15. Need a dad?

33 9 10
                                    

"Memang lo bawa apa lagi, sih?! Udah gak ada lagi ini," omel Haikal. Sebal karena perempuan di depannya ini tak henti-hentinya berkeliling rumah berkali-kali, hanya karena alasan mengecek apa barangnya ada yang tertinggal atau tidak.

Jisey hanya berdecak sambil lanjut berkeliling, mengajak Haikal, agar pria itu gak kabur dan malah menguping pembicaraan kedua orang tua di rumahnya.

"Ikut aja dong, Haikal. Masa lo tega banget ninggalin gue sendirian?"

Haikal memutar bola matanya dengan malas. "Please, Jisey. Rumah kita palingan cuma berjarak lima langkah, bukan jarak waktu lima jam."

"Iihh! Kan sama aja, Haikal. Ketinggalan namanya tetap ketinggalan!"

"Terserah dah!"

"Bocah prik," sambung Haikal dengan sebal. Mau tidak mau, Haikal harus ikut keliling rumah bersama Jisey. 

×××

Setelah mengeluarkan curahan yang selama ini ingin ia pendam, akhirnya Sarah bisa merasa lega. Curahan yang ingin ia keluarkan sejak bertahun-tahun yang lalu, kini sudah dikeluarkan. Walau tak semuanya, tapi Sarah merasa itu sudah sangat cukup untuk membuatnya merasa lebih ringan.

Sarah tak tahu jika ia memang memerlukan teman cerita. Bukan sekedar sahabat, melainkan seorang pria yang memiliki sudut pandang berbeda darinya, namun tetap menjadi tempat ter-aman. Sudah belasan tahun Sarah tak merasakan bagaimana rasanya cerita dengan seorang pria yang bisa ia percaya.

Dan sekarang, ia merasakannya, lagi.

Satria benar-benar tahu bagaimana menangani dirinya. Setelah mengeluarkan sedikit isi hatinya, Sarah bisa menjadi lebih tenang saat mengetahui apa yang dialami Jisey tadi malam. Walau tentu saja rasa panik tak bisa dihilangkan, tapi Satria bisa menangani Sarah dengan mengeluarkan kata-kata yang bisa meyakinkan dirinya, perkataan yang bisa membangkitkan rasa percaya dirinya. Semuanya mengalir begitu saja, juga kepanikan Sarah.

Sarah diam. Memikirkan segala pikiran yang bergentayangan di dalam benaknya. Bagaimana pikirannya melayang pada, apa ia sudah menjadi ibu yang baik?

Dan pertanyaan yang selalu menghantui benak Sarah sejak dahulu, apa Jisey memang perlu sosok ayah di dalam hidupnya? Sampai Jisey tak berani membicarakan hal seperti ini pada dirinya karena melihat kondisinya yang tidak bagus, dan memilih untuk membiarkan Satria yang bicara padanya.

"Sarah, kamu udah jadi ibu yang baik, kok," ujar Satria secara tiba-tiba, membuyarkan lamunan Sarah.

"Kenapa bisa berpikiran seperti itu?"

Satria tersenyum, menanggapi Sarah dengan helaan nafas. "Saya liat Jisey selalu bahagia, bahkan sampai kangen sama kamu segitunya, padahal baru ditinggal beberapa hari,"

"Dan lagi, Jisey sampai nyuruh saya untuk bicarain ini sama kamu. Itu artinya, dia gak mau kamu terlalu panik dan sampai gak bisa handle diri kamu sendiri."

Satria kembali menatap mata Sarah lekat-lekat, meyakinkan wanita di sebelahnya ini kalau ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya. "Saya tau betapa susahnya jadi ibu rumah tangga sekaligus single parent yang harus bagi waktu antara kerjaan dan rumah, tanpa punya temen untuk ngeluarin semua unek-unek yang kamu rasain seharian, yang seharusnya itu memang perlu. Kalau untuk poin terakhir, tentu saya juga bisa paham gimana rasanya, haha." Tawa hambar Satria jelas terdengar kalau pria itu memang tidak berniat melucu.

Sarah menghela nafasnya, ia menundukkan kepala, Satria memang benar. Di saat ada Jeffan yang mengisi hari-harinya dulu, semuanya baik-baik saja. Mungkin? Entahlah. Sarah lupa bagaimana rasanya. Yang jelas, ia tentu merasakan adanya perbedaan disaat bersama Jeffan, dan disaat dirinya sendirian membesarkan Jisey.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang