26. Sakit

37 6 0
                                    

Rasa dingin yang menyelubungi tubuhnya membuat Sarah terbangun di tengah malam. Ia berusaha membuka matanya, tapi hanya pusing dan sakit yang ia rasakan menjalar dari mata hingga kepala. Ia meraih remote AC yang berada di nakas sebelah ranjang, lalu mematikan pendingin ruangan yang hanya bersuhu 26° C itu. Padahal Sarah biasanya mengatur dengan suhu 22° C, tapi karena merasa kondisinya tidak begitu enak tadi, Sarah sengaja mengatur suhunya lebih tinggi. Mungkin hari ini memang sedang dingin, pikir Sarah.

Sarah mendudukkan dirinya, memejamkan matanya seolah meresapi rasa sakit di kepala yang ia rasakan saat ini. Sarah melirik jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul dua pagi. Lagi-lagi Sarah terbangun dini hari seperti ini. Sudah beberapa hari ini, lebih tepatnya saat setelah pertemuannya bersama Jisey dengan Jeffan kemarin, Sarah selalu terbangun di dini hari. Baik karena mimpi buruk, atau merasa tidak enak badan seperti sekarang.

Tapi Sarah merasa hari ini kondisinya sangat buruk. Sejak pulang dari jadwal pemotretan tadi siang, Sarah memang merasa kurang enak badan. Untuk makan malam saja harus memesan dari luar.

Tak ingin mengganggu aktivitasnya besok, Sarah memilih untuk turun ke dapur dan meminum obat flu yang biasa ia sediakan di kotak P3K. Sarah menuruni satu persatu anak tangga semampunya seraya memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing bercampur sakit kepala. Dunianya terasa berputar, tapi harus turun dengan meraba anak tangga dengan kakinya seraya memegang erat pegangan tangga.

Sarah belum pernah merasa sepusing ini dalam hidupnya. Kali ini rasanya dunia benar-benar berputar dengan kacau. Sarah berusaha menuangkan air ke dalam gelas, tapi tangannya seketika lemas dan membuat teko air berwarna hijau yang ia pegang terjatuh.

Jisey yang memang belum tertidur dengan pulas langsung kembali membuka matanya karena terkejut mendengar suara berisik dari bawah. Ingatan Jisey tiba-tiba kembali pada memori saat ada pencuri yang memasuki rumahnya, panik dan takut, itulah yang Jisey rasakan sekarang.

Namun karena penasaran, Jisey keluar dari kamarnya. Berusaha melawan rasa takutnya yang kini sudah melanda setengah mati, perlahan-lahan berjalan ke arah tangga. Namun bukan sesuai ekspektasinya, ia justru langsung mendapati ibunya yang sedang berdiri memegangi kepala sambil bertumpu pada meja dapur.

"Mah? Mama ngapain?" Karena tak mendapatkan jawaban, Jisey langsung menuruni anak tangga dengan cepat, menghampiri sang ibu yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.

Jisey menyentuh Sarah, namun ia sangat terkejut karena merasakan tubuh Sarah yang panas. "Mama sakit?"

Sarah memejamkan matanya untuk menahan rasa pusing dan dunianya yang berputar, ia menggenggam erat tangan Jisey guna menyalurkan rasa sakit yang tengah ia rasakan saat ini. Sarah tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Jisey, yang bisa ia lakukan kini hanya menahan rasa sakit seraya berpegangan erat pada putrinya. Ia tidak bisa memikirkan apapun, hanya sakit di kepala yang membuat dirinya seperti berputar.

Jisey yang bingung harus apa hanya mengajak Sarah untuk kembali ke kamar, tapi sangat sulit untuk menahan tubuh ibunya agar tetap seimbang. Baru menaiki beberapa anak tangga, Sarah sudah hilang kesadaran, membuat dirinya sedikit terjatuh ke beberapa anak tangga di belakangnya karena Jisey berusaha menahan tubuh sang ibu sebaik mungkin.

Jisey panik sendiri, mau lanjut membawa naik pun ia tak kuat. Ia hanya bisa membantu ibunya untuk bersadar di anak tangga terbawah.

Jisey tak tahu harus berbuat apa. Ia belum pernah menangani orang pingsan sebelumnya. Ia mengambil segelas air dan kompres untuk sang ibu.  Perasaan takut sekaligus khawatir membesit, seluruh pikiran terburuk muncul di dalam pikirannya. Tapi Jisey tidak bisa menangis di saat seperti ini.

Tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya, buru-buru Jisey menaiki anak tangga untuk mengambil ponselnya di kamar. Ia mencari kontak di layar pipih tersebut, berharap orang yang ia hubungi akan menjawab dan menolongnya.

Di lain tempat, Haikal yang sedang berada di alam mimpi merasa terganggu karena deringan ponsel yang datang di dini hari begini. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya, Haikal meraba kasur mencari ponselnya.

Haikal mengerjapkan matanya beberapa kali untuk membaca siapa yang menghubunginya. Ia lantas mengerutkan dahinya, namun langsung menaruh ponselnya di atas telinga sambil tidur menyamping. 

"Hm?" sahut Haikal dengan suara khas orang yang baru bangun. Matanya bahkan masih terpejam.

"Haikal! Lo lagi ngapain?" 

"Ya tidur, lah. Masa ngepet," sahut Haikal sembarangan, masih dengan suara serak bangun tidurnya. Sebenarnya ia malas untuk berbicara panjang lebar, tapi mendengar pertanyaan Jisey yang tidak masuk akal membuat Haikal ingin mengomel.

"Lo sama Om Satria bisa tolong ke rumah, gak? Mama gue pingsan, Kal."

Haikal yang tadinya masih belum sadar tiba-tiba langsung tersadar, nyawanya langsung terkumpul dan matanya melebar. Ia terduduk dan membenarkan posisi ponselnya. "Seriusan?"

"Iya, Haikal! Tolongin gue, cepetan," sahut Jisey di sebrang sana diselingi dengan isakan kecil.

"Oke, oke. Tunggu. Gue sama Papa ke sana sekarang." Walau Haikal tak melihatnya, di sebrang sana Jisey menganggukkan kepalanya, berharap Haikal dan ayahnya akan datang secepat mungkin.

"Jangan nangis. Tenang aja, Ce," pesan Haikal sebelum memutus sambungannya.

Buru-buru Haikal beranjak dari kasur dan pergi ke kamar ayahnya yang berada di sebrang kamarnya. Haikal mengetuk pintu kamar ayahnya dengan ritme cepat beberapa kali, lalu langsung membukanya saat tidak mendapat jawaban. Di dalam sana, sang ayah hanya masih mengerjapkan mata.

"Kenapa, Nak?" tanya Satria ikut panik sendiri kala mendapati Haikal yang panik menghampirinya tengah malam seperti ini.

"Kata Jisey, Tante Sarah pingsan. Dia mau kita ke sana nolongin."

Sama seperti Haikal tadi, Satria langsung terbangun dengan nyawa yang dipaksa terkumpul. "Ya udah kalau gitu biar Papa ke sana. Kamu di rumah aja, ya?"

Haikal menggeleng dengan keras. "Aga ikut."

Dengan buru-buru, setelah menutup semua pintu rumah, kedua pria itu langsung pergi ke rumah yang berada di sebelahnya dengan pakaian seadanya, baju kaos dan celana pendek rumahan.

Mendengar suara ketukan pintu, Jisey langsung membuka pintu dan mendapati Haikal dan Satria dengan keadaan persis orang baru bangun tanpa memperhatikan apapun. Jisey tak peduli penampilannya, yang ia pedulikan sekarang hanyalah ibunya.

Satria menghampiri Sarah, dan langsung terkejut saat merasakan suhu tubuh Sarah yang cukup tinggi. Satria berusaha menyadarkan Sarah dengan menepuk pipi wanita itu, tapi Sarah tak kunjung bangun.

Satria langsung menggendong Sarah dengan kedua tangannya, lalu membawa Sarah ke sofa ruang tamu rumahnya. Jisey rasanya ingin menangis, ini baru pertama kalinya ia  mendapati sang ibu yang jatuh pingsan. Bahkan Jisey tak ingat kalau ibunya pernah sakit.

"Aga, coba tolong telpon Pak Diasa."

Haikal mengernyit bingung, "Hah? Pak Diasa, kan, dokter di Jakarta, Pa."

"Oh, iya," gumam Satria. Lupa kalau mereka sudah pindah ke Denpasar.

Satria beralih menoleh pada Jisey dan bertanya, "Kamu ada kontak dokter 24 jam, gak?"

Jisey menggeleng dengan ragu. Ia tak bisa berpikir untuk saat ini, dokter mana dan siapa yang bisa ia hubungi.

"Ya udah kita ke dokter 24 jam sekitar sini aja sekarang." Satria berdiri, menoleh pada Haikal untuk berpamitan.

"Papa mau siapin mobil. Kamu tunggu di sini, ya, Ga?" Haikal mengangguk.

Baru saja Satria hendak pergi, namun tiba-tiba ia kembali berhenti dan menoleh pada Jisey. "Jisey, tolong nanti mama kamu pakein jaket, ya."

Jisey mengangguk, ia lupa kalau ibunya hanya menggunakan tank top dan celana pendek rumahan. Biarlah, yang penting ibunya masih menggunakan baju dan Jisey yakin kalau Satria bukan tipe pria yang mesum hanya dengan melihat ibunya seperti itu. Yang terpenting sekarang adalah ibunya. Satu-satunya orang berharga di hidupnya.

×××

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang