***
Mrs. Twig tidak pernah menyangka tubuhnya akan bereaksi secepat ini. Mungkin karena sudah bertahun-tahun ia tidak merasakannya, ciuman yang begitu dalam dan menuntut. Tubuh jam pasirnya didekap, dipaksa untuk tidak pergi, dituntut untuk tetap tinggal. Lisa mulai menikmatinya, ciuman juga tuntutan pria di depan wajahnya itu, namun semuanya berhenti dalam satu gerakan kasar.
"Ku pikir kau akan menolak," gumam Jiyong, yang kini meletakan tangannya di atas kulit halus paha Mrs. Twig
"Aku pikir juga begitu," balas Mrs. Twig. "Boleh aku tinggal di ranjangmu?" tanyanya dan Tuan Ji menganggukkan kepalanya. Ia dekati lagi wajah gadis itu, menciumnya seolah hidup dan matinya sedang dipertaruhkan di sana.
Lisa tidak bisa diam saja menikmati ciuman itu. Ia balas desakan yang bibir Tuan Ji berikan dengan desakan-desakan lainnya. Kakinya terbuka, membentuk huruf V di atas pangkuan Tuan Ji, menekan wajah pria itu dengan miliknya, meremas bagian depan kemeja yang Tuan Ji kenakan.
"Akh!" keluhnya, menjauhi Jiyong dan melihat telapak tangannya kembali terluka karena kancing kemeja pria itu. Tanpa mengatakan apapun, Jiyong mendorong Mrs. Twig, menyuruhnya bangkit kemudian mengajaknya untuk masuk ke kamar tidurnya. Kotak obat yang ada di kamarnya masih berada di tempat ia ditinggalkan, di atas nakas sebelah ranjang.
Masih tanpa mengatakan apapun, ia minta Lisa untuk duduk di ranjangnya. Sebelum menghancurkan tubuh gadis itu, Tuan Ji perbaiki dulu luka di telapak tangan dan kaki Lisa. Ia balut luka sayat dan memar itu dengan kasa yang di milikinya kemudian menggerayangi kaki gadis itu. "Let me paint you like how Jackson Pollock did," goda Mrs. Twig, sengaja menggerakkan kakinya di atas lutut Tuan Ji.
"Take it off, step by step, like a stripper," balasnya, yang justru lebih dulu menggambar di atas kulit pucat Mrs. Twig dengan bibirnya. Ia hempaskan tubuh jam pasir itu jatuh ke ranjang lembutnya, menggerayanginya seperti Geppeto yang ingin memahat sebuah karya seni baru.
Bayangan mereka menari di bawah sinar matahari sore yang perlahan-lahan terbenam. Pupil keduanya bertemu, segelap oasis yang membawa ratusan rahasia. Senyum terukir, musik yang lengket mengalun memenuhi ruangan, menjadi musik latar untuk luka-luka lainnya. Luka cakar di punggung Jiyong yang jadi karya Mrs. Twig sore ini, luka cakar yang hampir sama rumitnya dengan lukisan Jackson Pollock.
Mereka tidak banyak bicara, bernyanyi di atas ranjang, menjadi chorus untuk satu sama lain. Tuan Ji, menjadi seorang seniman terbaik yang menggerakkan tangannya sepanjang bass-line Mrs. Twig. Punggung keduanya bergetar, menelan rahasia-rahasia, mendorong rahasia itu untuk bersembunyi semakin dalam.
Tidak ada cinta yang menjadi kombinasi fantasi mereka sore ini— sampai hampir tengah malam. Keduanya bersetubuh, bekerja sama, membantu satu sama lain mencapai nirwana mereka. Lelah berkeliling nirwana, keduanya terlelap, amat nyenyak hingga tidak satupun dari mereka sadar kalau seseorang masuk ke dalam kamar tidur itu.
Begitu pagi datang, Tuan Ji membuka matanya lebih dulu. Butuh beberapa menit sampai ia bisa pulih dari kantuknya. Ini adalah hari pertamanya bangun setelah tidur lebih dari enam jam. Ia tidak pernah tidur selama itu sebelumnya. Melihat seorang gadis yang sebelumnya tidak pernah ada, berbaring menyamping di sebelahnya, memeluknya, juga sebuah pengalaman baru untuk Jiyong.
Sejenak, dipandanginya wajah tenang Mrs. Twig. Ia usap rambutnya, kemudian bahu juga lengannya, pelan-pelan melepaskan pelukan gadis yang masih tidur nyenyak itu. "Jangan keluar," tahan Lisa, mencoba untuk meraih tangan Jiyong, namun gagal karena pria itu sudah lebih dulu bergerak menjauh.
"Hm?"
"Putrimu marah, jangan keluar sekarang, tunggu dia berangkat sekolah," jawab Lisa, yang kini menarik selimut lembab milik Tuan Ji, meringkuk di bawah kain tebal itu seolah ia sedang menggigil kedinginan.
"Dia sekolah di rumah," tenang Jiyong, mengambil pakaiannya kemudian masuk ke kamar mandi. Lama Jiyong berada di sana, membersihkan tubuhnya tanpa mengharapkan apapun, namun seseorang mencoba membuka pintu kamar mandi yang ia kunci.
Tuan Ji pikir Mrs. Twig yang mencoba membuka pintu itu. Ia pikir, gadis itu butuh hiburan ekstra pagi ini. Namun saat ia keluar, setelah berpakaian, Mrs. Twig masih ada di posisinya sebelumnya, masih terlelap dengan mata yang terpejam rapat.
"Bukan aku, tapi Somi," ucap Mrs. Twig, menjawab pertanyaan yang belum Tuan Ji utarakan. "Dia pergi lagi setelah mengira aku masih tidur," susulnya, sama sekali tidak bergerak.
"Kau tidak mau bangun?"
"Aku tidak bisa bangun. Belum waktunya untuk bangun. Pergi saja, aku akan pulang sendiri nanti."
"Cepat bangun, ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu," ucap Jiyong kemudian, sengaja mencium puncak kepala gadis itu kemudian meninggalkannya sendirian di sana.
Dengan kemeja dan celananya, Jiyong keluar dari kamarnya. Ia rapikan kancing di bagian pergelangan tangannya, kemudian bertemu tatap dengan putrinya di ruang tengah. Somi duduk di sana dengan rok juga kemejanya, melipat tangannya di depan dada lalu menatap tajam mata ayahnya. Ia terlihat sangat marah sekarang.
"Apa?" tanya Jiyong, menegur lebih dulu putrinya itu.
"Apa yang appa lakukan dengan Lisa eonni?" ketus Somi, membuat Jiyong sedikit ragu, bimbang untuk memilih kata apa yang harus dia katakan pada anaknya. "Appa memperkosanya?! Berengsek! Berengsek! Bajingan! Appa jahat sekali! Bagaimana kau bisa melakukan itu pada temanku?! Bajingan! Aku membencimu! Dasar pria mesum kotor sialan!" marah Somi, kali ini sembari melempar benda apapun di depannya pada Jiyong— bantal sofa, gelas berisi susu, semangkuk sereal, remote TV sampai handphonenya sendiri.
"Ya! Berhenti kecuali kau mau ku pukul!" balas Jiyong, ikut marah karena susu dari gelas dan semangkuk sereal tadi mengenai kakinya, membuat pakaiannya kembali kotor. "Ya! Kwon Somi-" Jiyong hampir menghampiri putrinya yang marah itu. Ia hampir memukul Somi yang merusak paginya namun alunan musik rock yang berisik lebih dulu keluar dari kamarnya. Mrs. Twig yang memutar musik rock itu. Sengaja untuk meredam suara bising di luar. Menyelamatkan Somi dari amukan ayahnya yang marah.
Lisa yang tidak terbiasa bangun di pagi hari, benar-benar terganggu dengan aktivitas Jiyong dan putrinya pagi ini. Lalu, ketika si pemilik kamar masuk ke dalam kamar tidurnya untuk mengganti pakaiannya, ia lihat tamunya sudah berdiri, sedang berpakaian di depan cermin.
"Datang lagi ke sini jam empat sore nanti," suruh Jiyong, melempar kemejanya yang kotor karena susu cokelat ke lantai dan mengambil kemeja baru. "Aku akan sangat berterimakasih kalau kau mau membawa gadis sialan di luar itu," susulnya.
"Tidak mau, aku benci kalian berdua yang menganggu tidurku pagi ini. Urus sendiri anakmu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanficIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.