BAGIAN 45

1.9K 447 116
                                    

Kali ini Guntur yang memegang kemudi, kalau Zayn bisa jadi mereka akan dibawa terbang. Iya kalau terbang tubuh mereka, coba kalau ruh mereka. Canda! Saat ini mereka berpacu dengan waktu, akad Ahmad dan Syawal jam 8 pagi. Perkiraan tempuh Jakarta-Semarang enam jam, tujuan pertama mereka adalah menemui Nisa. Tapi bagaimana ke rumah Nisa, alamatnya saja tidak tahu. Mereka memasuki tol Cikopo-Palimanan, fokus Zayn terpecah. Bingung harus apa dulu sekarang. Menghubungi Isyafia mungkin langkah pertama.

"Halo Mbak Isya, tahu rumah Mbak Anisa Fahima?"

"Mlatiharjo I mana si? Semaranng Utara dekat jalan Raden Patah bukan?" Zayn terlihat fokus mendengarkan.

"Hah apa? Dekat Plang Bidan Erna?" Ia menganggukkan kepalanya.

"Ok Makasih, Assalamualaikum."

Zayn mencatat alamat Nisa sesuai yang diberitahukan di note ponselnya. Ia mencoba tenang. Enggak mungkin juga Nisa tinggal di rumah orang tuannya. Sekarang dia Istrinya Ahmad. Kemungkinan kedua Nisa tinggal dikediaman suaminya. Memangnya rumah Ahmad dimana? Zayn makin pusing dengan pikirannya sendiri. Telepon bagian admin pesantren? kelamaan pasti enggak diangkat. Telepon lurah pondok, temannya Ahmad? Bisa jadi, bismillah.

"Assalamualaikum Kang Rasyid."

"Tahu rumahnya Kang Ahmad Husaini?" Wajah Zayn berubah kesal.

"Saya tanya rumah Ahmad bukan Anda laporan Ahmad baru ketemuan sama calon Istrinya."

"Sabar Zayn! sabar!" Ucap Guntur di sampingnya. Lucu sekali mendengar nada menggerutu Zayn yang tidak jelas.

"Di Mlatiharjo juga? Mananya Bidan Erna Kang?"

"Patokannya Plang Bidan Erna terus jarak lima rumah begitu ya?"

"Matursuwun nggih Kang, maaf menganggu waktunya. Assalamualaikum."

Zayn mengakhiri sambungan telepon itu. Ia menggaruk pipinya yang gatal. Benar bukan bohongan. Ternyata rumah Ahmad dan Nisa tetanggaan. Sebenarnya apa sih yang Ahmad dan Nisa sembunyikan. Kenapa Syawal jadi korban kebohongan mereka, rencana apa yang sedang mereka susun? Zayn meraup frustasi wajahnya. Perutnya lagi-lagi tidak bisa pandang situasi, rasa nyeri hebat di pinggang  kanannya. Lo kuat Zayn! jujur Zayn tidak bisa tenang kali ini, berusaha menghungi Syawal namun tidak diangkat.

"Tenang Zayn! keep calm!" Sahut Fahmi di belakang. Detak jantung Zayn berdetak lebih cepat, tangannya kembali dingin. Tidak tahu saja si Fahmi.

Malam semakin larut, Fahmi sudah tertidur, sedangkan Zayn masih terjaga menemani Guntur menyetir. Jam menunjukan pukul satu lebih empat lima. Mereka masih berada di area tol.

"Ambil jalan keluar Gayamsari, Tur." Guntur hanya mengangguk mengikuti titah Zayn. Ia hanya mengomandai. Jujur Zayn sudah sangtlah lelah. Wajahnya pucat, bibir kering, sangat terlihat mengenaskan sekali kali ini. Hampir tiga puluh menit mereka keluar tol. Sepertinya sudah memasuki jalan raya. Lumayan sepi.

"Ini sudah di Raden Patah, Zayn?"

Zayn melihat sekeliling, "Sudah kayak ini."

"Nanti di depan belok kiri, Tur." Ucap Zayn matanya sudah berat menahan kantuk. Tapi perjuangan mancari bukti belum selesai Zayn.

"Ini kemana lagi?" tanya Guntur, ada persimpangan di depan.

"Ambil kanan, Tur."

"Masuk gang sini?" tanya Guntur lagi. Maklum bukan warga asli sini. Zayn hanya mengangguk. Mobil Guntur memasuki area gang komplek.

"Cari Plang nama Bidan Erna." Titah Zayn, Guntur memelankan laju mobilnya, mulai mencari papan nama Bidan Erna. Malam semakin larut, terlihat sepi sekali. Mungkin karena hampir jam tiga dini hari waktunya orang beristirahat. Zayn menoleh ke belakang, memang sepi sekali. Enggak ada warga yang bisa dimintai tanya.

Janji Syawal #1 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang