Kalau biasanya Jisey menghabiskan hari Minggu-nya dengan bangun agak siang, rebahan, nonton drama, atau menghabiskan waktu untuk diri sendiri, maka tidak dengan hari ini. Pagi ini, bahkan disaat dirinya belum bangun, tetangganyaㅡHaikal mengajak dirinya untuk jogging di sekitar rumah.
Mau tidak mau, karena atas saran sang ibu, Jisey memilih untuk ikut dengan Haikal. Lagipula itu tak ada salahnya menurut Jisey, kan dia juga jarang berolahraga, kecuali saat sekolah.
Dengan sama-sama mengenakan celana training dan kaos polos di badan, mereka jogging di jalanan sekitar rumah mereka. Kalau bisa, Haikal juga berniat untuk mengajak Jisey ke lapangan di dekat sana. Sekalian untuk refreshing. Gini-gini juga Haikal perlu asupan pas olahraga.
Jisey menghentikan langkahnya, menahan tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada lutut sambil mengatur nafasnya. Ini baru sepuluh menit, tapi Jisey benar-benar merasa sudah kelelahan. Jisey merasa, ia sudah berlari selama seharian penuh tanpa henti.
"Haikal! Tungguin gue!" Jisey mendengus, Haikal memang budeg atau gak peduli sama keadaannya sekarang, sih? Bukannya diam dan bertanya 'ada apa?', tapi dia malah lanjut jogging. Mana gak noleh belakang lagi.
Haikal baru menoleh saat Jisey memanggilnya, dan ya, itu memang ekspetasi Jisey saja jika Haikal bersikap baik kepadanya. Karena nyatanya, Haikal yang nyata, Haikal di depannya ini sekarang sedang sedikit menertawainya.
"Kenapa? Udah jadi remaja jompo, ya?"
Jisey memutar bola matanya malas. "Jalan pelan-pelan. Perut gue udah sakit."
Mendengar sahutan Jisey, Haikal langsung mendekati perempuan itu dengan khawatir, namun berusaha memasang ekspresi sedatar mungkin, iya kalau Jisey beneran sakit. Kalau nggak? Bisa habis dirinya diledek Jisey karena terlihat khawatir.
"Sakit biasa kalau lagi lari. Udah, jalan aja, tapi pelanin."
Haikal mengangguk dan menuruti apa kata Jisey untuk berjalan dengan ritme pelan dan mendampinginya. Sambil sesekali memperhatikan Jisey yang memegangi bagian kiri perutnya yang terasa sakit.
Tak memerlukan waktu lama, akhirnya mereka sampai di lapangan yang biasa masyarakat gunakan untuk berolahraga sekaligus berjalan-jalan. Lapangan hijau luas yang memiliki pepohonan teduh serta berbagai jenis penjual mainan dan kaki lima yang menghiasi membuat lapangan itu menjadi destinasi umum bagi para remaja maupun keluarga yang telah memiliki anak kecil.
"Ce, beli es kelapa, yuk!" ajak Haikal yang langsung diberi tatapan melotot karena heran dari Jisey.
"Kita bahkan belum menginjakkan kaki di sini selama lima detik, Kal. Tapi lo udah ngajak jajan?"
Haikal menunjukkan deretan giginya, menggaruk tengkuk yang tak gatal karena sedikit malu, sih. "Tujuan gue ke sini kan memang untuk cari penyegar, Ce."
"Penyegar itu maksudnya minuman dingin atau liat cewek-cewek cakep di sini?" sarkas Jisey lalu sedikit mengedarkan pandangannya pada sekitar, untuk menunjuk beberapa pejalan kaki yang berlalu lalang.
"Kalau gue jawab keduanya, boleh, gak?" sahut Haikal bercanda. Jisey hanya memutar bola matanya dengan malas. Walau baru mengenal Haikal beberapa bulan, tapi Jisey merasa sudah sangat terbiasa dengan sikap Haikal yang kadang suka gombal, kadang suka nyebelin.
"Mending kita beli bubur ayam. Dari pada beli es abis olahraga, katanya gak baik," alih Jisey dan langsung berjalan mendahului Haikal. Pria yang memiliki hobi menjahili Jisey itu tak peduli dengan pengalihan topik Jisey, ia memilih untuk sedikit berlari menyusul Jisey, dan tetap bertanya pertanyaan yang belum ia dapatkan jawabannya.
"Jisey! Jawab gue dulu!"
"Ice!!!"
Jika Haikal sudah terpingkal karena berhasil menjahili Jisey, lain lagi dengan Jisey yang rasanya ingin menutup mulut Haikal dengan lakban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...