49

714 136 14
                                    

***

Somi pulang ke rumah setelah makan siang. Gadis itu melangkah masuk ke dalam rumahnya, menyapa Bibi pelayan yang baru selesai menyiapkan makan siang kemudian melangkah sampai ke kamar utama. Ia buka pintu kamar utama tanpa berfikir, hampir berteriak memanggil ayahnya namun buru-buru menelan kembali suaranya.

"Mereka sudah berbaikan?" tanyanya, berlari kecil ke dapur. "Mereka sudah tidur bersama, telanjang!" serunya, terlampau bersemangat. Tidak seperti seorang putri yang baru saja kehilangan ibunya.

"Oh ya? Berarti sekarang ayahmu bisa tidur lagi," balas sang Bibi.

"Appa tidak tidur beberapa hari ini? Karena bertengkar dengan Lisa eonni?"

"Ayahmu tidak tidur kalau sedang banyak pikiran, sejak kecil begitu."

"Iya. Aku tahu. Tapi maksud Bibi, appa tidak tidur karena memikirkan Lisa eonni? Eiiyy... Dia hanya pura-pura kejam? Manisnya," komentar Somi, yang kemudian mengatakan kalau dia tidak akan menganggu mereka. "Tolong beritahu appa kalau aku sempat ke sini untuk menemuinya. Aku tidak mau menunggu mereka, mereka bisa tidur sampai sore."

Tidak seorang pun yang benar-benar telanjang. Somi hanya salah lihat karena Jiyong tidak memakai atasannya saat tidur. Karena pria itu bertelanjang dada saat tidur malam ini. Namun tebakan gadis itu benar, ayah juga temannya baru membuka matanya di pukul tujuh, setelah matahari terbenam. Lisa yang pertama bangun, duduk di ranjang sembari meregangkan otot-ototnya.

Namun belum lama gadis itu duduk, sebuah tangan sudah lebih dulu memeluk perutnya, menariknya untuk kembali tidur. "Tetaplah di sini," pinta Tuan Ji dengan suaranya yang serak, khas seorang yang baru bangun tidur.

"Aku harus ke kasino. Aku harus bekerja kalau tidak ingin dimarahi nyonya Choi yang cerewet itu," balas Mrs. Twig, mengusap-usap lengan pria yang memeluknya.

"Tidak perlu," larang Jiyong. "Polisi sungguhan akan ke sana. Bosmu akan mengerti kalau kau tidak datang bekerja hari ini."

"Polisi sungguhan? Maksudmu polisi yang bekerja untuk orang tua itu?"

"Bukan," geleng Jiyong, masih memeluk boneka hidupnya. "Seorang polisi jujur yang dimanfaatkan ayahmu. Kita semua hidup dengan memanfaatkan orang lain, jangan terlalu sedih kalau kau dimanfaatkan. Kita memanfaatkan dan dimanfaatkan, itu normal. Bukan ironi, hanya normal,"

"Aku belum mengatakan apapun."

"Aku harus mengantisipasi emosimu."

"Kau menyukaiku?"

"Hm..."

"Sangat menyukaiku?"

"Hm..."

"Tapi membenci ayahku?"

"Hm..."

"Apa kau ingin membuatnya marah?"

"Sangat marah."

"Kau sangat ingin membuatnya marah sampai bisa melakukan apapun untuk itu? Menikah denganku misalnya?"

Jiyong membuka matanya, mendongak untuk menatap wajah yang juga menatapnya. "Aku mencoba menebak-nebak apa rencanamu untuk membalas orang tua itu. Dan hanya dua cara yang terpikirkan olehku, menikah denganku atau membunuhku," tebak Lisa. "Aku bersedia membantumu. Aku boleh memilih bagaimana caraku untuk membantumu, iya kan?" susulnya, sementara Jiyong masih terdiam. Rencananya memang tidak sangat luar biasa, namun ia kagum sebab gadis dalam pelukannya itu mampu menebak isi kepalanya. Padahal selama beberapa hari ini, Jiyong sedang menimbang-nimbang antara melamar dengan romantis atau mengancam gadis itu dengan kematian.

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang