***
Bukan penis pria itu yang ia inginkan. Bukan sentuhannya yang ia dambakan. Hasrat, nafsu sampai cinta, tidak satupun dari mereka yang dicarinya. Mrs. Twig ingin memecah gumpalan hitam pekat di dalam kepalanya. Gumpalan yang selama beberapa hari ini membuat kepalanya penuh dengan bom waktu.
Saat bersetubuh, terlebih ketika orgasme, ada bagian otak— tempatnya di balik mata kiri— yang dimatikan. Bagian yang bertanggung jawab atas keterampilan bernalar, bagian yang bertanggung jawab atas rasa takut, tidak nyaman. Untuk beberapa menit, Mrs. Twig ingin mematikan kemampuannya bernalar. Ia ingin berhenti memikirkan ayahnya yang sudah lama mati tapi tiba-tiba kembali hidup. Rasa takut, rasa cemas, semua perasaan yang mengganggunya, ia ingin menonaktifkan semuanya, meski hanya beberapa menit saat orgasme.
Meski seks tidak akan menyelesaikan masalahnya, Mrs. Twig butuh ledakan kecil di kepalanya. Ledakan yang bisa meluruhkan setidaknya setengah dari gumpalan stresnya. Ada banyak, ribuan bahkan ratusan cara untuk mengurangi sedikit demi sedikit gumpalan berdenyut itu. Namun sama seperti obat, satu per satu cara itu perlahan-lahan jadi tidak berpengaruh lagi. Kebal, kepalanya sudah kebal pada cara-cara lama yang dilakukannya untuk melepas stres.
Lepas bersetubuh, hormon membuatnya mengantuk, membuatnya tidur lebih nyenyak dibanding malam sebelumnya. Sangat nyenyak hingga ia tidak sadar kalau pria yang menemaninya tidur sudah tidak lagi berbaring di sebelahnya. Rasa panik tiba-tiba menyerangnya. Ia dudukan tubuhnya di ranjang, melihat ke sekeliling kamar, mencari pemilik ruangan itu. Meski matanya sudah menangkap angka sebelas di jam digital di atas kabinet sebelah ranjang, detak jantungnya tetap berdegup sangat cepat.
Sembari memakai sweaternya yang semalam dilempar ke lantai, Lisa meninggalkan kamar utama itu. Melihat asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan makan siang membuat detak jantungnya jadi sedikit lebih tenang. Ia hela nafasnya, menghampiri wanita paruh baya itu kemudian duduk di meja makan. "Hhhh... Aku pikir, aku sendirian di sini, aku hampir kena serangan jantung tadi," keluh Lisa setelah sang asisten rumah tangga itu menyapanya.
"Tidak nyonya, anda tidak sendirian. Ada supir di halaman belakang, ada dua penjaga di depan pintu, lalu ada tukang kebun yang sedang menguras kolam renang," balas pelayan itu, yang kemudian bertanya apa Lisa ingin makan siang lebih dulu atau nanti menunggu Jiyong pulang.
"Kemana dia pergi?"
"Rumah baru Nona Somi. Nona Somi hari ini pindah ke rumah baru, Tuan Ji pergi untuk mengantarnya, sambil melihat rumah baru itu. Katanya siang ini dia akan pulang, mungkin tidak lama lagi."
"Somi tinggal sendirian?"
"Ya, tapi pelayan yang lama akan datang ke rumahnya setiap hari, jadi Nona Somi tidak benar-benar sendirian."
"Ahh... Bibi yang kepalanya terluka waktu itu?" tanya Lisa dan pelayan yang memasak itu mengiyakannya. "Somi memang harus mencoba tinggal jauh dari ayahnya, lalu mengajak kekasihnya menginap, tinggal bersama, kemudian membuat ayahnya kebakaran jenggot," canda Lisa, sebab rasa aman perlahan-lahan mengalir kembali ke dalam darahnya.
Siang itu Lisa kembali ke kamar tidur utama. Ia basuh wajahnya yang tadi belum sempat dilakukannya, mandi sebentar, menghapus aroma tubuh Tuan Ji yang melekat di kulitnya lantas kembali ke meja makan. Beralasan kalau semalam ia menghabiskan dua mangkuk mie, gadis itu menolak untuk makan siang. Satu-satunya yang ia telan sebelum pergi dari rumah itu hanya semangkuk selada dengan beberapa sendok mayonaise.
Tanpa menunggu pemilik rumahnya pulang, Mrs. Twig meninggalkan rumah itu. Diantar seorang supir yang sejak kemarin menyetir untuknya, gadis itu pulang ke rumahnya. "Aku tidak akan lama, bisakah kau menemaniku naik sebentar?" tanya Lisa, sebelum gadis itu turun dari mobil Jiyong. Rasanya menyenangkan punya sebuah mobil dan supir seperti sekarang. Seharusnya aku memperkerjakan seorang supir sejak dulu— sesal Lisa yang sepanjang hidupnya selalu naik kendaraan umum.
Namun penyesalan kecilnya itu kemudian berubah jadi malapetaka. Di saat Lisa tengah mengemasi beberapa pakaian dan barang-barangnya, sang supir yang sejak kemarin mendengarkan pembicaraan Lisa dan bosnya terangsang melihat gadis ber-sweater itu. Awalnya pria itu— yang usianya tidak lebih tua dari Jiyong— mendekati Lisa di meja riasnya. Berpura-pura penasaran tentang alat-alat rias di sana, pria itu berdiri di sebelah Lisa.
"Apa kau juga merias vaginamu? Aku penasaran bagaimana bentuk vaginamu," ucapnya kemudian, membuat Lisa menghentikan gerakan tangannya.
"Bagaimana menurutmu?" balas Lisa, menarik kembali penyesalannya tadi.
"Bagaimana apanya? Aku hanya penasaran karena aku dengar vagina tiap wanita berbeda. Aku tidak bermaksud melecehkan siapapun. Aku bertanya karena aku benar-benar tidak tahu," ucapnya tanpa rasa bersalah sembari terus menatap paha dan selangkangan Lisa yang tertutup celana pendek.
"Aku juga tidak tahu, aku tidak pernah melihat vagina wanita lain."
"Kalau begitu, biarkan aku melihatnya, aku akan memberitahumu bagaimana perbedaan-"
"Tapi aku tahu penis juga berbeda-beda. Kau ingin tahu dimana bedanya?" potong Lisa. "Jangan membuka celanamu dulu. Dari luar saja aku sudah bisa membayangkan bagaimana penismu," susulnya, seolah tengah menggoda sang supir. Ia buat sang supir tersenyum, senang karena merasa dirinya baru saja melihat lampu hijau untuk menyetubuhi teman bosnya itu. "Uhm... Kenapa kau tersenyum? Dalam bayanganku, penismu... jelek, kotor, busuk, menjijikan. Aku jadi mual karena membayangkannya. Kau tidak malu dengan penismu itu? Aku lebih baik mengunyah pasir daripada mengulum penismu. Bagaimana kalau aku menyingkirkannya saja? Agar kau tidak malu lagi," susul Lisa, menghapus senyum sang supir, menyerangnya dengan hinaan bertubi-tubi, melukai harga diri pria itu.
Sang supir yang marah menjambak rambut Lisa. Namun alih-alih ketakutan, seperti saat matanya melihat Jiyong hampir mematahkan tangan Taeyong, gadis itu justru tersenyum. Tanpa mengatakan apapun, gadis itu tersenyum, menggerakkan sebilah pisau lipat yang selalu di simpannya di meja rias, mengarahkannya pada penis sang supir. Dengan tatapannya, ia ancam pria itu— haruskah aku mengebiri penismu sekarang?— begitu ancamnya, dengan tatapan dan senyum mengerikan yang tidak setiap hari ia tunjukkan.
Dua puluh menit selanjutnya, Lisa menelepon Jiyong. Bukan untuk meminta tolong, tapi untuk memberi pria itu kabar. "Kurasa aku hampir membunuh supirmu, boleh aku menelepon polisi?" tanyanya, sembari mengunci rumahnya dari luar, memegangi pintu rumah itu, memastikan si supir di dalam rumahnya tidak bisa keluar.
"Hm? Kau mengigau?"
"Tidak. Aku menusuk selangkangan supirmu dengan pisau. Bagaimana ini? Aku minta maaf... Aku bisa menyelesaikannya sendiri, tapi karena ini anak buahmu jadi aku meneleponmu lebih dulu. Bagaimana?"
"Akh... Pasti sakit. Dimana kau sekarang? Aku akan ke sana. Aku penasaran, aku ingin melihat hasil karyamu."
"Rumahku. Cepat, sebelum ada yang datang. Kalau kau terlambat, aku akan menyelesaikannya dengan caraku."
Berjaga-jaga dari kecurigaan, sembari menunggu Jiyong datang, Lisa mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia balurkan debu di lantai ke sweater dan celananya dan dengan kukunya, ia cakar kakinya sendiri. "Aughh... sial... aku jadi tidak bisa memakai rok pendek," keluhnya, sembari tetap waspada pada tetangga yang mungkin muncul. Gadis itu ingin merobek sweater atau celana pendeknya. Membuatnya kelihatan seperti baru saja akan diperkosa, namun kain yang tebal itu tidak bisa ia sobek semudah merobek kemeja tipis. Ia bahkan melamun, membiarkan angin membuat matanya terasa panas, jadi dirinya kelihatan seolah sedang menangis.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanfictionIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.