berhasil melukainya.

Peluru yang mengenai bahu Kepala Kepolisian itu tidak langsung membunuhnya. Pria itu kesakitan, tidak berdaya dan di saat itu lah tanpa mengatakan apapun, Jiyong mengulurkan tangannya, meminta asistennya untuk memberikannya sebuah senjata. Tanpa sudi menunggu terlalu lama, lima peluru masuk dan bersarang di dalam kepala Kepala Kepolisian, membunuhnya tanpa memberinya jeda untuk menikmati rasa sakitnya. Membuat tidak seorang pun bisa menghidupkan kembali pria malang itu.

"Lempar tubuhnya ke laut, jangan sampai aku melihatnya lagi," suruh Jiyong, yang kini melangkah menjauh, sedikit pincang karena nyeri dari luka sayat di kakinya yang hampir saja memotong otot geraknya. "Kemana kita harus pergi sekarang? Biarkan saja Mrs. Twig menunggu," susulnya, dengan darah segar yang mengalir mengotori sepatunya, sebagiannya menetes di lantai membuat jejak untuk siapa yang ingin mengikutinya.

Sembari melangkah ke mobil, diikuti oleh asistennya, Jiyong menerima sebuah panggilan lagi. Kali ini pria itu sendiri yang merasakan getar handphonenya, maka ia raih benda tipis itu dari sakunya. Sepintas ia lihat nama Lisa di sana, namun memilih untuk mengabaikannya. Ia tolak panggilan itu dan duduk di mobilnya, di kursi belakang dengan pintu yang dibiarkan terbuka, membiarkan asistennya berlutut untuk menghentikan pendarahannya.

"Kurasa anda perlu pergi ke rumah sakit," ucap Kang Daesung berkomentar sebab darah yang keluar dari luka sayat itu tidak kunjung berhenti.

"Hentikan saja pendarahannya. Ikat lebih kuat," ucap Jiyong masih menatap handphonenya yang terus berdering. "Kenapa wanita ini tiba-tiba rajin menghubungiku?" risih Jiyong, yang kemudian menjawab panggilan Lisa. "Aku memang ingin tidur denganmu, tapi teleponmu mengganggu, sungguh. Bisakah kau datang saat malam saja? Aku sibuk sekarang."

"Aku sudah di rumahmu, dimana oppa sekarang? Oppa belum pulang?" balas Lisa, terdengar tidak begitu tenang. "Ng... Kalau begitu, bisa beri tahu saja kode brangkasmu?" gugup gadis itu, meski ia sendiri sudah berusaha keras menahan getar dalam suaranya.

"Apa yang kau bicarakan?"

"Sayang, aku ingin pergi berbelanja dengan Somi, aku ingin jadi semakin dekat dengannya, beri aku uang, hm? Berapa kode brangkasmu? Hari jadi kita? Ulang tahunku? Ya!" seru Lisa, disusul suara bising yang melengking karena handphone gadis itu tiba-tiba saja jatuh.

Jiyong butuh satu jam perjalanan untuk pulang dan begitu ia tiba di rumahnya, ia temukan pintu rumahnya dalam keadaan terbuka. Seseorang merusak kuncinya, merusak kenop pintunya dan membuat kait pintunya jatuh di lantai. Langkahnya begitu tenang, karena ia pun tidak bisa berlari dengan kakinya yang terluka itu. "Ya! Pelacur sialan! Apa yang kau lakukan di rumahku?! Kau sudah gila?!" seru Jiyong, berteriak, terdengar sangat kesal.

"Kau menyebutku pelacur?" balas Lisa, menurunkan kakinya dari meja kaca di ruang tengah, kemudian berdiri dengan kaki pincang di tengah-tengah ruangan itu. "Apa yang terjadi pada kakimu? Terkilir? Karena berlari ke sini?" tanya Lisa, memperhatikan langkah Jiyong yang sedikit berbeda dari biasanya.

"Mana Somi?"

"Baru saja- ah dia di sini," balas Lisa, yang baru saja melihat seorang gadis berlari, menghampiri dan memeluk ayahnya. Padahal sepuluh menit lalu Somi baru saja menelan sebutir obat tidur.

"Wanita gila itu akan membunuhku kalau aku tidak memberinya uang! Dia mengambil semua uangku lalu Lisa eonni datang dan dia meminta lebih banyak uang!" adu Somi, yang kemudian mengatakan kalau Lisa terluka karena mencoba menyelamatkannya. Kaki Lisa membentur kaki meja saat mencoba menendang pisau milik ibu kandung Somi yang jatuh ke lantai. Mereka sempat saling dorong, saling menjambak juga memukul, tapi si pelaku melarikan diri tepat setelah mendengar kalau Jiyong dalam perjalanan pulang.

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang