Walau Melia yang berada di sebelahnya sibuk bercerita ini itu, Jisey tak begitu bisa fokus dengan ocehan sahabatnya. Pikirannya masih terlempar pada ibunya yang sedang sakit di rumah. Rasa khawatir Jisey bahkan sampai sedikit mengganggu ulangannya tadi. Jisey tak yakin jika ia akan dapat hasil yang memuaskan dari ulangan antropologi tadi pagi.
Walau sudah ada Om Satria, tapi Jisey masih merasa khawatir. Tentu ia percaya dengan tetangga sekaligus ayahnya Haikal itu. Tapi rasa khawatir sebagai anak yang melihat ibunya sakit tak luput Jisey rasakan.
"Ce!" Melia sedikit berteriak, membuat Jisey tersentak. Ia menoleh, menatap Melia dengan linglung.
"Lo kenapa?"
Jisey menggeleng, "Gapapa. Cuma kepikiran mama gue aja."
"Tenang aja, Ce. Udah ada bapaknya Haikal, kan?"
"Tapi tetep aja gitu, Mel. Gue gak bisa stop mikirin mama."
Melia menghela nafas, lalu tersenyum simpul seraya mengelus lengan Jisey. "Isoke, isoke. Gue tau. Tapi seenggaknya lo fokus untuk ulangan nanti, ya? Kalo gak fokus, nanti tingkat kesulitan geologi bakal bertingkat ratusan kali."
Jisey terkekeh, mengiyakan sahabatnya itu sambil mengulas senyumannya. Walau Melia berkebalikan darinya, yakni cerewet, aktif, banyak bicara, dan sangat heboh, tapi itulah yang ternyata Jisey perlukan. Melia melengkapi dirinya yang cendrung lebih diam dan tidak banyak bicara.
Jisey sedikit tersentak kala merasakan ada sesuatu melayang yang menabrak kepalanya. Ia menunduk, mendapati sebuah pesawat kertas yang habis menabrak kepalanya, lalu mengambilnya. Jisey membolak balikkan pesawat itu, lalu menoleh ke belakang hendak mencari dalang dari pesawat yang lepas landas di kepalanya.
Namun, ia malah mendapati Haikal duduk di bangku pojok kelas yang tengah menatap Jisey dengan senyuman. Jisey tahu itu senyuman jahil yang biasa Haikal tampilkan, tapi anehnya, senyuman itu justru menyenangkan hati yang kini tengah galau setengah mati.
Jisey beralih menatap pesawat kertas yang dilempar padanya, lalu iseng membuka lipatan demi lipatan kertas itu. Senyum perlahan terulas kian lebar di wajah manisnya setiap ia membaca kata demi kata yang tertulis di dalam lipatan kertas tersebut. Terlebih lagi saat ia membaca siapa pengirim pesawat tersebut.
Kata-kata yang bisa membuatnya merasa nyaman dan merasa dihargai. Lagi-lagi, Haikal bisa membuat Jisey merasa seperti itu.
Jangan bengong, fokus ulangan. Nanti gue traktir es kelapa. Semangat Ceee...!!! Don't galau be hepi you always have me
- tetangga paling ganteng
Mungkin Jisey tak tahu,
juga mungkin Jisey tidak sadar.Tapi Jisey sudah benar-benar jatuh pada Haikal, tetangga sekaligus teman kelasnya yang paling menyebalkan. Seorang laki-laki yang berhasil membuatnya kembali percaya untuk membuka diri lebih banyak. Seseorang yang berhasil membuatnya sadar kalau keberadaan Haikal sangat berpengaruh pada kehidupan masa remajanya.
Dan kehadiran Haikal sangat berarti baginya.
Di waktu yang sama tapi tempat yang berbeda, Satria dengan senantiasa mengurus Sarah. Ia memberi obat tepat pada waktunya, menyuapi Sarah makan dan minum, serta membantu Sarah untuk pergi ke kamar mandi.
Tenang aja, Satria cuma nunggu di luar kok. Gak ikut masuk ke kamar mandi.
Walau merawat tetangganya dan izin dari kerja, Satria masih tetap berkutat pada laptopnya di sela-sela waktu senggang. Sudah berkali-kali Satria meregangkan tubuhnya, karena rasa lelah dan kaku yang melanda, terlebih lagi ia harus menatap layar laptop dengan sedikit menunduk. Lambat laun karena semilir angin dari luar yang menerpa, Satria tanpa sadar sering memejamkan matanya. Mulai memasuki alam mimpi untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Namun matanya kembali terbuka kala mendengar ada suara benda terjatuh dari arah tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...