28. Sunday

25 6 0
                                    

Sudah dua hari ini Haikal lebih sering berada di rumah Jisey dibanding rumahnya sendiri. Selain karena di rumah hanya sendirian, Haikal juga berniat untuk membantu Jisey merawat Tante Sarah, tetangganya. Hitung-hitung untuk menambah poin plus sebagai anak baik. Siapatau dikasi restu lebih. Hehe.

Satria juga tak pernah bolos untuk menjenguk tetangganya. Satria sering membawakan makanan, buah, ataupun sesuatu yang diinginkan Sarah, sebagai moodbooster agar wanita itu lebih cepat pulih.

Kondisi Sarah sudah cukup membaik. Rasa pusing dan memutar di kepalanya juga sudah berkurang. Hanya masih tersisa rasa kurang enak badan. Bahkan Sarah juga sudah ingin berniat melakukan pekerjaan rumah, kalau saja Jisey tidak menghentikannya.

"Ce." Haikal memanggil, membuat Jisey yang sedang menonton televisi menoleh ke sebelah dengan alis yang terangkat. Hari ini Jisey sudah bisa sedikit merasa santai sekaligus lega karena kondisi ibunya yang sudah cukup membaik. Berbeda dari hari sebelumnya, Haikal bisa merasakan kalau Jisey sedang tidak baik-baik saja.

"Mau nitip jus apa?"

Jisey langsung menggeleng, tanpa Haikal perjelas lagi, Jisey yakin ini tawaran Om Satria. Jisey tak ingin merepotkan mereka yang sudah sangat baik kepadanya. Sebenarnya pertolongan Haikal dan Om Satria untuk membawa ibunya ke dokter waktu itu sudah cukup baginya.

"Gak usah, Kal."

"Ck, bilang aja. Mau apa? Mangga, ya? Suka, kan, lo?" Jisey lagi-lagi menggeleng, berusaha menolak tawaran Haikal dan Om Satria dengan sopan.

"Lo tuh harus jaga kesehatan juga, Ce. Bukannya gue nyumpahin, tapi kalau nanti lo sakit, siapa yang ngurus Tante Sarah?"

"Gapapa, Haikal. Biasanya juga gak minum jus, kok."

Haikal menatap Jisey dengan sebal. "Oke jus jambu," putus Haikal yang membuat mata Jisey melebar. Haikal tahu kalau dirinya tidak menyukai jus jambu. Jisey pernah bercerita, dan tak jarang Haikal juga sering meledeknya dengan embel-embel akan membelikan jus jambu.

"Haikal!"

"Please, Jisey. Atau lo mau makan apa? Lo belom makan malem, loh."

Jisey menghela nafas seraya memejamkan matanya. Walau sudah menjadi sahabat, ternyata sikap Haikal masih sama. Sama-sama menyebalkan.

"Oke, jus mangga." Haikal langsung tersenyum lebar, menyambut Jisey dengan mencubit pipi gemas perempuan yang berada di sebelahnya.

"Dari tadi dong!"

"Hissh!" Jisey menghapus jejak tangan Haikal dari pipinya dengan sebal, namun tak bisa dielak jika Jisey merasa bahagia akan hal tersebut. Sedih? Terharu? Bahagia? Entahlah, perasaan seperti itu selalu muncul di relungnya kala merasakan kehangatan Haikal di sekitarnya.

Ini pertama kalinya Jisey merasa memiliki tempat ternyaman dengan seseorang lawan jenis. Selama ini, Jisey hanya mengakui Melia dan Sarah sebagai tempat ternyamannya. Tapi sekarang, Haikal berhasil menambah tempat di hatinya.

Jisey menatap Haikal dengan serius, memperhatikan setiap inci wajah seseorang yang berhasil mengisi hatinya di saat seperti ini. Hatinya merasa tak karuan setiap ia menatap Haikal, apalagi saat Haikal peduli kepadanya.

"Haikal, kenapa lo sama Om Satria baik banget?" tanya Jisey dengan lemah, antara sadar dan tidak dengan pertanyaannya itu. Tapi memang itulah yang ingin ia tanyakan selama ini. Sebenarnya, ia takut untuk bertanya, takut jika mereka berdua tersinggung, lalu pergi begitu saja.

Walau hukum alam memang seperti itu, tapi, entahlah. Sepertinya ia ketergantungan.

Ya, Jisey sudah mulai bergantung dengan keberadaan dua orang tetangganya.

Haikal mengedikkan bahunya untuk menjawan pertanyaan Jisey yang sebenarnya ia juga tak memiliki jawaban. "Ya gitu aja."

"Gue cuma takut, Kal."

Haikal berkerut bingung, "Maksudnya?"

"Adanya Om Satria dan lo jadi bikin gue merasa nyaman, dan bahagia. Tapi di satu sisi, gue takut ini gak bakal tahan lama. Gue takut ada sesuatu hal buruk yang bakal muncul karena perasaan yang sedang gue rasain sekarang."

Haikal tersenyum, menghibur Jisey dengan senyuman yang tulus dan juga hangat. "Mau dimanapun kita berada, gue bakal ada sama lo dan Tante Sarah, Jisey. Gue yakin, papa gue juga bakal seperti itu,"

"It's okay kalau lo ngalamin hal buruk, di setiap kehidupan pasti bakal ada hal buruk yang datengin kita. Tapi satu hal yang harus lo inget, kita pasti bisa ngelewatin itu semua."

×××

Sekitar dua puluh menit menunggu, akhirnya yang ditunggu telah datang. Atau lebih tepatnya yang sangat Haikal tunggu, karena di depan sana, sang ayah sudah datang dengan membawa nasi goreng, jus, beserta martabak pesanannya.

"Asikk! Makan!" Haikal berseru dan langsung menyambut kresek di tangan Satria, mengambil alih lalu membukanya di atas meja.

"Papanya gak dipeduliin lagi," cibir Satria yang hanya dibalas cengiran oleh Haikal.

"Wow, banyak amat nasi gorengnya. Papa mau ikutan bansos?"

"Nggak, lah. Orang cuma empat." Haikal kembali menghitung nasi goreng yang terbungkus kertas nasi di sana, ternyata memang benar, cuma ada empat bungkus. Haikal pikir ini banyak, karena biasanya ia hanya melihat satu atau dua bungkus saja.

Haikal mengangguk, lalu menoleh ke Jisey. "Makan, Ce." Jisey mengangguk, dan langsung menepuk jidatnya karena lupa akan sesuatu.

"Oh iya, Om Satria, makasih ya nasi gorengnya. Nanti Jisey ganti."

"Gak usah. Kan kamu gak ada minta. Ini memang cuma inisiatif Om aja."

Satria sedikit bungkuk, mengambil sebungkus nasi goreng tidak pedas dengan karet satu, lalu memberikannya pada Jisey. "Ini, kasih mama kamu."

Jisey mengangguk sambil menerimanya dengan ragu. Sebelum pergi, ia menatap Om Satria dengan senyuman yang sangat haru.

Setelah selesai menyuapi sang ibu makan, Jisey kembali turun, menghampiri dua orang pria yang sudah selesai makan dan minum.

"Jisey, Om Satria mau nanya. Boleh?" Jisey mengangguk, lantas duduk di sofa sebelah Haikal, di samping Om Satria.

"Kamu besok beneran mau ijin sekolah?"

Jisey mengangguk, lagipula memang ia harus merawat ibunya, bukan? Jisey tak mungkin mau meninggalkan ibunya sendirian di saat sakit seperti ini. Terlebih lagi Jisey tahu betapa mandiri ibunya itu jika tentang urusan rumah.

"Kalau Jisey mau, Om bisa bantu jaga Tante Sarah dulu. Soalnya tadi kata Haikal, katanya besok ada ulangan empat mata pelajaran, ya?"

Jisey mengangguk, membenarkan pertanyaan Om Satria. Itulah mengapa Jisey belum tidur di saat malam ibunya jatuh sakit. Walau harus belajar sampai tengah malam, tapi Jisey bersyukur karena itu. Jika tidak, ia mungkin tak akan bangun hanya dengan suara teko yang jatuh.

"Tapi kan Om Satria juga harus kerja. Jisey gapapa, kok. Ulangannya bisa nyusul."

"Yakin mau nyusul ulangan Bu Miatri?" Haikal menyela dengan ragu. Ini bukan karena Bu Miatri yang tidak memberikan susulan, tapi karena soal geologi yang diberikan Bu Miatri di susulan nanti akan jauuhh lebih sulit dari soal ulangan. Jika soal ulangannya saja sudah susah dan HOTS, bagaimana dengan susulannya nanti? Super duper mega HOTS.

"Ragu gak ragu, sih," sahut Jisey bingung.

"Ini gue bukan promosi ya, Ce. Tapi mau real testimoni yang trusted kalau Tante Sarah dijamin aman sama papa gue. No lecet sedikitpun,"

"Jaminan keamanan Tante Sarah ke Papa nanti gue bikinin."

Satria menoyor kepala Haikal yang dalam mode berlebihan, lalu kembali menatap Jisey. "Gimana?"

Dengan ragu, Jisey mengangguk. Semoga keputusannya ini tepat. Jisey percaya pada Om Satria yang akan menjaga ibunya, dan mungkin jika testimoni Haikal terbukti benar, sepenuhnya Jisey akan benar-benar mempercayai kedua pria di depannya ini sepenuhnya.

"Jisey kasih tau mama dulu. Kalau mama setuju, Jisey setuju."

×××

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang