***
Mereka berbaring di kamar masing-masing. Jiyong di kamar utama sedang Lisa berada di dalam kamar Somi. Sembari berbaring, Lisa bertelepon dengan Somi, sedang Jiyong menerima laporan dari asistennya. Lama mereka sibuk dengan pembicaraan masing-masing, sampai akhirnya Lisa masuk ke kamar utama. Ia ketuk pintunya terlebih dahulu, kemudian melangkah masuk setelah si pemilik kamar mengizinkannya datang.
"Kau pasti sudah tahu, Somi tidak ingin mengadakan upacara pemakaman untuk ibunya," ucap Lisa, yang memilih untuk duduk di sofa daripada bergabung dengan Jiyong di ranjang.
"Kau benar-benar berusaha untuk menghindariku. Kenapa? Kau takut padaku?" tanya Jiyong, meletakan handphonenya di ranjang kemudian duduk bersila di sana, memperhatikan Lisa yang kelihatan sangat canggung di sofa. "Kau tidak cocok begitu, bersikaplah seperti biasanya."
"Bisakah kita membicarakan Somi sebentar? Jangan mengalihkan pembicaraan."
"Tidak bisa," tolak Jiyong. "Kita tidak bisa membicarakan hal lainnya sebelum kau memperbaiki perasaanmu. Semua perasaanmu tergambar jelas di wajahmu, kau terlihat sangat kesal, sangat menganggu."
"Apa aku tidak boleh kesal?!" seru Lisa kemudian, terpancing hanya karena Tuan Ji menyinggung tentang wajahnya, tentang perasaannya. "Kau ingin memanfaatkanku, aku tidak boleh kesal?! Kenapa semua orang sangat menyebalkan?! Kenapa tidak ada seorang pun yang memahamiku? Kau pikir mudah untukku bisa sampai di sini?! Sebelum bisa duduk di sini, aku dihina, diremehkan, semua orang menudingku, mereka membenciku!" keluhnya, mengingat dengan jelas semua yang ia alami sejak berita tentang kematian ayahnya tersebar.
Jiyong tidak mengatakan apapun. Melihat tangan gadis itu bergetar dengan suara tinggi yang tidak seberapa kuat, membuat dadanya ikut merasa sesak. Pria itu kemudian bangkit dari ranjangnya, menghampiri Lisa yang duduk di sofa. Mrs. Twig menahan kotak pandora dalam hatinya agar tidak terbuka. Ia berusaha keras untuk menutup kembali kotak yang nyaris terbuka itu, namun usahanya sia-sia saat rangkul hangat Tuan Ji melingkar di bahunya, memeluknya, membuat kotak pandora miliknya meledak seketika itu juga.
Ia tidak ingat kapan terakhir ia menangis. Ia tidak tahu kalau matanya masih menyimpan banyak air mata. Ia tidak tahu kalau mulutnya masih ingat caranya terisak, merengek dalam pelukan seseorang yang hanya ingin memanfaatkannya. "Aku pernah menjalani hidupku dengan sungguh-sungguh. Aku pernah berusaha sangat keras untuk mimpiku. Selama dua puluh tahun hidupku aku tidak pernah melukai orang lain. Tapi tiba-tiba saja duniaku hancur. Semua orang menudingku, semua orang membenciku, semua orang takut padaku, putri gangster, putri polisi korup, putri orang jahat, mereka menghinaku, mereka meremehkanku, mereka menudingku, mereka bahkan menuduhku melakukan apa yang tidak ku lakukan! Kau tahu apa saja yang ku lakukan untuk bertahan?! Aku juga sudah berusaha! Aku berusaha bertahan! Aku berusaha jadi gadis baik! Aku berusaha membuktikan pada mereka kalau aku tidak seperti itu! Tapi semua itu tidak berguna, semua itu tidak membuat mereka berhenti, tidak ada yang menerimaku, aku sudah berusaha tapi semuanya sangat sulit!" keluh gadis itu sembari terus terisak, menangis dalam pelukan Tuan Ji.
"Bahkan berengsek yang membuatku sengsara, sekarang ikut menudingku, ikut menyalahkanku. Tanpa bertanya bagaimana kabarku, bagaimana hidupku, dia mengomentari cara hidupku. Aku sudah berusaha... Aku berusaha sangat keras untuk tetap hidup. Kenapa tidak seorang pun melihat usahaku? Apa hanya kerja sambilan di lima restoran, atau belajar sampai mimisan yang layak disebut berusaha? Aku juga berusaha..." protesnya, yang lama-kelamaan berubah menjadi isakan tanpa kata-kata. Gadis itu hanya menangis, dengan banyak air mata, dengan banyak isakan yang akhirnya berhenti.
Mereka tetap berpelukan meski sudah sepuluh menit Lisa berhenti menangis. Beberapa usapan lembut, masih Tuan Ji berikan di helai rambut gadis itu. Sampai kemudian pria berkata, "kau tidak pingsan kan?" bisiknya, sebab gadis yang ia peluk tidak memberikan gerakan apapun.
"Aku harap aku pingsan," gumam Lisa, tetap memeluk pria di depannya. "Augh, kenapa aku menangis begini... aku malu," keluhnya, menolak untuk menatap Jiyong yang perlahan-lahan melepaskan pelukan itu.
"Tidak apa-apa, aku sudah sering melihat seseorang menangis," tenang Jiyong, kali ini mendorong Lisa sampai pelukan mereka terlepas, kemudian mengusap pipi yang basah di depannya. "Meski ini pertama kalinya aku mengusap air mata seseorang, anggap saja kau beruntung," susulnya.
"Menyebalkan."
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya, sengaja tersenyum, kemudian merapikan helai-helai rambut Lisa yang berantakan karena pelukan tadi. "Tidak apa-apa, kau tidak perlu malu, hanya ada aku di sini, tidak ada yang melihatmu menangis," tenang pria itu.
"Jangan membicarakannya lagi."
"Hm... Aku tidak akan menyinggung tentang tangisanmu lagi."
"Ya! Jangan membicarakannya!" protes Lisa dan Jiyong mengangguk, dengan senyum jahil yang membuat Lisa perlahan-lahan ikut tersenyum. Tertawa, menertawakan dirinya sendiri yang tadi menangis seperti anak kecil. "Kau bisa memanfaatkanku, aku tidak keberatan. Tapi jangan membunuhnya, ku mohon. Kau bisa melakukan apapun padanya, tapi jangan membunuhnya. Bisakah kau berjanji, kau tidak akan membunuhnya?"
"Kenapa? Karena dia ayahmu?"
"Tidak," geleng ragu gadis itu. "Tidak, maksudku ya, iya karena dia ayahku... Dan... Dan aku rasa aku tidak akan bisa mengatasinya, kalau kau yang membunuh ayahku. Apa yang akan terjadi padaku kalau kau yang membunuhnya? Apa yang harus aku lakukan kalau aku membencimu? Membayangkannya saja membuatku takut."
"Kau pasti akan melakukan sesuatu kalau membenciku, tidak perlu khawatir. Kau lebih kuat dari yang bisa kau bayangkan," tenang Jiyong. "Tapi karena kau memintanya, aku berjanji tidak akan membunuhnya. Dia sakit. Tanpa perlu ku bunuh-"
"Kalau dia mati karena sakit, itu akan jadi lebih baik. Setidaknya, bukan aku yang terluka sendirian," potong Lisa yang selanjutnya bangkit dari duduknya, berdiri, hendak pergi dari kamar itu.
Tuan Ji menahan gadis itu. "Kalau kau sudah merasa lebih baik, kalau kau tidak membenciku, tidak bisakah kau tetap di sini? Sudah beberapa hari aku tidak tidur," pinta Jiyong, memegangi jemari Lisa, menahan gadis yang sudah berdiri di depannya agar tidak melangkah keluar kamar.
"Aku lapar... Menangis membuatku lapar."
"Tidak sedang menghindariku lagi?"
"Bukankah kau yang menghindariku? Kau yang memilih tidak pulang."
"Kau akan keluar tanpa tujuan kalau aku di rumah. Kau tidak punya tempat lain selain di sini."
"Wahh... Selamat, karena kau punya banyak tempat tujuan di luar sana," santai Mrs. Twig yang kemudian mengulurkan tangannya, mengajak Jiyong untuk keluar dari kamar bersamanya. Pergi ke dapur untuk mencari beberapa camilan malam. "Tapi, Tuan Ji, apa yang akan kau lakukan pada ibunya Somi? Menguburnya begitu saja? Bagaimana pun dia ibunya, Somi pasti sedih kalau ibunya berbaring di sembarang tempat, bukan di makam layak seperti orang lainnya."
"Wanita itu, mimpi buruk bagi Somi. Biarkan Somi yang memutuskan sendiri apa yang akan dilakukannya."
"Kenapa?"
"Menurutmu, bagaimana Somi bisa tinggal bersamaku?"
"Kau mengambilnya dari ibunya?"
"Tidak. Aku membelinya di rumah pelacuran. Somi yang baru sepuluh tahun, dijual ibunya di rumah pelacuran."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
Fiksi PenggemarIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.