42

684 141 4
                                    

***

"Sayang, terimakasih makan siangnya," ucap Jiyong, yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar tidur utama untuk mengambil kunci mobilnya. Saat itu Lisa sedang menikmati kram datang bulannya di kamar utama. "Bereskan meja makannya, aku akan pergi sebentar," susulnya, kali ini sembari mengambil sebuah jaket di dalam lemarinya. "Ah! Dan kau tidak perlu pergi. Tinggal saja di sini, kau bisa tidur denganku di kamar utama, atau memakai kamar Somi, terserah, apapun yang membuatmu nyaman. Aku tidak akan membayarmu untuk menjaga rumah dan Somi lagi, tapi kau tidak perlu membayar uang sewanya. Aku juga akan memberimu makan dan kau bisa memakai apapun yang ada di rumah ini. Tapi beritahu aku kalau kau mau pergi, kemana dan kapan kau pulang."

"Kenapa aku harus memberitahumu? Karena kau akan mengkhawatirkanku?"

"Tidak," geleng Jiyong. "Aku harus menyesuaikan waktunya kalau ingin membawa wanita lain pulang, iya kan?" godanya, membuat Lisa menyingkirkan senyumnya, menggantinya dengan wajah datarnya. Karena jawaban Jiyong, gadis itu mengumpat melalui tatapannya. "Aku hanya bercanda, beritahu aku agar aku bisa memutuskan harus menunggumu pulang atau tidak," tenang pria itu.

"Kemana kau akan pergi? Aku sedang sakit dan ditinggal sendirian di rumah? Bagaimana kalau aku pingsan?"

"Telepon aku sebelum pingsan," jawab Jiyong, yang kemudian melangkah meninggalkan kamar tidurnya.

"Ya! Kemana kau akan pergi?! Aku juga harus pergi nanti malam!"

"Ke rumah ayahmu, tidak perlu ikut," jawab Jiyong, yang yang kemudian benar-benar meninggalkan rumahnya. Meninggalkan Lisa yang sudah pasti tidak sudi mengikutinya. "Sudah saatnya menghadapi kenyataan," gumam pria itu, yang kali ini menolak untuk diantar supirnya. Ia menyuruh supirnya untuk mengantar Lisa saat gadis itu sudah siap pergi. "Tapi mobil siapa itu?" tanyanya kemudian, melihat mobil sedang dengan banyak luka di sudut-sudutnya.

"Mobil Mrs. Twig."

"Ah... Pantas saja bentuknya begitu," angguk Jiyong yang akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari sana. Setidaknya Lisa bisa mengemudi sekarang, meski memasak dan membersihkan rumah tetap tidak jadi hobinya— nilai Jiyong. 

Jiyong tiba di rumah Detektif Park tepat sebelum matahari terbenam. Dari laci dashboardnya, ia keluarkan senjatanya. Ia pastikan senjata api itu terisi penuh dan bisa berfungsi dengan benar. Lantas ia simpan senjatanya di belakang punggungnya. Tidak seberapa lama, seorang pria datang mengetuk jendela mobilnya. Itu Detektif Park, yang terlihat jadi semakin tua hanya setelah empat tahun tidak bertemu.

Tanpa mengatakan apapun, keduanya kemudian bertemu. Duduk bersama di beranda seperti teman lama yang sudah lama kehilangan kabar satu sama lain. Tidak ada teh, tidak ada kopi apalagi camilan. Hanya ada dua senjata di atas meja, milik Jiyong juga milik pria tua itu.

"Aku tidak ingin membunuhmu," ucap Detektif Park.

"Aku juga tidak ingin melakukannya," balas Jiyong. "Tapi kau mengkhianatiku, seperti kau mengkhianati ayahku, sayang sekali," lanjutnya.

"Kenapa kau kembali?"

"Kenapa? Kau tidak ingin aku kembali?" tanya Jiyong, sembari melirik handphonenya yang bergetar di atas meja. Bahkan Detektif Park dapat melihat siapa yang menelepon— Lisa, karena ada foto gadis itu di layarnya. "Harus aku menolak teleponnya? Dia tidak biasa menelepon kalau tidak benar-benar penting," tawar Jiyong yang kemudian menjawab panggilan itu karena Detektif Park mempersilahkannya. "Hm? Kenapa? Kau pingsan?" tanyanya begitu menjawab panggilan itu.

"Ada polisi di sekitaran kasino. Mungkin malam ini mereka akan meringkus kasinonya," lapor Lisa, yang baru saja melewati kasino itu dengan mobilnya. "Aku sudah memberitahu Ghost, dan untuk sementara kasino di hotel juga akan kami tutup. Berjaga-jaga kalau polisi juga datang ke sana. Kurasa seseorang benar-benar ingin menjatuhkanmu."

"Baiklah. Aku akan menyelesaikannya," jawab Jiyong, melirik orang yang ia curigai. "Setidaknya, ada untungnya kau terluka. Kalau kau tidak terluka aku tidak akan pulang dan melihat semua ini."

"Sama-sama," singkat Lisa. "Aku sedang menyetir sekarang, tutup teleponnya," suruh gadis itu membuat Jiyong langsung menuruti keinginannya.

Jiyong kemudian menatap pria di depannya. Ia pandangi Detektif Park kemudian menyinggungkan senyumnya yang kelihatan sinis. "Kau yang melakukannya?" tanyanya kemudian. "Orang yang awalnya hanya menawariku obat, tiba-tiba menjual senjata. Dia ingin aku datang ke Rusia dan kekacauan terjadi. Aku hampir mati di Moscow, berkali-kali. Tapi manusia sepertiku tidak mati semudah itu. Apa yang kau lakukan pada Lee Byunghun, tidak mempan untukku. Mengirimku ke tengah-tengah battle royale juga tidak membunuhku. Sayang sekali, usahamu tidak cukup untuk membunuhku."

"Sudah ku bilang aku tidak ingin membunuhmu."

"Tapi kau ingin aku mati. Dengan begitu putrimu akan menjauhiku," tebak Jiyong. "Dia memberitahuku, kau terus datang dan menyuruhnya berhenti. Kau ingin dia memulai hidup baru, di tempat lain. Hidup normal seperti orang lain. Kau bahkan berbohong padanya kalau aku yang menyuruhmu mengikutinya kemana-mana."

"Ini tidak ada hubungannya dengan Lisa!"

"Ah, sungguh begitu?" tenang Jiyong. "Mungkin awalnya memang tidak."

Sedari awal Jiyong tahu kalau Detektif Park ingin mengakui semua kejahatannya. Ia tahu kalau semakin tua Detektif Park, semakin malu ia pada dirinya sendiri. Krisis identitas menyerang Detektif Park. Siapa dirinya sebenarnya— detektif yang menyamar sebagai anggota gang, atau anggota gang yang merasa telah melanggar moralnya sendiri.

Detektif Park ingin berhenti jadi orang jahat. Ia ingin berhenti bekerja di gudang yang penuh senjata dan pria-pria bertato. Ia ingin hidup normal dan dengan bangga muncul di depan putrinya sebagai seorang pria baik. Bukan sebagai seorang anggota gang dengan tangan penuh darah. Namun tidak satupun dari keinginannya yang bisa terwujud. Ia sudah terlanjur tenggelam. Bahkan putrinya ikut melompat ke dalam kubangan itu.

Melihat Lisa mendengarkan Jiyong empat tahun lalu, tidak membuatnya merasa lebih tenang. Melihat putrinya lebih mempercayai Jiyong dibanding dirinya sendiri, justru membuatnya ketakutan. Membuatnya terjebak dalam kotak gelap penuh penyesalan. Harusnya ia tidak memalsukan kematiannya, harusnya ia tidak meninggalkan putrinya. Kini putrinya justru duduk di dalam kubangan dan terlihat nyaman berada di sana. Yang justru kelihatan menyedihkan bagi seorang ayah yang tahu bagaimana kejamnya kubangan itu.

Detektif Park sudah berusaha menarik Lisa keluar dari kubangan itu. Ia hubungi seorang yang di kenalnya, mengundang Jiyong ke Moscow. Ia buat kesempatan bagi dirinya sendiri, menjauhkan putrinya dari raja dalam kubangan itu kemudian berusaha menariknya keluar— sesederhana itu rencananya. Namun tawanan perang yang merasa mendapatkan sedikit kasih dari sang raja, menolak meninggalkan kubangan gelap yang busuk itu. Maka rencana detektif Park berubah. Daripada menarik putrinya dari kubangan itu, kini ia memilih untuk menguras kubangannya, berharap putrinya akan keluar sendiri dari kubangan yang sudah kering itu. Sialnya sang raja dalam kubangan itu kembali dari Moscow sebelum ia selesai menguras kubangan yang menawan putrinya.

"Lanjutkan apa yang kau mulai," tenang Jiyong kemudian. "Biar aku beri sedikit informasi. Sampai empat bulan lalu, putrimu sangat setia padaku karena dia punya hutang padaku. Karena dia butuh uang untuk melunasi hutang itu. Tapi sekarang hutangnya sudah lunas. Bisakah kau menebak apa yang akan dilakukan putrimu? Tetap duduk di sisiku, atau menurutimu dan memilih untuk pergi?"

***

Free Pass SellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang