It's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody.
Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.
Sebuah kelab malam di ibu kota, di datangi sekelompok polisi. Alasannya karena peredaran narkoba di sana baru saja diketahui publik. Sekelompok orang yang ketahuan menjual belikan obat-obatan itu tertangkap, diringkus dan dibawa ke kantor polisi. Beritanya tersebar dimana-mana. Publik geram, berharap kasus peredaran obat terlarang itu bisa diusut sampai ke akarnya.
Tuan Ji tahu dirinya tidak akan terseret dalam kasus itu. Ia tahu kalau tidak ada seorang pun yang bisa menyentuhnya bahkan Presiden sekalipun. Namun berita itu tetap berhasil membuatnya marah. Pasalnya, kelab malam yang seharusnya menghasilkan uang untuknya, jadi harus ditutup sampai penyelidikan itu selesai. Sampai semua orang yang dianggap terlibat tertangkap dan diadili.
"Apa-apaan ini? Ini baru satu minggu sejak aku kembali," keluh pria itu. "Padahal ada obat baru yang harus dijual," ketusnya, marah kemudian melampiaskan emosinya dengan melempar satu gelas whiskey-nya ke arah TV di ruang tengah rumahnya. Emosinya, menghentikan langkah Somi dan Lisa yang baru saja tiba, masih berdiri di halaman, melihat Jiyong dari jendela besar di rumahnya.
"Kau pulang lah, jangan mampir dan bertengkar dengannya," suruh Lisa, yang baru hari ini keluar dari rumah sakit. Pagi tadi Jiyong bilang kalau ia akan menjemput Lisa di rumah sakit, namun masalah datang dan pria itu hanya mengirim mobil untuk ke sana.
"Bukan kah lebih baik kalau eonni ikut denganku saja? Menginap saja di rumahku sampai appa berhenti marah."
"Tidak perlu, dia tidak akan memukulku," santai Lisa. "Pulanglah, kirimi aku pesan begitu sampai."
"Sungguh? Eonni yakin berani tinggal di sini saat appa marah? Dia tidak pernah di depanmu, kan?"
"Tidak ada yang lebih mengerikan dari aku saat marah," angguk Lisa. "Selain aku, siapa lagi yang pernah punya hutang enam milyar karena marah? Aku bisa mengatasinya. Pergilah," suruh Lisa yang kemudian melambai pada Somi, menunggu gadis itu pergi dengan mobil dan supir Jiyong.
Mrs. Twig kemudian melangkah masuk, dengan sweatpans dan kaus oversized-nya, gadis itu melangkah ke ruang tengah. Ia sapa Jiyong seolah tidak terjadi apapun, kemudian berbaring di sofa, menatap TV yang layarnya baik-baik saja meski segelas whiskey sudah hancur di lantai.
"Aku tidak tahu kalau kau juga bisa sangat marah hanya karena satu kiosmu ditutup, padahal kau masih punya banyak," komentar Lisa, masih berbaring di tempatnya.
"Maaf kau harus melihatnya. Kapan kau kembali?" balas Tuan Ji, menghampiri gadis yang tengah berbaring itu kemudian menarik ke atas kausnya. "Sudah benar-benar sembuh kan?" tanyanya, sembari melihat luka tusuk yang masih dibungkus perban. "Kapan jahitannya di buka? Kapan kau harus ke rumah sakit lagi?"
"Tidak perlu membuka jahitannya. Aku hanya tidak bisa memamerkan perutku lagi. Augh! Harusnya aku operasi plastik kemarin. Kalau lukanya di wajah dokter pasti menawarkan operasi plastik. Tapi karena lukanya di perut, dokter tidak menawarkannya dan Somi juga tidak tahu kalau aku ingin perutku tetap cantik. Aku bertengkar dengan Somi begitu siuman," cerita Lisa, menarik kausnya dari pegangan Tuan Ji, segera menutup kembali perutnya. "Tapi, apa yang terjadi di Moscow? Kenapa kau terluka? Perlihatkan tubuhmu, aku penasaran seperti apa tubuhmu sekarang," susul gadis itu membuat Jiyong melepaskan kemejanya tanpa berkomentar.
Ia tunjukan tubuhnya yang bertato hari ini punya beberapa bekas luka. Luka tusuk sampai luka tembak yang anehnya tidak membunuhnya. Lisa kemudian bangun, mengamati luka-luka itu kemudian menilainya. "Aku sudah pernah melihat yang itu, yang itu juga. Kenapa kau terluka di sana?" tanyanya, menunjuk satu persatu bekas luka di tubuh Tuan Ji tanpa menyentuhnya.
"Berkelahi dengan seseorang, aku tidak ingat."
"Kalau luka tembak itu? Kapan kau mendapatkannya?"
"Tiga atau empat tahun lalu? Ada keributan saat aku menemui rekan kerjaku."
"Kau tidak jadi pulang setelah tiga hari karena itu? Kenapa tidak memberitahuku? Takut aku khawatir?"
"Tidak ada yang berubah meski aku memberitahumu," balas Jiyong, kembali memakai kemejanya. "Keadaannya justru akan jadi lebih buruk kalau kau datang," jawab Jiyong, saat Lisa berkomentar kalau ia bisa terbang ke Moscow jika Jiyong memberitahunya. "Tapi apa saja yang terjadi selama aku pergi? Laporan yang ku terima dan apa yang sebenarnya terjadi, tidak sama," susul Jiyong, penasaran dengan semua hal yang belum Lisa ceritakan.
Awalnya Lisa tidak tahu laporan apa yang Jiyong maksud, apa saja yang berbeda dan apa yang harus ia ceritakan. Namun begitu Jiyong melanjutkan pertanyaannya, gadis itu dapat menceritakan segalanya. Pertama Lee Taeyong, yang menghilang sejak pemakaman ayahnya. Kemudian Detektif Park yang berhenti datang menemui Lisa. Tuan Kim juga berhenti menghubungi Lisa setelah ia bertemu dengan Jiyong dan menyelesaikan pembayarannya pada Mrs. Twig.
Bersama dengan perginya Jiyong, semuanya terasa sangat tenang. Hidup Lisa tiba-tiba saja menjadi sangat tenang, seolah tidak ada seorang pun yang berani menyentuhnya, berani mengganggunya. Lisa menikmati rasa tenang itu. Ia menyukainya tanpa mencurigai apapun. Semuanya terjadi karena kuasa Tuan Ji— pikirnya. Namun Jiyong tidak melakukan apapun. Ketenangan itu tidak terjadi karena Tuan Ji. Ia tidak pernah meminta Detektif Park untuk mengawasi Lisa, ia pun tidak pernah meminta pria itu untuk menjauhi putrinya.
"Aku harus menemui Detektif Park," Jiyong memutuskan, yang kini mencurigai Detektif Park.
Sebelum Jiyong menjadikan Mrs. Twig tawanan di rumahnya, Detektif Park berencana membongkar segalanya. Ia berencana mengembalikan semuanya ke tempat seharusnya. Membongkar semua korupsi, membongkar semua kejahatan yang ia ketahui, menebus semua dosanya. Awalnya Jiyong pikir pria itu akan berhenti setelah tahu kalau putrinya terlibat. Jiyong pikir Detektif Park akan membatalkan semua rencananya demi putrinya. Jiyong sudah merasa tenang karenanya, hingga ia tidak mempersiapkan apapun lagi setelahnya. Sama seperti Lisa, pria itu menikmati ketenangan yang Detektif Park ciptakan, kemudian tenggelam di dalamnya.
"Kau tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?" tanya Lisa, menahan pria yang masih duduk di sebelahnya, agar ia tetap duduk di sana.
"Aku akan memberitahumu kalau aku sudah tahu apa yang terjadi," tenang pria itu, tetap duduk karena Lisa memintanya begitu. "Kalau kau ingin membantu, kau bisa mencaritahu siapa yang jadi informan polisi-polisi itu kalau ada narkoba di kelab. Ah! Dan mencari Taeyong juga," tambahnya.
"Tapi aku sedang sakit... Apa tidak boleh aku bermalas-malasan dulu?"
"Kau sudah lama bermalas-malasan."
"Hhhh... Bosku ternyata jahat sekali."
*** Nemu ini di base, buat reminder kita semuaaaa~
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Disclaimer sebelum ada yang tersinggung :
Si ungu sama si oren sama-sama dengerin lagunya, mungkin sama-sama dengerinnya 100kali. Tapi yang oren, dengerin lagunya sambil nikmatin lagunya. Si oren suka lagunya, si oren seneng dengerin lagunya.
Tapi si ungu engga seneng, padahal sama-sama dengerin lagunya, kenapa? Karena dia takut kalo dia ga denger lagunya nanti chartnya turun. Karena dia takut kalo dia ga denger lagunya nanti ga dianggep fans. Karena dia takut dianggap engga ngasih "bantuan" buat idolanya. Si ungu punya banyak banget ketakutan sampe dia lupa caranya "nikmatin" kesukaan dia. Dan kadang, si ungu ga sadar kalau dia lupa caranya nikmatin musik kesukaannya itu. Terus apa yang terjadi? Si ungu marah, sedih, sakit hati, jelek jeleknya nyalahin orang kalau ekspetasi dia engga terwujud.