***
Jiyong dan Somi meninggalkan Lisa di ruang tengah. Bahkan Daesung pergi setelah menerima perintah untuk mencari dimana ibu kandung Somi berada. Tiga puluh menit Lisa duduk sendirian di ruang tengah, sampai Jiyong keluar dari kamar putrinya, berjalan menghampiri Lisa dan duduk di depannya, di atas meja kayu yang kakinya sempat Lisa tendang.
Lisa yang duduk setengah berbaring di atas sofa lantas merubah posisinya. Ia duduk tegak di depan Jiyong dengan wajah pucat karena riasannya sudah terhapus beberapa waktu lalu. "Kau ingin berterimakasih dan menyesal karena menyebutku pelacur tadi?" tanya Lisa dan Jiyong mengangguk. "Apa sangat sulit mengatakannya?" tanya Lisa sekali lagi dan Jiyong menggumam, mengiyakannya lagi. "Kalau begitu, beri aku sedikit hadiah," pinta Lisa, mengatakan kalau Jiyong tidak perlu berterima kasih atau meminta maaf setelah menyebutnya pelacur.
"Apa? Ada sesuatu yang kau inginkan?"
"Hm... Lindungi aku, aku tidak mau pergi ke penjara, bahkan kantor polisi, aku tidak mau pergi ke sana."
"Kau ingin tidur denganku untuk itu?"
"Tadi rencananya begitu, tapi aku berubah pikiran. Kurasa yang baru saja ku lakukan untukmu sudah cukup untuk membuat kesepakatan, iya kan? Aku terluka."
"Baiklah," angguk Jiyong, setuju untuk memberikan apa yang Lisa inginkan. Jiyong hanya perlu memberitahu asistennya dan Daesung yang akan melakukan segalanya.
Dengan tenang pria itu kemudian berdiri, mengatakan pada Lisa untuk segera pulang setelah gadis itu cukup beristirahat. Jiyong berencana untuk pergi ke kamarnya, melihat sendiri luka di pergelangan kaki yang membuatnya berkeringat, namun tangan Lisa justru menahannya.
"Kau tidak ingin mendengar apa yang terjadi hari ini?" tanya Lisa, menahan Jiyong dengan menggenggam telapak tangannya.
"Somi sudah menceritakannya. Tapi obat apa yang kau berikan padanya? Bukan narkoba kan?"
"Obatku, hanya obat tidur dari dokter, bukan narkoba. Kau tidak penasaran apa yang kau lakukan untuk menyelamatkan putrimu?"
"Berpura-pura menjadi kekasihku, lalu berkelahi dengannya? Kau dijambak, ditampar dan? Dia menginjak kakimu?" tebak Jiyong, menunjuk beberapa bekas memar perkelahian di dagu, bahu dan kaki Lisa.
"Heish... Tidak menyenangkan. Tidak bisa kah kau membiarkanku pamer sebentar?" protes Lisa, mendorong tangan Jiyong dari genggamannya kemudian kembali berbaring di sofa empuk itu. "Oh iya, pelayan di rumahmu, ambulance membawanya ke rumah sakit. Kepalanya terluka parah karena di pukul dengan botol wine," ucap Lisa, mungkin Jiyong belum tahu.
"Pergilah ke rumah sakit juga, supirku bisa mengantarmu," balas Jiyong, kali ini sembari melangkah menjauh, menuju kamar tidurnya.
"Tidak. Kau saja tidak pergi ke rumah sakit saat terkilir, kenapa aku harus ke sana? Memalukan," gumam Lisa. "Tapi, bagaimana kau bisa terkilir? Apa sebenarnya gangster memang mudah terluka?" tanya Lisa, sedang Jiyong menutup pintu kamarnya tanpa mengatakan apapun.
Meski tidak banyak, luka di kaki Jiyong masih mengeluarkan darah. Luka itu membuat sepatunya kotor, dengan darah yang pelan-pelan membeku jadi kehitaman. Bertelanjang kaki pria itu melangkah ke dalam kamar mandi di ruang pribadinya. Ia basuh kakinya, ia lepas pakaiannya, membasuh tubuhnya di bawah pancuran. Ia mandi seperti biasanya, mengeringkan tubuhnya dan kembali berpakaian. Dengan plester khusus yang bisa merekatkan luka seolah luka itu baru saja dijahit, Jiyong obati kakinya sendiri.
"Kau masih di sini?" tanya Jiyong kemudian, mengomentari Lisa yang masih berbaring di sofanya, hampir terlelap.
"Di sini nyaman sekali. Aku tidak punya sofa seperti ini di rumah," balas Lisa, masih berbaring di sana. "Berapa harga sofa ini?" susulnya kemudian.
"Dua kali lipat dari uang yang kau berikan padaku."
"Kau menjual milikmu?"
"Tidak."
"Kenapa hari ini kau dingin sekali? Kau marah padaku?"
"Tidak."
"Kau marah, tapi bukan padaku?"
"Hm."
"Butuh pelukan?" tawar Mrs. Twig, dan belum sempat Jiyong menanggapinya seseorang sudah lebih dulu melangkah masuk ke ruang tengah.
Kang Daesung yang sedari tadi berdiri di halaman, menelepon kemudian pergi ke mobil dan kembali lagi kini datang dengan dua orang di belakangnya. Sang asisten berhasil mendapatkan ibu kandung Somi yang belum lama melarikan diri dengan bantuan anak-anak buahnya. Wanita yang kelihatan hampir sepuluh tahun lebih tua dari Mrs. Twig itu mendapat sebuah luka gores di siku dan lututnya. Ia juga punya sebuah luka memar di pelipis dekat matanya dan kedua ujung bibirnya yang berdarah.
"Aku yang melukai bibirnya," pamer Lisa saat melihat wanita itu datang. "Tapi dia juga melukaiku," susulnya, mengadu pada Jiyong sembari menunjukan telapak tangan kirinya yang tersayat pisau ketika menelepon Jiyong tadi— sebelum panggilan itu Jiyong akhiri karena terlalu berisik.
"Bawa dia ke gudang," suruh Jiyong, setelah ia melirik telapak tangan Mrs. Twig.
Kang Daesung pergi membawa penjahatnya hari ini meninggalkan rumah majikannya. Sebelum pergi, pria itu berpesan kalau ia sudah memanggil Dokter pribadi Jiyong, juga sudah menyuruh orang untuk memperbaiki pintu rumah bosnya.
"Besok aku akan mendapatkan seorang pelayan-"
"Aku! Aku saja!" seru Mrs. Twig, menawarkan dirinya sendiri untuk bekerja di rumah itu. "Aku bisa memasak dan menemani Somi, aku bisa jadi pelayan di sini selama beberapa hari. Setidaknya, sampai aku yakin tidak ada polisi yang bisa menangkapku," tawarnya dan sang tuan rumah menyuruh Daesung pergi, meninggalkan ia dan rumahnya yang sedikit berantakan karena perkelahian Lisa dengan ibu dari putrinya tadi.
"Aku di terima jadi pelayan?" tanya Lisa, setelah ia melihat punggung Daesung pergi meninggalkan rumah itu.
"Tidak. Seorang pelayan tetap akan datang besok. Tapi kalau kau ingin tinggal, kau bisa tinggal setelah telanjang dan melayaniku," santai Jiyong, yang kemudian mengambil tempat di salah satu sofa single-nya, duduk dan bersandar di sana seolah ia menunggu Lisa melakukan tugasnya.
Bangkit dari sofa milik Tuan Ji, Mrs. Twig mendudukan tubuhnya di sandaran lengan sofa pria itu. Lisa membungkuk, memeluk Jiyong di lehernya, lantas berbisik, mengatakan kalau hari ini ia iri sekali pada Somi. Lisa iri sebab Somi punya seorang ayah yang bisa ia peluk ketika harinya buruk. Somi tidak punya teman, namun ia punya seorang ayah yang bisa dipeluknya kapan pun ia butuh. Seorang yang tidak akan mendorongnya, seorang yang tidak akan meremas bokongnya saat dipeluk.
Mendengar cerita yang Lisa bisikan itu, Jiyong membalas pelukannya. Ia rangkul bahu dan punggung Mrs. Twig, memeluknya sembari memberi punggung melengkung itu beberapa tepukan pelan. "Heish... Sialan, aku jadi sedih sekarang," keluh Lisa, yang justru bangkit, memalingkan wajahnya, menghindari mata Tuan Ji kemudian mengusap bagian bawah matanya, menyingkirkan butir air mata yang belum sempat keluar dari sana.
"Aku pulang-"
"Kau harusnya pergi saat aku menyuruhmu pergi, sekarang kau terlambat," potong Tuan Ji, yang kini menarik tangan Lisa, membuat gadis itu duduk di atas pangkuannya lantas mencium bibirnya. Memaksa agar Mrs. Twig segera memberikan apa yang ia inginkan, sore ini.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
Fiksi PenggemarIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.