"Serius?" Sarah bertanya dengan terkejut sekaligus tertawa. Hal yang baru saja ia dengar dari Satria membuat Sarah merasa dunia ini memang sempit.
Setelah dipertemukan sebagai tetangga di rumahnya, kini mereka baru saja mengetahui kalau tempat kerja mereka berdekatan. Walau memang Sarah sering berpindah-pindah untuk pemotretan, tetapi kantor agensi sekaligus tempat pemotretannya kali ini berada persis di sebelah kafe yang masih setengah terbangun, di mana Satria lah yang menghitung sekaligus mengawasi para pekerja yang membangun kafe itu.
Sebenarnya proyek itu bukanlah pekerjaan utama Satria, tapi hanya sekedar sampingan untuk mendapat tambahan penghasilan.
"Kalau Bu Sarah nanti pas kerja ada perlu, ternyata bisa tinggal panggil saya juga di sebelahnya," gurau Satria sambil sedikit tertawa. Bukannya ikut tertawa, lawan bicaranya justru memasang wajah datar. Bayangan itu kembali datang. Bayangan di mana saat Sarah merasa menjadi perempuan terbodoh yang percaya akan segala ucapan nya.
"Kalau kamu perlu apapun, bisa panggil aku di sebelah."
Semuanya berawal dari sana.
Satria yang menyadari bahwa Sarah tak mengeluarkan reaksi apapun langsung sedikit mengalihkan fokusnya dari jalan dan melirik Sarah yang hanya diam dan tampak tegang dari biasanya.
"Bu Sarah? Kenapa? Apa ada masalah? Apa ada perkataan saya yang salah? Kalau begitu maaf jika--"
"Enggak, Pak." Sarah menyela sambil memasang senyuman. Lagipula ini bukanlah hal yang harus ia ceritakan pada siapapun, dan sebaiknya memang harus begitu. Dibiarkan dan dilupakan. Tapi kenyataannya, melupakan kenangan memang tidak semudah itu, bukan? Walaupun sudah tak terbayang, tapi kenangan itu akan tetap ada di dalam benak. Kenangan itu akan muncul saat seseorang kembali mengingatkannya.
×××
Jisey memperhatikan jam tangannya. Sudah sekitar sepuluh menit ia menunggu di depan gerbang sekolah, tapi orang yang ia tunggu masih belum muncul juga. Jisey berkali-kali memperhatikan arah datangnya motor-motor yang hendak pulang dari arah parkiran sekolahnya, takut tertinggal.
Sampai akhirnya menemukan target yang sedang ia cari, Jisey langsung berteriak dan melambaikan tangannya. Walau sebenarnya Jisey malu, tapi bodo amat, lah. Yang penting Jisey pulang.
"Haikal! Haikal!!! STOOPP!"
Beruntung skill naik motor Haikal tidak buruk, walau ia dicegat mendadak oleh Jisey, tapi ia tak langsung mengerem dan membuat motor yang berada di belakang akan menabrak motornya. Mana ini bukan motor miliknya.
Jisey langsung menyebrang untuk menghampiri Haikal yang kebingungan.
"Tolong anterin gue pulang, dong. Gue--"
"Ciakh, sekarang mau juga, kan, lo pulang bareng gue."
Jisey memutar bola matanya dengan malas. Memang bukan Haikal jika pria di depannya ini tidak menyebalkan.
"Kenapa, sih, lo ribet banget?"
"Ya, ya. Mumpung gue baik hati. C'mon, let's-- HEH!" Haikal spontan menarik rem dan menurunkan kedua kakinya untuk menopang beban yang tiba-tiba menaiki motornya. Untung Haikal gercep. Jika tidak, maka habis sudah mereka akan terjatuh karena Jisey yang naik mendadak dan Haikal yang belum siap.
"Lain kali kalo mau naik tuh ya bilang!"
"Lagian lo pake acara boros kalimat."
"Yuk, Kal, jalan," sambung Jisey sambil menepuk bahu kanan Haikal dua kali.
"Gue bukan ojek, jing."
"Gue aduin Om Satria ya lo kalau ngomong kasar sam gu-- HEH! KALO MAU MATI JANGAN AJAK GUE, DONG!" Jisey otomatis memegang bahu Haikal karena sang pengemudi yang tiba-tiba menarik gas dan tak menghiraukan ocehan Jisey.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...