***
Empat tahun lalu Tuan Ji yang selalu meninggalkan Lisa untuk tidur sendirian lebih lama. Namun siang ini, pria itu yang justru tidak ingin bangkit dari ranjang. Asistennya sudah datang, pekerjaan sudah menunggunya, namun ia tetap berbaring bahkan saat Lisa sudah duduk di sebelahnya. Merasa ada yang tidak biasa, Lisa menyentuh dahi Tuan Ji, namun ia tidak sakit. Pria itu baik-baik saja.
Mungkin, semakin tua usianya, tubuhnya jadi semakin lelah dan ia selalu ingin tidur lebih lama. Mrs. Twig meninggalkan kamar itu, ia biarkan Tuan Ji untuk tidur lebih lama sementara dirinya sendiri harus mulai mengisi perutnya. Di dapur, ia lihat Daesung sedang membuka lemari es, dengan pelayan di rumah itu yang masih membuat sepanci sup.
"Good morning," sapa Lisa ditengah hari yang terik, bergegas duduk di meja makan, menaikan kakinya ke atas kursi kemudian menumpu kepalanya di ceruk lututnya sembari memeluk kakinya sendiri. "Bibi, aku lapar," lapor Lisa, membuat si pelayan mengiyakannya dan cepat-cepat menyelesaikan supnya. "Campur saja nasi dan supnya di satu mangkuk, aku tidak ingin lauk lainnya. Beri aku banyak kuah, perutku sakit," pintanya dengan mata setengah terpejam.
"Tuan Ji pergi pagi ini?" tanya Daesung kemudian. "Dia tidak ada di kamarnya."
"Dia ada di kamar Somi. Kelihatannya sangat lelah, jangan membangunkannya," jawab Lisa, yang kemudian menguap tanpa menutup mulutnya. "Apa dia sangat sibuk akhir-akhir ini? Dia kelihatan seperti orang yang sudah lama tidak tidur. Dia langsung tidur begitu berbaring, ku pikir pingsan," tanya Lisa.
"Sejak tinggal di Moscow dia tidak bisa tidur."
"Kenapa? Kalian sangat sibuk? Atau ada banyak gadis Rusia yang membuatnya tergoda? Sepertinya seleranya wanita asing, seperti ibunya Somi," komentar Lisa, kali ini sembari tersenyum karena sudah mendapatkan apa yang diinginkannya— semangkuk nasi dengan sup.
"Tidak mudah tinggal jauh dari keluarganya, Tuan Ji pasti kesulitan karena harus menahan diri untuk tidak pulang, yang seperti itu biasanya membuat seseorang jadi sulit tidur," komentar si pelayan, membuat Lisa hampir tersedak karena tertawa.
"Bibi, dia selalu bisa pulang kapan pun dia ingin," tawa Lisa, sedang Daesung hanya tersenyum simpul menanggapinya, enggan berkomentar kemudian mengatakan apa yang seharusnya ia rahasiakan.
Sudah pukul dua dan Jiyong masih belum bangun. Ia buat Mrs. Twig penasaran, kenapa hari ini pria itu tidur jauh lebih lama dari yang bisa ia ingat. Lisa sudah mandi, ia bahkan sudah menghubungi beberapa kenalannya untuk mencari Lee Taeyong, mengatur jadwal untuk bertemu sampai akhirnya ia tahu kalau kekasih Taeyong— Eunha— sudah menikah dengan pria lain.
"Ah... Harusnya aku menemui keluarganya lebih dulu," gumam Lisa, menyadari dimana kesalahannya. Selepas mendapatkan informasi yang dibutuhkan— alamat Eunha juga ibu Taeyong— Lisa melangkah masuk ke dalam kamar Somi. Ia lihat Jiyong masih berbaring di sana, terlelap dengan sangat tenang hingga membuatnya khawatir. "Hei, apa kau sakit? Kenapa kau terus tidur?" tegur Lisa, sengaja duduk di tepian ranjang, kemudian membungkuk untuk memeluk pria itu. Ia usapkan hidungnya di pipi pria itu, menggodanya agar lekas bangun.
"Ng... Tidak. Jam berapa sekarang?" tanya Jiyong, masih menolak untuk membuka matanya namun sudah bisa menggerakkan tangannya dan balas memeluk Lisa.
"Hampir jam tiga," jawabnya, mengusap-usap dada Jiyong masih sembari membungkuk dan memeluk pria itu. "Kau tidak mau bangun? Asisten Kang sampai pergi karena kau tidak cepat bangun."
"Hm... Aku akan bangun sebentar lagi," angguknya. "Mau aku buatkan makan siang? Aku bisa memasak sekarang," tawar Lisa dan lagi pria itu menganggukan kepalanya. "Kalau begitu cepat bangun," suruhnya, yang kemudian melangkah pergi ke dapur untuk membuatkan Jiyong makan siang yang terlambat.
Dua puluh menit Lisa sibuk di dapur. Namun saat Jiyong keluar setelah mandi, pria itu mengerutkan dahinya. "Apa yang kau masak?" tanya Jiyong, padahal Mrs. Twig sudah menyusun semuanya di atas meja. Di atas meja makan, ada mie instan kemasan gelas, tuna kaleng yang sudah di buka, beberapa lauk sampingan yang memang selalu ada di lemari es dan sebutir telur goreng, juga nasi yang diambil dari penanak nasi. Melihat makanan-makanan itu, Jiyong lantas menanyakan dimana pelayannya sekarang.
"Dia pergi mengantar pakaianku ke binatu," jawab Lisa. "Sebenarnya, Bibi sudah memasak hari ini, sup telur dengan daging, juga ikan panggang. Tadi dia bilang aku hanya perlu menghangatkannya sebentar kalau kau lapar. Tapi... Saat aku menghangatkannya, aku dapat telepon. Aku lupa lalu sup dan ikannya sudah jadi arang, kau mau? Setidaknya aku sudah menggorengkanmu telur! Iya kan?"
"Wah... Haruskah aku berterimakasih? Untuk telur goreng dan tuna yang bahkan tidak kau apa-apakan?"
"Tuna kaleng sudah enak meski tidak diapa-apakan. Jangan merepotkan diri sendiri, toh semua itu akan berakhir di toilet," santai Lisa, menandu Jiyong untuk segera duduk di meja makan dan menikmati makanan yang sudah ia buat. "Kalau kau memang mencintaiku, kau harusnya bisa menghargai usahaku-"
"Tunggu, dimana usahamu?"
"Niatku? Ayolah, jangan manja, makan saja atau tunggu Bibi pulang. Jangan terus mengomentari usahaku yang sedikit ini, kau bisa dibilang jahat oleh orang-orang."
"Harusnya aku tidak berekspetasi apa-apa tadi," komentar Jiyong yang akhirnya mengambil sendoknya, memulai makan siangnya yang terlambat dengan sesuap kuah mie instan. "Ya! Ambilkan aku semangkuk nasi lagi!" seru Jiyong, setelah ia memasukan nasi dalam mangkuknya ke dalam kemasan mie instannya.
"Wahh... Kau pasti menyukai masakanku."
"Wahh... Positif sekali pikiranmu. Padahal aku hanya lapar," balas Jiyong, mulai mengunyah makan siangnya sembari sesekali menggerutu, mengomentari niat dan usaha Lisa untuk memberinya makan.
Lisa kembali menelepon setelah mengambilkan Jiyong semangkuk nasi. Namun seolah tidak bisa melihat situasi di sana, Jiyong tetap menyuruh gadis itu melakukan banyak hal— mengambilkan minum, mengambilkan tambahan rumput laut, mengambilkan handphonenya di kamar, sampai yang terakhir Jiyong meminta Lisa menyiapkan sepiring buah untuk pencuci mulutnya.
"Ini pencuci mulutmu," ucap Lisa, meletakan sebuah apel utuh dan pisau buah di atas piring. "Kalau kurang, masih ada banyak apel di kulkas. Dan kalau tetap kurang, pakai sabun untuk mencuci mulutmu itu, jangan memanggilku lagi," ketus gadis yang sudah lelah karena terus dipanggil.
"Lisa-"
"Apa lagi?! Apa lagi?! Kenapa kau terus memanggilku?!" kesal Lisa, padahal handphonenya sudah berdering karena panggilan baru yang lagi-lagi masuk ke handphonenya. "Apa kau tidak lihat aku sibuk?!" serunya sembari menunjukan handphonenya yang kemasukan banyak panggilan.
"Kau datang bulan."
"Ah? Sungguh? Heish! Pantas saja aku jadi pemarah hari ini," gerutunya, berusaha melihat bagian belakang celananya, namun memutuskan untuk langsung pergi ke kamar mandi karena tidak bisa melihat apapun.
"Bukannya kau memang pemarah? Tidak perlu menunggu datang bulan."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanficIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.