Ketika semua Santri terlelap, namun tidak dengan Aina. Gadis itu mengendap-ngendap mencari jalan keluar, keluar dari penjara bagi Aina. Hampir setengah Jam Aina mencari jalan keluar. Tetap saja terlihat beberapa orang yang jaga malam di sekitarnya, alhasil Aina harus mencari jalan yang lain. Rata-rata area pesantren di kelilingi dengan tembok-tembok pembatas. Lagi – lagi Aina tidak memperdulikan kakinya yang masih terasa sakit, yang terpenting dirinya dapat keluar dari tempat ini.
"Wah baru tahu disini ada jalan keluar." Ucap Aina, baru menyadari ada celah tembok di area ini. Tanpa pikir panjang Aina langsung menerobos celah tembok itu.
Aina terkejut bukannya jalan keluar yang Ia temukan. "Lah, jadi ini tembok pembatas santri Putra dan Putri, pantesan berlobang...inalilahi." Ucap Aina hendak kembali ke tempat semula.
"Kenapa di situ, Mbak?"
Suara itu...
Aina berbalik menghadap sumber suara itu, dan benar saja. Ia kembali menemukan sosok Pria musuh terberatnya, manusia yang Ia paling benci. Manusia tersongong yang pernah Ia temui. "Ini bocah, napa muncul terus si?" lirih Aina.
"Kalau bicara itu yang keras, biar Saya dengar!" Sahut Zaid, di tengah mencari udara segar di malam hari, lagi-lagi malah bertemu dengan Aina.
"Gue mau pulang Ke Jakarta, Gue mau nyusulin Zayn." Ucap Aina tegas. Bukan tegas lagi tapi keras dan nyaring. Lebih tepatnya sama dengan teriakan.
"Sudah malam bisa bicaranya dipelankan?" Zayn kembali berbicara dengan nada suara tegas.
"Lo sendirikan yang nyuruh Gue ngomong yang keras? Bego." Aina tidak kalah kesal dengan Zaid, sebenarnya mau apa Dia? Ituah yang terpikir dalam benak Aina. Selalu saja Ia dipertemukan dengan Zaid.
"Kamu orang pertama yang bilang Saya bego." Zaid menyeringai, membuat Aina takut. Bahkan saat menjelek-jelekkan Zayn, Dia tidak sampai menyeringai semenakutkan Zaid. Aina menelan susah salivannya. Ternyata orang yang dingin, cuek, jika marah menyeramkan juga.
"Makanya nyari haters, kebanyakan fans sih Lo." Memang keras kepala sekali Aina, bukannya mengalah malah lebih keras untuk melawan Zaid. Kalau begini terus, kapan akan selesai masalahnya?
"Suatu saat mungkin Kamu salah satu yang nge-fan sama Saya." Ucap Zaid sinis.
Mata Aina membelalak, selain songong orang ini juga terlampau percaya diri. "Woyy ngaca...Gue Zayn-Aina garis keras."
"Garis keras akan terkalahkan juga dengan Garis semestinya."
"Maksud Lo apaan?" Aina mulai mencerna ucapan Zaid. "dasar biadab! mau rebut calon Abangnya? Lo suka sama Gue, Pantesan dari kemaren Lo deket – deket sama Gue, sampai Lo sabotase Ustadz Rizwan biar Lo ngajar di kelas Gue kan?" entah kenapa pikiran Aina tertuju ke arah pembicaraan itu. Terlalu percaya diri sekali Aina ataukah Zaid yang hendak menunjukan sikap atau rasa yang sebenarnya pada Aina. Namun beda dari raut wajah Zaid tadi. Kini sepertinya Ia mulai tersulut emosinya, Zaid mengatur pernafasannya pelan.
"Kamu orang pertama yang nyebut Saya biadab, bego, apalagi?"
"Baperan... Coba lihat Zayn Dia dikatain B*ngs*t, Bego, sok suci, Dia kalem aja gitu." Zaid makin terlihat emosi, apalagi Ia dibanding-bandingkan dengan Saudaranya.
Sebenarnya budaya membandingkan diri atau dalam istilah psikologi disebut Social comparrison mulai tumbuh sewaktu kecil dalam lingkup keluarga. Biasanya orang tua tidak sadar membandingkan diri kita dengan anak yang lain, sehingga mindset merasa kurang, insecure, tumbuh, bahkan sampai terbawa usia dewasa.
"Jangan banding-bandingkan Saya dengan Bang Iyan." Bentak Zaid tegas, Aina tersentak mendengar bentakan tegas Zaid.
Lagi-lagi Aina merasa bukan perempuan lemah, Ia masih menyauti ucapan Zaid. "Terus apa kabar Zayn? yang selalu dibanding-bandingkan bahkan oleh Neneknya sendiri sama Lo. Kalem aja Dia, nggak pernah ngungkit-ngungkit." Ucapan Aina malah makin menjadi. Ia berucap seolah-olah Dia yang paling tahu soal kehidupan Zayn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Syawal #1 (End)
Teen FictionSequel Presma pesantren, bisa dibaca terpisah. Ketika menjadi berbeda itu pilihan, termasuk anak kembar. Punya perbedaan juga, dan juga tak harus di samakan Bukan? "Gue disini hanya ingin menyalurkan kebahagian Gue, kenapa harus seperti ini yang Gue...