Setelah mendengarkan curhatan Jisey beberapa hari lalu, Melia berniat untuk menguji kebenaran ucapannya. Menguji apakah Haikal memang anak dari keluarga baik-baik atau tidak. Secara, Melia yakin, kok, kalau buah jatuh gak bakal jauh dari pohonnya. Kalau Haikal baik, pasti bapaknya juga baik. Kurang lebih, lah.
Karena itu, Melia sampai rela menunggu Haikal di perpustakaan. Mungkin sudah sekitar sejam Melia berdiri di antara rak buku dan memperhatikan kegiatan Haikal dan teman-temannya, alias Yoyo, Wahyu, dan Abim, yang sedang mengobrol sambil membaca buku komik.
Melia diam bukan berarti Melia tak akan melakukan apapun. Ia akan melakukannya, di waktu yang tepat.
Setelah melihat keempat orang itu berencana akan pulang, Melia langsung bersiap untuk melancarkan aksinya. Dengan buru-buru, Melia mengambil tumpukan buku yang sudah ia siapkan dari tadi, lalu berjalan ke arah mereka.
BRAKK!
Buku-buku itu terjatuh. Atau lebih tepatnya, Melia sengaja menjatuhkannya di hadapan mereka.
"Aduh, aduh!" Melia langsung berjongkok dan merapikan buku-buku yang telah berserakan. Tepat di saat itu juga, seseorang memanggil Melia.
"Melia bukan, sih?" Melia menoleh, mendapati Haikal yang sedang berdiri di depannya.
"Iya, ini gue Melia."
"Lo ngapain bawa buku bejibun gitu?" Haikal bertanya, lalu memperhatikan satu persatu judul buku-buku yang berserakan di sana. "Kumpulan dongeng? Fakta menarik angkasa? Cara cepat bisnis dari rumah? Lo mau ngapain, Mel?"
Melia sedikit menggigit bibir bawahnya. Ternyata caranya sedikit bodoh, karena ia tak memperhatikan buku-buku apa yang sudah ia ambil, yang tidak memiliki korelasi apapun satu sama lain. Ia hanya asal mengambil dari setiap rak yang ia lewati.
"I-iya, iya, gue cuma lagi pingin baca aja," sahut Melia berusaha mengelak dari Haikal yang tampak kebingungan.
"Lo berniat nolongin gue, gak, sih, Kal? Gue capek nih jongkok," sambung Melia.
Mereka langsung tertawa mendengar protesan Melia. Walau baru berteman beberapa bulan, tapi mereka seperti sudah hapal dengan sikap Melia yang seperti ini.
"Kal, bantuin, Kal," seru Wahyu sambil mendorong punggung Haikal secara perlahan.
"Tinggal bilang minta tolong susah amat," ujar Haikal. Walau begitu, ia tetap berjongkok dan merapikan buku-buku Melia yang sudah berjatuhan.
"Lo mau gue bantu berdiri juga?" goda Haikal sambil mengulurkan tangannya pada Melia.
"Gak! Makasih."
Haikal dan yang lainnya hanya terkekeh, lalu berpamitan pada Melia, dan pergi meninggalkan Melia yang sekarang sudah memasang senyum penuh kemenangan. Sebenarnya Melia gak tau ini misinya berhasil atau enggak, soalnya Haikal gak peka. Tapi seenggaknya, Haikal nolongin dia.
"INI GUE NGAMBIL DARI MANA AJA YA, ANJIR! Sekarang gimana ngembaliinnya...."
×××
Panas matahari menusuk kulit Jisey yang tak menggunakan jaket walau ia sudah berteduh di bawah pohon. Pasalnya tadi ia lupa membawa jaket karena diantar dengan mobil oleh sang ibu. Jisey sudah berjanjian untuk pulang dengan Melia setelah temannya itu selesai rapat paduan suara, ekstrakulikuler yang Melia ikuti. Tapi sampai saat ini, Melia masih belum muncul juga di hadapannya.
"ICEEEE!!!"
Jisey sedikit tersentak saat mendengar teriakan yang tentunya tidak asing itu. Ia langsung berbalik dan memperhatikan sahabatnya yang tengah berlari seraya mengatur nafasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...