BAGIAN 4

2.1K 401 10
                                    


Hari ini Zayn pulang larut malam dengan muka yang babak-belur karena insiden tadi. Dia merogoh kantong celananya. Beruntung Ia membawa kunci cadangan rumah . Iya Nenek Salma hanya tinggal dengan Zayn, sementara suaminya telah wafat tiga tahun yang lalu. Sedangkan anak-anaknya yang lain tinggal terpisah di luar kota, hanya Om Azhar dan Tante Khayla yang menetap di Jakarta, iya rumah Om Azhar tepat berada di samping rumah Nenek Salma. Kesepian itu pasti, tapi harus bagaimana lagi, kehadiran Zayn mungkin lebih baik, namun sayang perilakunya seperti itu. Membuat masa tua Nenek Salma makin susah saja, mengurusi anak satu itu.

Dengan pelan Zayn membuka knop pintu rumah tersebut terlihat sepi, lampu ruanganpun sudah dimatikan, hanya lampu ruang dapur yang masih menyala remang-remang. Zayn mulai melangkahkan kaki pelan. Berharap Nenek Salma tidak terbangun.

Namun tiba-tiba lampu menyala, membuat Zayn tersentak kaget. Ia menunduk pasrah. Siap harus siap menerima konsekuensinya. Zayn tidak mengeluarkan sepatah katapun, orang yang menyalakan lampu tadi juga belum angkat bicara. Suara Derap Langkah kaki menghampiri Zayn. Ia memejamkan mata merasa was-was dan rasa ngilu disekujur badanya juga belum mereda. Dirinya memegang sudut bibirnya yang masih terasa perih.

"Itu wajahnya, kenapa Bang?"

Suara laki-laki?

Berarti itu bukan Nenek Salma, Zayn menegakkan pandangannya ke depan. Ia terkejut melihat siapa orang dihadapannya. Orang tersebut tersenyum kecil, Zayn menggelengkan kepala. Nampak raut wajah bahagia dari Zayn, selang beberapa detik keduanya diam. Sampai Zayn seketika melangkah mendekap laki-laki dihadapanya itu. Ia menepuk-nepuk pelan bahu orang tersebut. Nampak kerinduan mendalam dari keduanya, walaupun sering beradu mulut, satu tahun lebih tidak bertemu membuat kerinduan yang mendalam, yang pasti ini bukan Kenan. Tidak mungkin Kenan se-akur itu dengan Zayn.

"Ngapain Lo ke sini? Enggak bilang-bilang lagi." Sahut Zayn, saat dekapan tersebut sudah terlepas.

"Wah! Bahasanya udah Lo-Gue-an ya, padahal biasanya mah Aku-Sampean, Kulo-Panjenengan apa Nyong-Koe-nan Ha...ha...ha." Sahut orang tersebut, terkekeh pelan. Di Jakarta Aku-Kamu an sudah baper duluan Pak. Mungkin begitu?

"Gaul Mas Bro." Ucap Zayn, Ia melangkahkan kaki kearah dapur diikuti laki-laki tersebut.

Laki-laki itu, duduk di salah satu kursi berhadapan dengan Zayn yang sedang meneguk segelas air bening, "Situ kata Nek Salma suka berantem, berarti suka masuk rumah sakit, atau malah penjara?"

"Lo nyindir apa tanya?" Jawab Zayn ketus, kepada pria berwajah sebelas-sebelas koma lima dengan dirinya, siapa lagi kalau bukan kembarannya, Zaid Fadlullah Dhiaurrohman. Jauh-jauh dari semarang-Jakarta untuk menemui Abangnya saja?.

"Iya dua-duanya...Obatin dulu itu wajah, udah kegantengannya standar, makin bonyok lagi."Sahut Zaid, dengan tawa ringannya, Dia bilang kegantengan Zayn Standar, apa kabar dengan dirinya?

"Lo bilang wajah Gue standar, berarti kegantengan Lo juga standar dong?" Sahut Zayn tidak mau kalah dengan Zaid. Baru saja temu kangen malah kembali beradu, iya beginilah si Kembar. Perbedaan begitu mencolok dari keduanya bukan tentang fisik melainkan gaya, dan keseharian mereka. Namun perbedaan ini yang mampu membuat rasa rindu mendalam, dari mereka.

"Lah Aku beda dong, kan enggak pernah ditempa sama bogeman."jawab Zaid, percaya diri, dari segi kegantengan jujur lebih ganteng Zayn, namun karena jarang mengurus penampilannya sendiri, jadi Zayn terlihat lebih tua dari Zaid, sedangkan Zaid dengan hidung mancungnya dengan pakaian koko yang hampir selutut, membuat wajah kearab-araban Zaid lebih muncul.

"Wajah Gue, ibarat pedang makin ditempa makin bagus." Sahut Zayn, menampakan senyum smirknya. Kebanyakan ditempa juga tidak bagus juga Zayn.

"Nggeh Gus, sendika dawuh." Jawab Zaid, mendelik malas. Apapun perdebatanya selalu Zaid yang mengalah.

"Umma sama Abi gimana, sehat?" Tanya Zayn, rasa rindu kepada orang tuanya pasti ada. Setahun tidak pernah berjumpa, hanya Syawal tahun kemaren mereka berjumpa walaupun tidak ada hitungan hari. Zaid masih diam, membuat Zayn kawatir, apakah Umma dan Abinya baik-baik saja di sana.

"Alhamdulilah sehat," Zaid menghela nafas sejenak, dan kembali berucap, "tapi Umi Halimah yang kangen Kamu Bang, beliau udah sepuh ingin anak sama cucunya kumpul, Om Rey sama Tante Zahra dan keluarga udah pindahan ke Semarang, bahkan kemaren Mas Zaidan pulang dari Yaman karena Pakde Alif hubungin, tinggal kamu Bang yang masih jauh."

"Keadaan Umi gimana, kenapa enggak pada hubungin Gue?" Tanya Zayn sedikit merasa bersalah dengan keadaan Sang Nenek Halimah dan dia tidak tahu menahu akan itu.

"Iya gitu penyakit tua," jawab Zaid, "Gimana mau kabarin, dihubungin aja susah." Sahut Zaid tersenyum sumbang. Zaynlah orang yang paling dekat dengan Nenek dan Kakek di Semarang. Iya apapun masalah Zayn, Zayn hanya menceritakan dengan Abah sepuh dan Umi.

"Pulang Bang! semua nunggu Abang." Pinta Zaid.

"Enggak sekarang Mas." Jawab Zayn, entah apa alasan Zayn tidak mau kembali ke Semarang. Zaid tidak habis pikir dengan Zayn. Kenapa laki-laki itu begitu keras kepala. Bagaimanapun caranya Zaid harus bisa mengajak Zayn pulang ke Semarang. Agar perjalanannya tidak sia-sia.

"Kenapa?...Abah udah enggak ada sejak lama, semua ini udah takdir, Abang harus ikhlas." Ucap Zayn dengan nada sebiasa mungkin walaupun, dirinya sudah kesal dengan sifat Abangnya yang keras kepala. Iya mengira Zayn pergi dari rumah karena belum bisa menerima kepergian Alm. Abah Abdullah.

Zayn menghela nafas, matanya mulai memerah, "Bukan itu, Gue udah Ikhlas, tapi ada yang harus Gue selesaikan di sini."

"Buat apa Bang? Toh abang disini Cuma bikin kerusuhan, berantem, mempermalukan keluarga."Ucap Zaid namun dirinya tidak bermaksud lain. Hanya berusaha membujuk Abangnya itu pulang. Sudah cukup Ia tidak tegas dengan Kembaranya itu.

"Kalau Lo ke sini Cuma mau menghina Gue, sebaiknya Lo balik ke Semarang!"Sahut Zayn Ia bangkit hendak meninggalkan Zaid.

"Kurangilah egomu Bang, semua nunggu Abang." Ucap Zaid, Zayn memandang penuh arti. Ada rasa rindu untuk menemui mereka tapi ada rasa yang menahan untuk Ia pulang sekarang.

"Justru Gue ke sini, salah satu Amanah dari Abah Mas, sulit buat Gue, tapi itu Amanah langsung dari Abah, satu hari sebelum Abah wafat." Sahut Zayn dengan wajah sendu, entah apa yang dimaksud Zayn, Amanah seperti apa?

"Amanah apa, sampai sikap Abang kaya berandalan seperti ini, itu yang Abang sebut Amanah dari Abah?" Zaid berucap dengan nada sedikit keras, padahal jam sudah menunjukan dini hari. Zayn menyugar rambut hitamnya, Ia menghela nafas berat, seperti ada sesuatu yang di sembunyikan Zayn. Zayn berusaha mengontrol emosinya, Ia tidak mau Jam segini harus ribut dengan Zaid.

"Maaf Mas, nanti Abang bakal pulang tapi bukan sekarang, titip salam aja buat Umi, dan semua, Gue doakan mereka dari sini." Jawab Zayn, lalu meninggalkan Zaid sendiri hanya kalimat terakhir itu yang terucap dari Zayn. Zaid meraup wajahnya frustasi, harus pakai cara apalagi agar Zayn pulang. Susah sekali membujuk orang sekeras Zayn. Zaid kembali duduk, Ia menyandarkan punggungnya di sandaran Kursi, Lelah perjalanan jauh Semarang-Jakarta malah saat ini orang yang ditemui seperti itu.

Hanya dentingan jarum jam yang terdengar, Zaid hendak bangkit namun,

Pyarrrr

Suara benda keras, mengenai jendela rumah, Zaid langsung berlari keluar, dan benar saja kaca jendela, sudah pecah menyebar kemana-mana. Zaid keluar rumah, pandangannya menengok kearah jalanan namun saat itu keadaan sepi. Ia tidak tahu ini sengaja atau malah sebaliknya. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan hanya batu besar yang tergeletak, dan tidak ada semacam kertas terror atau yang lain.

Tidak lama terdengar suara tawa keras, entah itu manusia atau bukan, bulu kuduk Zaid makin merinding. Ia langsung masuk menutup pintu. Saat berbalik, betapa terkejutnya Zaid.

"Astaghfirullah"

Tbc

Jadikan AL-Qur'an bacaan yang utama

Akhirnya ketemu Mas Zaid, kok sekarang malah Mas Zaid yang rada koplak ya wkwk

Tetap Jaga kesehatan guys, Syukron 

Janji Syawal #1 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang