01. New home

209 23 16
                                    

Sudah sejam perjalanan yang Haikal lalui dari Bandara Internasional Ngurah Rai menuju rumah baru yang akan ia huni selama di kota baru yang akan menjadi destinasi serta tempat kerja sang ayah yang baru saja berpindah dari Jakarta sore ini. Selama perjalanan, Haikal hanya mendengarkan alunan musik yang mengalir di earphone-nya, sambil sesekali memperhatikan suasana jalanan yang baru ia lihat, dengan catatan kalau dia gak ketiduran.

Tidak banyak yang berbeda, hanya saja Haikal kini melihat bangunan yang tingginya jauh lebih rendah dibanding gedung-gedung di Jakarta yang biasa ia lihat. Serta pepohonan yang menghiasi setiap pinggir jalan dan plat kendaraan yang memiliki awalan DK memenuhi jalanan yang Haikal perhatikan. Cukup lucu menurutnya.

Haikal berkali-kali menghela nafas setiap melihat suasana perjalanan saat dirinya ikut pindah kesana kemari bersama sang ayah dan juga kerjaannya. Terkadang Haikal berpikir, mengapa takdir begitu kejam karena merenggut nyawa ibunya sehari setelah ia lahir ke dunia ini. Haikal juga ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang ibu.

Sosok yang katanya selalu ada di hari suka dan duka, sosok yang selalu mengerti dirimu, serta sosok lembut yang bisa menjadi teman cerita.

Tapi Haikal bersyukur, setidaknya ia masih memiliki seorang ayah di dunia ini. Walau ayahnya itu bukanlah seorang ibu dan selalu berusaha menjadi orangtua yang baik nan sempurna, Haikal masih merasa ini kurang. Tapi setidaknya, Haikal memiliki alasan untuk hidup. Ayahnya.

Satria Wijaya, seorang ayah terbaik yang Haikal punya. Ayah yang selalu berusaha menunjukkan sisi terbaiknya sebagai orangtua, tanpa harus menjadi ibu. Ayah yang selalu mendukungnya dan peduli kepadanya. Ayah yang selalu bisa menjadi teman ceritanya di saat suka dan duka.

Sebenarnya tak ada yang kurang dengan sang ayah. Dari segi fisik naupun sikap, Haikal bisa acungi empat jempol untuk itu. Hanya saja, Haikal merindukan sosok ibu. Rindu mungkin bukan kata yang tepat untuk mengungkapkannya, karena Haikal tak pernah merasakan hangatnya bersama ibu.

Haikal ingin merasakan rasanya memiliki seorang ibu, setidaknya sekali seumur hidup. Walau hanya lima detik, setidaknya Haikal bisa merasakan bagaimana rasanya dipeluk sang ibu.

Sebaik apapun sang ayah, di dalam hati terdalamnya, Haikal masih memerlukan sosok ibu di dalam hidupnya.

"Aga, ayo turun. Ngapain ngelamun?"

Sekedar informasi, Aga adalah nama panggilan kecil Haikal. Biasanya sih cuma ayahnya yang manggil begini, soalnya yang kenal Haikal sejak kecil cuma ayahnya.

Haikal memperhatikan sekitarnya, ternyata sudah banyak perumahan yang menghiasi pemandangannya. Terutama rumah yang berada persis di sebelah mobilnya berhenti saat ini. Seperti rumah komplek pada umumnya, sih.

Setelah menurunkan koper dan menerima bayaran, sang sopir beserta mobilnya pun langsung pergi dari sana, meninggalkan kedua pria yang tengah sibuk menarik koper besar yang sudah biasa mereka bawa.

Haikal memperhatikan rumah yang ada di hadapannya, cukup bagus. Tidak besar, tapi terlihat nyaman. Apalagi rumah itu memiliki warna krem.

Tapi yang membuat Haikal bingung, kok udah ada mobilnya?

Ah, mungkin mobil dinas yang ayahnya dapat dari kantor. Gak kaget, soalnya memang suka kayak gitu.

"Aga, kamu ngapain?"

Haikal menoleh, di sana, sang ayah malah menatap Haikal dengan bingung. Begitu juga Haikal yang kebingungan karena melihat reaksi sang ayah.

"Ngapain?" Haikal bertanya balik.

Satria menunjuk salah satu rumah yang berada di sebelahnya. "Rumah kita yang itu. Kamu ngapain mampir ke rumah tetangga?"

Spontan, Haikal berbalik dan menatap pagar serta rumah yang tadi sudah ia anggap rumahnya dengan percaya diri. Mana udah nungguin pula. Buru-buru Haikal pergi dari sana. Haikal berdoa, semoga gak ada orang yang ngeliat tingkah bodohnya nunggu masuk ke rumah yang salah.

"Lagian Papa ngapain, sih, turun di sana? Kan Aga jadi pikir rumah kita yang itu!" Haikal mengomel. Bahkan sampai Satria sudah membuka kunci rumah, Haikal masih berdebat sendiri. Berdebat dengan rasa malu yang menyelimutinya.

"Nggak ada yang liat, Ga." Walau yang diucapkan memang benar, tapi Satria tetap terkekeh karena melihat tingkah anaknya yang salah tingkah karena malu hampir salah masuk rumah.

Haikal memperhatikan setiap inci isi rumahnya, "Wow, udah bersih dan tertata rapi? Gak ada kain-kain putih kayak di film-film pas mereka pindahan?"

Satria lagi-lagi terkekeh. "Kamu kebanyakan nonton film. Rumah kita kosongan. Nanti kita beli barang-barang yang kurang."

Haikal hanya mengangguk sambil menjatuhkan badannya di sofa. "Berarti perabotan kita yang kemarin dikirim terpisah lagi, ya? Kayak biasa?"

Satria hanya mengangguk, sambil membuka kopernya, untuk meletakkan barang yang berada di luar kamar.

"Perasaan tiap pindah rumah beli perabotan mulu, tapi selalu ada aja yang kurang," ujar Haikal kebingungan. Sebenarnya Haikal bingung, ini barang-barangnya jatuh di jalan atau gimana?

"Eh btw siapa yang beresin, Pa?"

"Katanya tetangga sebelah. Baru dibersihin kemarin atau dua hari lalu."

"Sama pemilik rumah yang tadi kamu hampir salah masuk itu," sambungnya.

"Gak usah diingetin, Pa. Malu."

"Dia gabut banget apa ya, sampe beresin rumah kosong tetangga," lanjut Haikal penasaran.

"Udah dibantuin juga. Gak usah ngomel lagi. Mending sekarang rapihin barang-barang kamu."

Haikal hanya menganggukkan kepalanya main-main, sambil mengerucutkan mulutnya. Tak lupa ia mengambil lagi kopernya, untuk diseret dan dibawa naik.

"Kamar Haikal yang mana, Pa?"

Satria menoleh, "Loh? Bukannya kamu tidur di luar?"

Haikal langsung melontarkan tatapan datar pada sang ayah, sedangkan di sana, Satria sudah tertawa. Lawakannya garing sebenarnya, tapi lucu juga kalau untuk diketawain.

"Kriukkk banget, Pa, lawakannya," sarkas Haikal.

"Kamu mau tidur di kamar kiri yang ada AC dan punya balkon, atau nggak?"

Haikal menaikkan alisnya bingung, "Emang kamar yang lain punya fasilitas apaan?"

"Sama aja. Yang lagi satu cuma tinggal belok kanan kalau habis naik tangga," sahut Satria sedikit terkekeh. Haikal bersumpah demi apapun, humor ayahnya itu memang gak ada duanya.

×××

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang