***
Setelah dua jam duduk di dalam sebuah taksi, Kwon Somi turun dari mobil oranye itu. Ia bayar taksinya dengan sebuah kartu hitam di tangannya kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya. Rumahnya berada di kompleks perumahan orang-orang berada, sebuah rumah dengan pagar batu tinggi yang mengelilinginya. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan apapun dari luar. Namun saat gadis tujuh belas tahun itu masuk ke dalam pekarangan rumahnya, tiga ekor anjing menggonggong padanya, berharap dapat beberapa belaian dari si gadis cantik dengan rambut pirang alami itu.
Bukan pemandangan baru, ketika Somi pulang ke rumah di sore hari dan ia lihat ayahnya tengah duduk di halaman, mendengarkan beberapa laporan dari anak buahnya. Bukan pemandangan baru juga, kalau ayah gangster-nya itu melempar asbak kacanya ke kepala anak buahnya. Awalnya Somi takut. Awal tinggal di sana, Somi selalu menangis setiap kali melihat kejadian keji itu. Namun kini matanya sudah terbiasa berpaling setiap kali sosok ayah gangster-nya berada di sekitarnya. Sudah tujuh tajun Somi tinggal di sana dan kejadian-kejadian keji itu menjadi tontonannya hampir setiap hari.
Tanpa menyapa siapapun, Somi melangkah masuk ke kamarnya, seperti biasanya. Namun sore ini langkah kakinya berhenti di pekarangan, di belakang kursi yang ayahnya duduki. "Ibumu ingin bertemu denganmu," ucap sang ayah, membuat kaki Somi beku di tempatnya.
"Maksudmu, dia ingin minta uang lagi padaku? Atau padamu?"
"Temui dia dan tanya sendiri padanya."
"Tidak mau. Jangan beri dia uang. Aku akan langsung bunuh diri kalau kau memberinya uang," ketus Somi, kembali melanjutkan langkahnya namun baru sampai ke pintu depan rumahnya gadis itu berbalik, kembali menghampiri Kwon Jiyong, ayah gangster-nya.
Kwon Jiyong menggumam untuk mengiyakannya. Namun respon pria itu justru membuat Somi semakin kesal. Pasalnya sang ayah terlalu dingin ketika menanggapi ancaman bunuh dirinya. Dalam hatinya, sembari melangkah dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakan, Somi bertanya-tanya, apakah ayahnya sama sekali tidak khawatir padanya?
Sepanjang hidupnya Somi hidup dalam rasa penasaran. Awalnya gadis tujuh belas tahun itu penasaran, benarkah wanita yang sering memukulinya itu ibunya? Benarkah ia dijual oleh ibunya sendiri? Kenapa pria bertato yang ketus itu membelinya? Benarkah Kwon Jiyong si gangster itu adalah ayahnya? Benarkah ayahnya sengaja membelinya seperti yang ibunya katakan tujuh tahun lalu? Somi luar biasa penasaran namun ia tidak berani mendengar jawabannya. Bahkan saat Jiyong menawarkan untuk mereka melakukan tes DNA, Somi menolak. Somi enggan mengetahui kalau wanita dan pria yang mengaku sebagai orangtuanya itu benar-benar orangtua kandungnya.
Somi enggan mengetahui kalau wanita pecandu narkoba yang sering memukulinya itu adalah ibu kandungnya. Somi juga enggan mengetahui kalau pria yang selalu mengabaikannya itu adalah ayah kandungnya. Bagi Somi, akan lebih baik kalau kedua manusia itu bukanlah orangtua kandungnya. Somi lebih suka berangan-angan kalau ia dititipkan oleh orangtua kandungnya kepada dua orang iblis yang saling membenci.
"Hubungi aku begitu kapalnya tiba, kalian boleh pergi," ucap Jiyong, mengembalikan selembar laporan yang diberikan orang kepercayaannya setelah ia mendengar Somi membanting pintu depan rumahnya. "Dia bolos lagi?" tanya Jiyong kemudian, kali ini pada asisten pribadinya, seorang pria yang selalu berdiri di sebelahnya dan membantunya mengerjakan segala hal. "Suruh dia tinggal di dekat sekolahnya. Untuk apa dia pindah sekolah sejauh itu kalau tetap tinggal di sini? Waktunya habis hanya untuk perjalanan pulang dan pergi," susulnya.
"Nona tidak ingin pergi dari rumah ini," jawab asistennya- Kang Daesung. "Kejadian tahun lalu masih membuatnya trauma," susulnya.
Kejadian yang asisten Kang maksud adalah ibu yang merawat Somi sejak kecil. Tahun lalu Somi masih duduk di kelas sepuluh, gadis itu keluar dari rumah untuk tinggal sendirian di sebuah gedung apartemen dekat sekolahnya. Jaraknya tidak seberapa jauh dari rumah Jiyong, hanya satu jam perjalanan dengan taksi. Jiyong masih bisa memantau keadaan putrinya dengan mudah saat itu. Namun saat Jiyong sibuk dengan pekerjaannya, wanita asing yang melahirkan Somi tiba-tiba mengetuk pintu rumah Somi.
Wanita itu tidak merindukan putrinya. Wanita itu tidak mengunjungi Somi untuk mengecek keadaan putrinya. Wanita itu justru datang, memaksa agar Somi memberinya sejumlah uang. Kedatangan wanita itu berserta alasannya membuat Somi marah. Wanita yang tujuh tahun lalu menyeret Somi ke rumah bordil, akan menjualnya pada segerombolan pria tua hidung belang, tiba-tiba datang tanpa rasa bersalah dan minta diberi uang, Somi yang tinggal sendirian tidak bisa mengatasinya.
Saat itu Somi hancur namun wanita yang menyandang status sebagai ibunya itu tidak peduli pada kehancurannya. Tidak hanya di rumahnya, tapi juga datang ke sekolahnya. Ia permalukan Somi di depan teman-teman sekolahnya. "Anak kurang ajar ini bahkan bersetubuh dengan ayahnya sendiri!" marah wanita itu, sebab Somi tidak sudi memberinya uang.
Wanita gila yang seharusnya melindungi anaknya itu, membuat Somi kembali ke rumah Jiyong. Sembari menangis, Somi bersumpah ia tidak akan lagi bertemu dengan ibunya. Sembari terisak, Somi berjanji ia tidak akan menganggap wanita itu sebagai ibunya lagi. Dan saat itu, juga sembari menangis, Somi enggan pergi ke sekolah.
Baru di awal tahun ini, Somi mau pergi ke sekolah. Gadis itu mau kembali belajar di sekolah, meski jarak rumah dan sekolahnya sejauh dua jam perjalanan. Sekolahnya berada hampir di luar kota dan Somi sendiri yang memilih sekolah itu. Sekolah yang ia harap tidak akan ditemukan ibu gilanya.
"Kalau begitu suruh dia home schooling saja, suruh dia berhenti keras kepala," ucapnya sebal.
Asisten Kang mengiyakannya, lalu kemudian pria itu mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari sakunya. Ia keluarkan beberapa foto dari amplop itu lantas memberikannya pada Jiyong.
"Siapa ini?" tanya Jiyong, sembari memperhatikan satu persatu gambar seorang wanita dalam lembar-lembar foto itu.
"Putri Detektif Park yang anda cari," jawab Kang Daesung. "Namanya Park Lisa, sekarang orang-orang memanggilnya Mrs. Twig, dia tinggal di dekat sekolah Nona Somi dan setiap malam, dia bekerja ke kelab malam, kasino, hotel, restoran, tergantung dimana kliennya ingin bertemu. Dia selalu pulang sebelum pagi, keluar lagi untuk makan siang, kemudian tinggal di rumahnya sampai matahari terbenam. Menariknya, dia sekolah di Colombia High School saat kasus penembakan terjadi, dia salah satu saksi saat kejadian waktu itu, sama seperti anda."
"Aku juga ada di sana saat penembakan itu terjadi? Aku yang menembak pelakunya, tapi mereka bilang itu bunuh diri, kau punya fotonya saat dia masih sekolah? ah! Kami pernah bertemu, saat kejadian itu. Aku mengingatnya karena dia terus menatapku waktu itu. Dia tumbuh jadi sangat cantik begini. Apa dia tidur dengan kliennya? Aku terangsang melihat fotonya. Aku ingin bertemu dengannya."
"Anda akan mengirimnya menemui Detektif Park?"
"Entahlah, kita lihat nanti. Sekarang, aku hanya ingin menidurinya," acuhnya, sibuk memperhatikan satu persatu foto gadis di depannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanfictionIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.