"Woi tetangga!"
Mendengar dirinya jelas-jelas dipanggil dari jarak yang cukup jauh, Jisey langsung memejamkan matanya, menahan emosinya. Ia sangat tahu siapa pemilik suara itu. Lagipula, siapalagi yang memanggilnya 'tetangga' selain seorang Haikal?
Haikal sedikit berlari menyusul Jisey yang diam di tempat, menunggu Haikal. Walau beberapa murid memperhatikan mereka, tapi Jisey tak keberatan. Toh mereka cuma ngobrol.
"Tante Sarah nanti ada di rumah, nggak?"
Jisey berpikir sejenak, lalu mengedikkan bahunya. Karena jujur saja, Jisey tak tahu. Bisa aja nanti ibunya bakal pergi karena ada urusan di kantornya. "Kenapa memang?"
"Gue berniat ngembaliin piring bolu waktu itu." Lagi-lagi Jisey berpikir. Ia sampai lupa kalau Haikal pernah diberi bolu sepiring, yang sayangnya itu adalah bolu kesukaan Jisey.
"Kembaliin piring ke gue juga bisa kali. Gak usah ke Mama gue juga."
Haikal menampilkan deretan giginya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Ya kali aja lo gak tau tempatnya, Ce."
"Haikal tetangga gue yang baru pindah kemarin sore, tolong lo ingat baik-baik kalau gue udah tinggal berdua doang di rumah sama Mama gue selama belasan tahun. Jadi gak mungkin kalau gue gak tau dimana rak piring rumah gue, Haikal!"
×××
Mengingat pesan Haikal di sekolah tadi, kalau ia akan mengembalikan piring bolu setelah pulang sekolah, Jisey jadi stay tune di depan pintu sambil menonton televisi. Lebih baik jika Jisey harus menunggu Haikal berjam-jam dari pada harus mendengar serbuan bel dari Haikal.
Karena acara televisi yang tak begitu menyenangkan, Jisey juga sambil memainkan ponselnya, mencari hiburan yang lebih menyenangkan. Membiarkan televisi hidup sebagai peramai suasana.
"Ice kalo TV-nya gak ditonton, dimatiin, dong. Hemat listrik," ujar Sarah sambil menuruni anak tangga rumahnya. Dari suara televisi yang sedang menayangkan acara gossip saja sudah jelas Sarah yakin kalau Jisey sedang gak nonton televisi.
"Iya, Ma." Sarah beranjak dari tempat duduknya, lalu mematikan televisi. Jika sudah diciduk seperti ini, maka Jisey harus menurut apa kata ibu negara.
Setidaknya Jisey merasa tidak sepi karena ibunya di dapur yang ia yakini akan memasak untuk makan malam nanti, beberapa jam lagi.
Menyadari kalau sang ibu akan memasak makan malam, Jisey spontan melihat jam yang ada di layar ponselnya. Di sana menunjukkan pukul enam sore, tapi Haikal belum juga menunjukkan batang hidungnya. Bahkan sepertinya Jisey tak mendengar ada suara motor milik Haikal yang masuk ke rumah sebelahnya.
Jisey hanya menggelengkan kepalanya seraya menghela nafas kasar. Palingan Haikal sedang ngadem di perpustakaan, bareng Wahyu, Yoyo, dan Abim. Walau itu tidak mungkin karena jadwal Wahyu dan Yoyo latihan olimpiade hari ini, serta pelaksanaan orientasi OSIS, dimana yang sedang Abim ikuti juga hari ini. Tapi hanya itu yang bisa Jisey pikirkan. Atau, Haikal numpang AC sendirian.
Baru saja pikiran positif menyelimuti, tiba-tiba pikiran negatif justru datang di dalam benak Jisey.
Bukan berniat untuk pesimis dengan pemikirannya kalau Haikal memiliki masalah di dalam perjalanannya, tapi bagaimanapun pemikiran negatif itu tak bisa hilang dari benaknya.
"Kamu gak mandi, Ce?" tanya Sarah sembari memasukkan sayuran ke dalam panci. Menu masakan malam ini adalah sayur sop dan dadar jagung, menu andalan Sarah kalau memiliki waktu yang agak luang untuk memasak.
"Nungguin Haikal, Mah. Katanya mau ngembaliin piring bolu yang waktu itu."
Sarah sedikit terkekeh disela kegiatannya, bahkan Sarah tak begitu memperdulikan jika Haikal tak mengembalikan piring hadiah dari deterjen itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...