Akad, satu kata yang menjadi impian para pasangan. Akad perjanjian janji suci antara laki-laki dan perempuan, siapa sih yang tidak mengidam-idamkan itu. Apalagi seoarang muslimah. Pastilah berharap punya suami soleh, mampu membimbingnya. Ahmad mungkin salah satu dari itu, persisnya yang ada di benak Syawal saat ini. Pria baik, seorang santri yang yang menjadi kesayangan kyai. Pria yang cukuplah di bilang tampan. Pekerjaan binisman, cukuplah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pria yang Syawal kenal pertama kali, saat lomba khitobah di pesantren. Dia yang baru saja kelas Satu MTS dan Ahmad kelas 3 MA. Mungkin di bilang terkagum pada pandangan pertama, gimana keluwesan, ketegasan Ahmad berkhitobah membuat Syawal punya pandangan lebih tentang Ahmad. Pria yang hampir enam tahun ia kagumi, akhirnya melamar dirinya setelah lulus MA, dua tahun lalu saat usianya 18 tahun. Mereka punya perasaan yang sama. Perjuangan cinta dalam diam yang berbuah manis bukan?
"Aciee yang empat hari lagi udah jadi Istri orang." Ucap Dini, melihat sedari tadi Syawal hanya senyum-senyum.
"Apasih?"
"Tapi perasaan gue enggak enak iya, Wal. Kayak gue enggak ridho kamu nikah sama Kang Ahmad. Aku tahu si dia baik."
"Perasaan kamu aja kali, karena aku mau menikah. Serasa kita sudah deket banget delapan tahun ini, mungkin enggak mau kehilangan."
"Bisa jadi...huhuhu jadi sedih."
Dini memeluk erat Syawal dipertemukan dari awal mondok sampai sekarang. Jiwa persahabatan mereka semakin erat. Dini memandang Syawal saat ini wajahnya berubah sendu. Dasar labil! Maklumilah perempuan 20 tahun ini. Dini memandang Syawal penuh tanya.
"Kenapa lagi?"
"Aku kepikiran sama Gus Zayn. Aku chat enggak dibales semalam."
"Sadar kamu siapa? Mau dibales lama kamu bukan siapa-siapa. Kalau mau fast respon kamu harus jadi first love dulu. Hahaha...canda!"
Dini terkekeh melihat wajah masam Syawal. Dini memilih keluar dari kamar. Syawal hanya duduk menatap ponselnya. Kemudian pandangannya beralih memonitori sekeliling kamar yang akan ia tinggalkan beberapa hari nanti. Menikah di Pesantren adalah salah sau impian Syawal, berharap salah satu Gusnya mengisi khutbah akad nikah. Membayangkan itu saja ia sudah tersenyum.
"Woyy ada Mbak Nisa, ke sini."
Hufttt...
Syawal menghela napas panjang. Mengagetkan saja ini Dini. "Dimana?"
"Lagi ngobrol sama Mbak yang ada di dapur." Syawal menganggu kemudian beranjak untuk menemui Nisa. Syawal bersama Dini menuju dapur belakang. Benar saja wanita hamil besar itu sedang bercengkrama bersama beberapa santri ndalem. Senyum Syawal merekah melihat sahabat lamanya itu.
"Mbak Nisa."
Syawal menghambur kepelukan Nisa. Nisa sama-sama tersenyum sambil mengelus bahu Syawal, walaupun pelukan itu terhalang bayi di rahim Nisa. Syawal melepas dekapan itu kemudian beralih mengelus perut buncit Nisa.
"Assalamualaikum, Ponakan Aunty." Ucap Syawal tersenyum girang, begitupun Nisa. Ia seperti tidak ada beban sama sekali. Entah apa yang sekarang berssembunyi di pikirannya. Syawal beralih menatap Nisa
"Suami Mbak enggak nganterin?"
Nisa tersenyum kecut, "Ada kok di depan." Ucapnya. Ada raut berbeda yang menyorot wajahnya.
"Aku enggak pernah lihat suaminya Mbak Nis, loh. Nikah aja kami enggak di undang. Iya enggak Din, Rin?" Syawal menoleh Dini dan Rini yang berad disampingnya. Dini dan Rina mengangguk, memang sepertinya mereka tidak diundang pernikahan Nisa dan Suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Syawal #1 (End)
Teen FictionSequel Presma pesantren, bisa dibaca terpisah. Ketika menjadi berbeda itu pilihan, termasuk anak kembar. Punya perbedaan juga, dan juga tak harus di samakan Bukan? "Gue disini hanya ingin menyalurkan kebahagian Gue, kenapa harus seperti ini yang Gue...