***
"Kau tahu apa yang terjadi sebelum Detektif Park memutuskan untuk berpura-pura mati?" tanya Jiyong, masih di tepi kolam renangnya, bersama Lisa yang meneguk birnya. "Dia mengkhianati ayahku. Orang-orang seperti ayahku tidak bisa hancur meski dipenjara, karena itu beberapa polisi menyamar, bergabung bersama kami, mendapatkan kepercayaan kami, kemudian pelan-pelan menghancurkan kami dari dalam. Itu yang Detektif Park lakukan belasan tahun lalu, dia menusuk ayahku dari belakang. Tapi seorang rekannya mengkhianatinya, karena itu dia jadi buronan. Sialnya dia benar-benar menerima uang dari ayahku saat putrinya harus pergi ke psikiater setiap minggu, setelah melihat temannya ditembak. Dia ingin jadi ayah yang baik untuk putrinya, dia ingin memberikan semua yang terbaik untuk putrinya. Tapi siapa sangka semuanya jadi kacau dan dia harus mati untuk melarikan diri?"
"Sayang sekali," singkat Lisa, tidak dapat lagi berkomentar.
"Kali ini dia melakukan hal yang sama lagi. Dia ingin putrinya tidak hidup sepertinya, menjadi penjahat, hidup dalam bahaya. Karena itu dia mengkhianatiku, dia ingin menghancurkan semua yang sudah aku buat, dihukum atas dosa-dosanya, menebus kesalahannya, kemudian mengajakmu untuk hidup normal, seperti kebanyakan orang baik lainnya. Karena aku juga seorang ayah, aku tahu kalau dia ingin memberimu contoh, dia ingin jadi ayah yang bisa kau banggakan. Sesekali aku juga ingin jadi ayah yang seperti itu untuk Somi, tapi itu sulit, noda darah sulit dibersihkan."
"Aku tidak ingin mendengarnya lagi," tolak Lisa. "Apa yang ingin kau katakan padaku dengan menceritakan semua itu?"
"Cerita itu tidak menyentuh untukmu? Kau tidak kasihan pada ayahmu? Dia ingin jadi ayah yang baik untukmu."
"Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatnya merasa jadi ayah yang baik sementara bagiku dia tidak begitu? That's not my job,"
Jiyong tersenyum mendengarnya. Perasaannya tidak cukup baik sekarang. Jawaban Lisa membuatnya mengingat Somi. Ia pun bukan ayah yang baik untuk Somi, ia tidak pernah jadi seorang ayah yang cukup baik untuk bisa Somi banggakan di depan teman-temannya. Namun Tuan Ji sadar, ia tidak bisa jadi baik untuk segala hal. Ia merelakan keinginannya untuk jadi ayah yang baik untuk Somi.
"Aku juga bukan pria baik. Kau tahu itu, kan? Tapi karena aku menyukaimu, aku ingin memberimu sebuah peringatan lebih awal. Aku akan memanfaatkanmu untuk melindungi semua milikku, untuk diriku sendiri. Aku tidak bisa melindungimu dari diriku sendiri, sekarang aku bisa memelukmu, tapi saat aku memerlukannya, aku juga bisa memukulmu. Kau yang harus melindungi dirimu sendiri."
"Kenapa kau memberitahuku? Kau bilang kau menyukaiku, tapi kau membuat hatiku sakit. Padahal kau bisa memanfaatkanku tanpa mengatakan apapun. Kalau kau bertanya padaku, di sisi mana aku akan berdiri, tentu aku akan bilang aku berdiri di sisimu. Kenapa kau tiba-tiba jadi sangat jujur? Tidak seperti dirimu."
"Karena aku menyukaimu. Dimanfaatkan tanpa tahu apapun seperti orang bodoh, menurutku itu akan lebih menyakitimu."
"Kau bisa langsung membunuhnya! Apa yang dia miliki sampai kau tidak bisa membunuhnya? Orang-orang yang setia padanya? Uang bisa menutup mulut mereka semua."
"Tidak menyenangkan kalau dia mati begitu saja setelah berkhianat dua kali."
"Lalu, kalau aku menolak untuk kau manfaatkan? Apa yang akan kau lakukan?"
"Menolak atau menerimanya, kau akan selalu bisa aku manfaatkan. Karena kau satu-satunya yang berharga untuk Detektif Park," tenang Jiyong, seolah ia tidak keberatan meski harus membunuh Lisa— kalau itu memang dibutuhkan.
"Kau hanya peduli pada pria tua itu? Kau hanya melihatku sebagai putrinya, iya kan? Bedebah berengsek," Mrs. Twig kemudian bangkit, melempar kaleng bir yang ia remas ke kaki Jiyong dan meninggalkan pria itu sendirian di tepi kolam.
Sudah lewat dua belas jam sejak Jiyong memberikan peringatannya pada Lisa. Sejak tengah malam itu, Jiyong sibuk dengan dirinya sendiri sedang Lisa tidak melangkah keluar dari kamar tidur Somi. Gadis itu menutup rapat pintunya— meski ia tidak menguncinya— memberi kesan kalau ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Pukul sembilan Asisten Kang datang dan tanpa pikir panjang, pria itu langsung menuju ke ruang kerja bosnya, memberi laporan kalau BLOO berhasil menemukan Taeyong dan akan mengantar hasil temuan itu ke gudang. "Apa dia memberitahu Mrs. Twig?" tanya Jiyong, yang tetap terjaga sepanjang malam.
"Tidak, dia belum memberitahunya, seperti yang anda minta, kami masih merahasiakannya."
"Baiklah, biarkan dia tinggal di gudang selama beberapa hari," tenang Jiyong. "Berikan juga apa yang bartander itu inginkan. Dia tidak meminta uang untuk melunasi hutang temannya bukan?"
"Tidak. Dia ingin anda mengambil kelab itu dan mengusir bosnya."
"Ahh... Dia ingin menguasai kelab itu? Baik. Berikan kelab itu padanya. Tapi pastikan dia menutup mulutnya. Ambil kelab itu diam-diam. Ada masalah lain?"
"Aku belum bisa memastikan Detektif Park tahu atau tidak tentang keterlibatan anda dengan militer," lapor Daesung, membicarakan bisnis terakhir Jiyong di Rusia— memasok senjata untuk militer negaranya lewat boneka bernama Presiden yang ia danai kampanyenya.
"Dia tidak tahu, aku sudah memastikannya. Dia hanya akan menyerang kasino dan kelab, biarkan saja. Kasino dan kelab bisa berdiri lagi nanti," tenang Jiyong. "Mungkin hari ini Mrs. Twig akan pergi dari sini. Apapun yang dia lakukan, biarkan saja, tapi tetap awasi dia. Laporkan padaku siapa saja yang ia temui. Dia tetap jadi tawanan perangku," susulnya, tegas dan tenang.
Kakek dan ayah Tuan Ji selalu memfokuskan bisnis mereka pada obat-obatan, itu yang selama ini Detektif Park ketahui. Karena itu, meski ia bertanggung jawab pada peredaran senjata, yang ia punya hanya gudang di tepi tebing itu— sebab bisnisnya memang tidak seberapa besar. Kali ini Jiyong tidak bisa memutuskan siapa yang mengkhianati siapa, sebab ia pun berbisnis tanpa sepengetahuan Detektif Park. Tuan Ji tidak bisa mempercayai orang yang pernah mengkhianati ayahnya itu, meski sang ayah sudah memaafkan orang itu.
Tuan Ji tidak sekejam ayahnya, yang tega mengirim putranya sendiri pada pintu kematian. Namun hati pria itu jauh lebih keras daripada hati para pendahulunya. Topengnya, jauh lebih bervariasi dibanding topeng milik orangtuanya. Ia bisa tersenyum di depan orang yang sangat ia benci dan disaat yang sama, ia pun bisa menunjukan topeng kejinya di depan mereka yang disayanginya.
"Kepala Kepolisian menelepon, dia ingin bertemu dengan anda," lapor Daesung setelah ia menjawab sebuah panggilan siang hari ini— waktu dimana Lisa biasanya keluar dari kamar. "Dia sudah menelepon beberapa kali sejak kemarin, dia harus menarik anak-anaknya atau tidak?" tambahnya.
"Tidak perlu bertemu denganku. Katakan saja untuk terus mengikuti permainan Detektif Park. Pria tua itu akan semakin hancur kalau jatuh dari tempat yang tinggi."
"Boleh aku tahu rencana anda?"
"Memberikan apa yang dia inginkan lalu menyiksanya menggunakan putrinya."
"Tidak apa-apa meski kita kehilangan beberapa kasino dan pengedar? Meski kita sudah dapat keuntungan yang lebih besar dari memeras Tuan Kim, tapi uang di kasino juga lumayan. Banyak anak-anak yang di bawa ke kantor polisi dan harus dipenjara karena masalah ini."
"Tidak apa-apa, kita hampir mati di Moscow karenanya. Kita harus membalasnya. Paling lama tiga bulan. Setelah itu singkirkan dia dan kita perbaiki lagi semuanya," tenang pria itu, sembari menatap gadis yang berdiri di pintu ruang kerjanya. Mematung di sana dengan tangan terkepal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanfictionIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.