Setelah menyelesaikan kegiatan pemotretan untuk iklan yang Yuri lakukan di Jakarta, sekarang Sarah sudah kembali mengemas kopernya karena harus kembali bersiap ke Bali untuk pulang. Walau Sarah percaya pada anaknya, tapi perasaan seorang ibu akan selalu menjadi khawatir saat meninggalkan anaknya sendirian di rumah. Apalagi ini berjarak antar pulau.
Sarah sedikit terkejut saat mendapati pintu kamarnya dibuka, dan menampilkan Juna berada di balik sana. "Kenapa, Jun?"
Juna tersenyum dengan ramah, "Enggak, cuma mau mastiin apa kamu udah siap, atau belum. Tadi Mbak Asti nanyain kamu."
Sarah mengangguk lalu menjawab sambil tersenyum. "Udah, kok. Ini tinggal dikit aja."
Juna hanya mengangguk, lalu main asal masuk begitu saja setelah menutup pintu kamar Sarah. Sarah sedikit terkejut dan khawatir, tapi ia tutup dengan senyuman. Sebenarnya ini hal wajar di dunia yang biasa ia jalani, apalagi Juna adalah rekan kerja yang bisa dibilang dekat dengannya. Tapi perasaan khawatir saat ia berdua saja dengan seorang pria di dalam kamar itu tetap ada.
"Nanti di bandara udah ada jemputan?" tanya Juna sambil duduk di sofa sebrang Sarah.
Ia mengangguk, menjawab Juna. "Nanti anak aku udah jemput."
"Anak kamu aja?"
"Ya sama tetangga, sih."
Juna ber-oh ria, "Dekat juga ya sama tetangga."
Sarah hanya mengangguk sambil sibuk merapikan barang-barangnya. Ia berusaha mengingat apa saja yang masih tertinggal, tapi gagal karena fokusnya masih pada Juna yang berada di depannya.
"Mbak," Arjuna memanggil, setengah ragu untuk melanjutkan ucapannya. Namun, ia tetap mengucapkannya, "Mbak dipanggil Pak Jeffan."
Lemas, satu kata yang sangat mendeskripsikan keadaan Sarah saat ini. Pikirannya tercampur aduk. Mengapa belakangan ini Jeffan selalu menghubunginya? Mengapa dia harus kembali?
Sarah sudah menyukai kehidupannya yang sekarang.
Atau lebih tepatnya sudah menerima kehidupannya yang sekarang.
"Juna, maaf. Boleh keluar dulu, gak? Aku mau ganti baju." Sarah berusaha mengalihkan topik, karena ia sejujurnya memang ingin mengganti pakaian dan malas untuk membahas Jeffan, Jeffan, dan Jeffan yang seolah mengetahui apapun yang sedang ia lakukan. Ditambah karena Jeffan adalah pemilik brand yang sedang Yuri iklankan saat ini, pria itu selalu mencari celah untuk bertemu dengannya.
"Oh, iya, iya. Maaf mengganggu, Mbak." Sarah hanya mengangguk sambil tersenyum menanggapi Juna. Setelah pria itu keluar dari kamarnya, baru ia bisa bernafas dengan lega.
Nyatanya walau sudah berbelas tahun yang lalu, tapi bayangan kejadian itu masih ada di dalam benaknya dengan sangat jelas. Bayangan akan awal mula hidupnya menjadi berantakan. Awal mula kebahagiaan sekaligus kepahitan itu terlahir. Semuanya.
×××
Jam telah menunjukkan pukul lima sore, tandanya pesawat yang ditumpangi oleh Sarah akan mendarat sebentar lagi. Walau masih lama untuk menunggu sang ibu keluar dari pintu untuk bertemu dengannya, karena setidaknya Sarah harus menunggu koper, tapi Jisey sangat antusias menunggu di luar pintu keluar.
"Jisey, kamu serius gak mau ngasih tau masalah kemarin ke mama kamu?"
Ya, Jisey sudah menceritakannya pada Satria. Atau lebih tepatnya, Satria lah yang lebih dulu bertanya pada Jisey. Dan ia sudah memilih untuk tidak langsung memberitahu Sarah terlebih dahulu. Setidaknya untuk hari ini.
Jisey menoleh, menatap Satria yang masih ragu dengan keputusan Jisey semalam.
"Gapapa, Om. Mama pasti tau, kok, nanti. Biar Jisey yang jelasin. Jisey gak mau bikin kerjaannya Mama terganggu juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...