***
Lorong rumah sakit terasa sangat ramai bagi Somi. Seolah ada ratusan orang yang sedang menyalahkannya, gadis itu duduk di sudut dekat pintu ruang operasi— batas dimana keluarga pasien tidak bisa melangkah lebih dekat lagi. Di tangannya handphone Mrs. Twig tergenggam. Darah yang sudah kering dan menggumpal, masih membekas di tangannya, juga di handphone dan tas jinjing Mrs. Twig.
Somi yang gugup terus bergumam, memohon agar Lisa bisa tetap hidup, tanpa cacat. Harusnya ia tidak meminta Lisa untuk datang ke kampusnya. Harusnya ia tidak meminta Lisa untuk berfoto di dekat pohon itu. Harusnya mereka langsung makan dan pulang saja. Ratusan kali Somi menyalahkan dirinya sendiri sampai handphone Mrs. Twig kembali bergetar. Kwon Jiyong meneleponnya lagi.
"Appa, bagaimana ini? Lisa eonni terluka," ucap Somi, setengah menangis.
"Hm... Aku tahu, karena itu aku menelepon. Dimana kau sekarang? Masih di rumah sakit?" tanya Jiyong, setelah ia melihat semua pesan yang Somi kirim dengan handphone Mrs. Twig. Pesan penuh salah ketik dan kata 'appa' yang diulang berkali-kali.
"Beberapa orang akan ke sana. Tidak perlu takut-"
"Aku melihat orang itu. Dia- dia berdiri di belakang Lisa eonni. Dia menutup mulut Lisa eonni dengan tangannya, lalu- lalu dia menusuk perut Lisa eonni. Buket bunga yang Lisa eonni bawa jatuh begitu dia menarik pisaunya, lalu- lalu Lisa eonni juga jatuh- tapi- tapi aku hanya bisa- aku tidak bisa melakukan apapun meski punya kesempatan-"
"Somi, dengar. Tidak apa-apa, bukan salahmu. Lisa tidak akan mati hanya karena ini. Dia tidak akan menyalahkanmu. Tidak apa-apa," bujuk sang ayah yang sama sekali tidak membuat Somi merasa lebih baik.
"Bagaimana bisa ini tidak apa-apa?! Lisa eonni terluka karana aku memintanya berdiri di sana!" jerit Somi, menangis begitu keras seolah ia baru saja kehilangan ibu kandungnya. Gadis itu bahkan tidak menangis saat ayahnya tiba-tiba pergi ke Rusia tanpa berpamitan padanya. "Kalau Lisa eonni sampai mati, aku akan mati juga! Aku tidak pantas hidup kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Lisa eonni!" Somi terus menjerit, terus menangis tanpa menyadari kalau panggilan itu sudah diputus oleh ayahnya.
Di Rusia, Jiyong memijat kepalanya sendiri. Ia duduk di sofa hotelnya bersama dua orang wanita lokal, namun alih-alih bersenang-senang dan melepas lelah usai bekerja, pria itu harus kembali pada kenyataan. Dua wanita pesanannya mencoba untuk menghibur pria itu, namun alih-alih merasa tenang ia justru bangkit dari duduknya kemudian melangkah keluar.
Ia ketuk kamar lain di depan miliknya, tiga kali ia memukul pintu kamar itu sampai seorang di dalamnya membukakan pintu— Kang Daesung. "Cari tiket pesawat untuk pulang secepatnya, yang paling cepat," suruh Jiyong sedang pria yang hanya memakai bathrobe-nya itu menatap kebingungan.
"Ya? Tapi besok anda harus bertemu suppliernya," ragu Daesung.
"Kau yang pulang. Tenangkan Somi."
"Kenapa? Sesuatu terjadi?"
"Mrs. Twig ditusuk, tepat di depan Somi. Anak itu diluar kendali sekarang. Kalau pun aku yang pulang, aku tidak akan bisa menenangkannya. Jadi pulanglah dengan pesawat paling cepat hari ini. Wanita di dalam sana, akan aku suruh Ghost mencarikanmu wanita lain di sana."
Mau tidak mau saat itu juga Asisten Kang harus meninggalkan hiburannya. Siapa yang bisa menolak perintah bosnya? Kalau pria keji itu ingin ia pergi, maka ia harus pergi. Tiga jam Daesung bersiap, mengemasi barang-barangnya, memberikan semua yang Jiyong perlukan untuk pertemuan selanjutnya, kemudian bersiap berangkat ke bandara.
"Apa aku juga harus mencari pelakunya?" tanya Daesung sebelum pergi. "Kalau aku bertemu dengan pelakunya, apa yang harus ku lakukan padanya?"
"Bunuh. Cepat pergi," usir Tuan Ji, tanpa berfikir sama sekali, sebab sebentar lagi orgasme akan mengambil alih isi kepalanya. "Ah! Dan sekalian urus kasino, kenapa keuntungan mereka berkurang!" seru pria itu, menghentikan langkah Daesung di depan pintunya.
Dengan malas, Asisten Kang mengiyakannya. Ia benar-benar kesal karena dirinya belum mencapai kenikmatan itu sedang bosnya justru bermain-main dengan wanita sewaannya di hadapannya. Meski di pesawat nanti pria itu tidak perlu merasa terlalu kecewa karena ada beberapa pramugari yang bisa ia goda.
Waktu berlalu sangat cepat bagi Kang Daesung. Ia melewati banyak perbedaan zona waktu selama penerbangannya, hingga kakinya menginjak lantai rumah sakit di pukul dua siang. Dengan dua orang anak buahnya, pria yang memakai jas hitam itu melangkah ke ruang rawat dimana Lisa berbaring.
Di saat yang sama, Tuan Ji juga memakai setelannya. Melangkah keluar hotel kemudian masuk ke dalam sebuah mobil yang berhenti di hadapannya. Seorang pria Rusia sudah duduk di sana ketika ia masuk. Mereka bertukar jabatan tangan kemudian duduk dengan nyaman di kursi masing-masing.
"Presiden yang anda dukung sepertinya bermasalah, Tuan Ji," tutur si pria Rusia, memulai pembicaraan. "Dia terlalu banyak bicara," susulnya.
"Hm... Aku berencana menutup mulutnya setelah ini."
"Anda akan pulang?"
"Ya."
"Berapa lama?"
"Sampai bisnis selanjutnya."
"Hanya untuk Pinokio yang sekarang merasa sudah jadi manusia?"
"Tidak. Istriku terluka, aku harus pulang dan melihat keadaannya."
"Istrimu? Wanita cantik yang pintar Bahasa Rusia waktu itu?" tanyanya dan kali ini Jiyong hanya menganggukkan kepalanya. "Ada apa dengannya? Dia sakit? Parah? Aku harap bukan Pinokiomu yang melukainya."
"Tidak perlu khawatir," tenang Tuan Ji, memperhatikan jalanan yang mereka lalui. "Siapapun dia, dia tidak punya pilihan lain selain mati."
"Karena itu aku harap orang itu bukan Pinokiomu. Repot kalau kita harus membuat Pinokio baru hanya untuk setengah periode," keduanya terus berbincang sampai akhirnya mereka tiba di lokasi transaksi. Tuan Ji memeriksa beberapa barang yang akan ia beli— senjata— kemudian menghubungi seorang berkuasa untuk segera menyelesaikan transaksi mereka. Agar ia bisa segera pulang dan melihat keadaan pesuruhnya yang terluka.
Butuh dua hari untuk Jiyong menyelesaikan semua urusannya yang tersiksa. Barulah setelah itu, ia bisa pergi ke bandara diantar si pria Rusia dengan anak-anak buahnya. Sebelum masuk melalui pintu keberangkatan, si pria Rusia memberikan sebuah bingkisan pada Jiyong. Sebuah tas belanja berbahan kertas dengan kotak karton di dalamnya.
"Apa ini?"
"Oleh-oleh untuk istrimu. Anda tidak sempat berbelanja kemarin," susulnya, membuat Jiyong menganggukan kepalanya sebab pria itu bahkan tidak ingat untuk menyiapkan bingkisan sebelum pergi. "Untuk bisnis selanjutnya, akan menyenangkan kalau anda membawa istri anda. Kalian bisa berlibur sekalian," tawar pria itu namun Jiyong hanya terkekeh. Lucu baginya karena pria Rusia itu benar-benar mempercayai kebohongannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Free Pass Seller
FanfictionIt's all for the benefits, why we pretend don't give a fuck? All behaviors only for benefits. Good or bad, who's care? Nobody. Don't mess up my scenario. In this cinema has no hero.