Dinginnya malam membuat mereka menggunakan baju yang hangat walau berada di dalam villa. Bekal piknik makan siang tadi akhirnya berakhir sebagai makan malam. Sejak kejadian tadi, tak ada satupun yang merasa lapar. Mereka lebih larut dengan pikirannya masing-masing. Terutama Jisey yang semakin bimbang.
Setelah Haikal mengakui perasaannya tadi, Jisey jadi merasa sedikit bersalah pada Haikal. Memaksanya untuk menjawab reaksinya terhadap hubungan Satria dan Sarah saat ini memang bukanlah jalan yang tepat.
Jisey juga paham. Perasaannya pada Haikal memang berusaha untuk tidak lebih jauh dari sahabat, tapi Jisey juga tak bisa mengelak kalau Haikal satu-satunya pria yang bisa membuatnya nyaman. Di saat semua teman prianya memang seperti setan hidup, walau Haikal juga termasuk salah satunya, tapi hanya Haikal yang masih bisa Jisey toleransi. Entah mengapa bisa, hanya perasaannya yang mengerti.
"Mau order makan baru lagi aja, gak?" tawar Satria pada ketiga orang yang tengah duduk di depan sekaligus sebelahnya.
"Ini aja gapapa," sahut Haikal datar, lalu mengambil kotak makan yang sudah disiapkannya dari rumah, lalu menyantapnya saat melihat yang lain sudah memulai makannya.
Tak ada obrolan yang tercipta di antara mereka selama makan malam. Hanya kunyahan dan suara dentingan sendok garpu yang terdengar.
Lima belas menit berlalu, akhirnya mereka telah menghabiskan bekal makan masing-masing, masih diam di meja makan hanya untuk sekedar berbincang. Dan Haikal lah yang pertama kali angkat bicara, setelah melihat semuanya sudah nyaman.
"Pa, Tante Sarah, maafin Haikal."
Mereka bertiga lantas langsung mengalihkan atensinya, menatap Haikal dengan bingung sekaligus bertanya-tanya.
"Maaf Haikal belum bisa jawab sekarang. Ini semua terlalu tiba-tiba," sambungnya dengan berani, lalu menatap ayah dan Tante Sarah secara bergantian.
"Haikal bahagia kalau liat Papa bahagia, begitu juga liat Tante Sarah bahagia. Selama ini Tante Sarah juga udah Haikal anggep sebagai sosok ibu yang Haikal punya," Haikal sedikit menjeda kalimatnya lagi untuk menghela nafas, lalu kembali melanjutkan. "Tante Sarah baik. Tante Sarah gak kurang apapun sampe Haikal bisa nolak hubungan Tante Sarah sama Papa. Tapi ... Bisa tolong minta waktu dulu? Haikal belum bisa jawab sekarang."
Satria mengulas kilasan senyum karena melihat sang anak yang sudah memberinya penjelasan. Satria merasa bangga karena bisa membesarkan Haikal yang bisa menjaga sopan santun, tidak langsung mengamuk. Tapi di satu sisi, Satria juga merasa khawatir akan Haikal. Entah sampai kapan dan apa Haikal memang jujur dengan perasaannya, Satria tak pernah tahu.
"Gapapa, Haikal. Tante sama Papa kamu gak akan maksa kalian berdua. Maaf, ya? Mungkin seharusnya kita nanyain kalian dulu sebelum punya hubungan yang lebih jauh," ujar Sarah sambil mengulas senyuman tulusnya. Walau belum mendapatkan persetujuan dari Haikal, tapi Sarah merasa lega karena mendengar penuturan Haikal yang lebih memilih untuk jujur, dibanding harus marah untuk saat ini.
Haikal menggeleng, sambil berusaha mengulas senyuman. "Gapapa, kok. Haikal cuma kaget,"
"Haikal duluan, ya. Temennya Haikal ngajakin mabar," pamitnya dan langsung pergi dari meja makan setelah mendapat anggukan. Mereka terus menatap kepergian Haikal, sampai ia masuk ke dalam kamar yang akan ia tempati.
Walau sebenarnya itu hanya alibi semata karena Haikal masih memerlukan waktu sendiri untuk memikirkan jawabannya nanti.
Mendapati respon yang cukup baik, Sarah dan Satria langsung saling menatap seraya mengulas senyuman, menyalurkan kebahagiaan sekaligus kekhawatiran akan jawaban Haikal nanti.
"Bahagia banget ya, Ma?" Jisey membatin, diam-diam sibuk memperhatikan sang ibu yang berbicara ini itu dengan Satria dengan wajah dan senyuman yang sangat cerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfic[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...