Epilog

3.6K 555 227
                                    

JANJI SYAWAL

Ketika kamu pergi disitulah aku baru menyadari.

(Aslih Syawali)


Zaid termenung di hari bahagianya tidak ada si Saudara kembarnya, di hari yang sama ia harus kehilangan Ummi Halimah, yang menghembuskan nafas terakhir setelah beberapa jam akad nikahnya. An-Nawawi berkabung kali ini, bendera kuning tertempel di depan ndalem sepuh. Pelita pesantren, bintang itu redup. Jasad yang terbaring lemah di sana, tidak ada mata yang tak sembab hari ini. Keranda mulai diangkat menuju pemakaman keluarga, semua santri menahan isak. Beribu santriwan dan Alumni mengantarkan jenazah itu. Biarlah Ummi Halimah beristirahat dengan tenang disana.

Setelah proses pemakaman, semua kembali ke pesantren, termasuk Zaid yang kini memasuki kamar di ndalem sepuh milik Zayn. Figura cantik dirinya dan kembarannya tersenyum di samping Ummi Halimah. Merindukan Abangnya, yang selalu tersenyum , ia tersenyum tipis mengingat itu. Tidak lama pintu terkuak menampakkan Aina yang membawa nampan berisi makanan.

"Umma minta aku bawa ini buat kamu." Zaid menggeleng rasanya tidak selera dengan makanan itu. Aina meletakan nampan diatas nakas, kemudian duduk di samping orang yang kini berstatus suaminya. Ia langsung mendekap Zaid dari samping, gerakkan tiba-tiba dari Aina membuat jantung Zaid berdetak lebih cepat. Zaid membalikkan badan, mencari posisi ternyaman di dekapan Aina.

"Bimbing aku...sesuai amanah Bang Zayn." Mata Aina juga memanas ia sembunyikan wajahnya di dada bidang sang suami.

"Saya butuh kamu, Na." Zaid menyembunyikan wajahnya di bahu sang Istri. Setidaknya dekapan sang Istri mampu memberi ketenangan. Walaupun ia tahu Aina belum mencintainya, setidaknya Aina menghormatinya sebagai suami. Aina tidak boleh egois kali ini, kini Zaidlah suaminya dan Zayn sekarang adalah Iparnya.

***

Apa kabar dengan Syawal? Wanita itu masih tetap sama, sama-sama sedih kehilangan Ummi Halimah. Syawal masih termenung, disaat yang lain mempersiapkan acara tahlilan untuk nanti malam. Pernikahan yang ia impikan berantakan berkeping-keping. Luka itu masih belum mengering, kecewa? Pastilah iya. Laki-laki yang ia pikir baik adalah laki-laki yang berdusta menimbulkan luka merekah untuk dirinya, dan satu lagi, ia baru menyadari kalimat-kalimat yang dulu ambigu yang terucap dari Zayn. Kini ia baru menyadari tatkala satu minggu tak pernah bertemu dengan laki-laki itu, bahkan disaat pemakaman Ummi Halimah, Zayn tidak datang.

"Syawal!" Ia menoleh tatkala seseorang memanggilnya. Ternyata Umma Zalfa. "Ini ada sesuatu dari Zayn."

Zalfa mengulurkan sesuatu untuk Syawal. Syawal menerima satu kotak cincin dan sebuah amplop. Ia perlahan membuka kotak tersebut, benar saja didalamnya terdapat cincin emas putih, cantik menurutnya. "Ini untuk Syawal?"

Zalfa mengangguk seraya tersenyum, "Dijaga baik-baik, iya Sya. Kata Zayn." Umma Zalfa menahan sesuatu, serak dan air mata menggenang di pelupuk matanya. "Buat kenang-kenangan, bukan ada maksud lain."

"Gus Zayn wonten pundi (ada dimana), Ning?"

Zalfa menggeleng, "Zayn baik di suatu tempat, besok hari terakhir Zayn di Indonesia. Zayn Cuma pamit sama kamu lewat isi diamplop itu." Mata perempuan paruh baya itu kembali berembun. Keluarga ndalem seolah-olah menyembunyikan keberadaan Zayn, pasti mereka hanya bilang, Zayn baik-baik saja disuatu tempat. Entah itu dimana. Syawal mengusap air mata di sudut matanya.

"Boleh titip sesuatu kangge (untuk) Gus Zayn, Ning?" Zalfa mengangguk, Syawal kemudian pamit sebentar menuju kamar. Di dalam kamar Syawal tidak tahu harus mengambil apa. Ia meremas kedua tangannya bingung apa yang harus ia berikan untuk Gus Zayn. Akhirnya pandang Syawal tertuju di gelang yang ia pakai. Gelang kayu Kokka yang dipahat berbentuk S. Ia ambil kotak kecil di dalam almari, dan menaruh gelang itu di dalam kotak itu. Setelah itu kembali menemui Zalfa.

Janji Syawal #1 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang