"Kal, please, bantu gue."
Haikal yang tengah mengendarai motor sedikit melirik Jisey melalui kaca spion dengan heran. Ini sudah kesekian kalinya wanita yang tengah ia bonceng meminta kepadanya, dan sampai sekarang, Haikal masih tetap pada pendiriannya. "Tapi gak baik, Ce. Seenggaknya lo harus kabarin Tante Sarah dulu."
Jisey menggeleng. Ia kukuh akan keputusannya untuk kembali bertemu dengan ayahnya. Tanpa memberitahu sang ibu.
"Bapak gue bilang, dia bakal selalu ada buat gue, Kal!"
"Terus Tante Sarah? Memangnya Tante Sarah gak selalu ada buat lo?" Jisey tercekat. Haikal memang benar. Ibunya selalu bersamanya. Selalu menemani hari-harinya dan mendukungnya. Tapi, apa salahnya jika ia ingin bertemu ayahnya? Jisey tak ingin merepotkan ibunya, dan juga tak ingin membuat sang ibu sedih hanya demi memenuhi permintaannya.
"Lo gak ngerti, Haikal. Lo gak ngerti gimana perasaan gue! Lo enak ada Om Satria, sedangkan gue?"
"Terus apa bedanya, Ce? Kalau gue balikin, gimana? Lo enak ada Tante Sarah, sedangkan gue?"
Jisey lagi-lagi terdiam karena ucapan Haikal. Ia tak sadar kalau ucapannya bisa menjadi boomerang pada dirinya sendiri. Jisey tahu, tapi rasanya itu masih kurang. Manusia emang gak bakal ada puasnya.
"Gue mungkin emang gak ngerti lo, tapi seenggaknya bilang sama Tante Sarah. Amit-amit, tapi kalau misal ada apa-apa di jalan, gimana, Ce? Siapa yang tanggung jawab? Gue juga masih SMA, monmaap nih, gak bisa jadi penanggung jawab." Jisey menghela nafasnya yang sudah kalut akan emosi. Mendengar respon Haikal yang selalu menentang keinginannya membuat Jisey rasanya semakin terbakar di bawah terik matahari.
"Kal, tolong berhenti di supermarket depan, dong. Mau beli minum," ujar Jisey seraya menepuk bahu Haikal. Di bawah terik matahari begini, Jisey merasa sepertinya otaknya juga ikut memanas dan dengan cara seperti ini mungkin emosi di kepalanya akan turun.
Pandangannya ia edarkan pada lemari pendingin di hadapannya yang menampilkan berbagai jenis minuman yang seolah mengundang dan merayunya untuk dipilih. Lebih baik susu atau minuman perisa buah yang menyegarkan? Atau mungkin minuman soda ringan yang terasa seperti mengajaknya untuk dibeli.
Akhirnya dari sekian jajaran minuman di hadapannya, pilihannya terjatuh pada sebotol minuman perisa jeruk dingin. "Kal, mau juga, gak?"
Haikal menggeleng. "Gue cuma nemenin lo doang." Jisey pun mengangguk, lantas berjalan ke kasir untuk membayar minumannya. Namun, tepukan di pundaknya dari belakang membuat Jisey berhenti dan menoleh.
Ia sangat terkejut sekaligus tak percaya kala melihat siapa yang memanggilnya sekarang. Haikal tidak mengijinkannya untuk bertemu sang ayah tanpa izin dari ibunya, tapi semesta justru mempertemukan mereka di sini, di super market dekat rumahnya yang tak pernah Jisey bayangkan. Tujuannya hanya datang untuk membeli minuman, justru mempertemukan dirinya dengan sang ayah.
"Papa?" Jisey memasang senyuman lebarnya, lantas langsung memeluk sang ayah dengan sangat erat. Rasanya sudah lama tidak bertemu pria ini. Pertemuan pertama setelah sekian tahun memang sangat canggung, tapi untuk pertemuan kedua mereka kali ini, Jisey merasa tidak canggung sedikitpun. Jisey bahkan merasa senang.
"Jisey, apa kabar?"
"Baik." Mereka melepas pelukannya, lalu Jisey kembali berbicara sambil melirik Haikal. "Oh, iya. Ini Haikal, tetangga Jisey."
Haikal menyambut tangan Jeffan untuk meminta salam pria yang statusnya memang orangtua baginya.
"Kalian temen sekolah?" Jisey mengangguk dengan antusias.
"Papa, ini udah selesai." Baik Jisey, Haikal, maupun Jeffan langsung menoleh ke arah sumber suara. Di sana, terdapat perempuan cantik yang tengah menghampiri Jeffan sambil menunjukkan keranjang belanjaannya. Merasa ditatap, perempuan itu lantas menoleh pada dua remaja yang berada di depan Jeffan, sambil melirik Jeffan untuk meminta penjelasan.
"Ah, iya. Ini Jisey, sama Haikal tetangganya." Perempuan itu lantas membulatkan mulutnya, lalu tersenyum ramah menyambut kedua remaja di depannya. "Micha."
"Dia.... Em, istri Papa,"
Rasanya seolah Jisey sudah kehabisan nafas setelah mendengar kabar itu. Ternyata benar, kalau sang ayah sudah kembali menikah? Jisey hanya termenung selama beberapa saat, kalut dengan perasaannya, sampai Haikal menepuk pundaknya dan membuatnya kembali sadar. "Yok, Ce. Udah ditunggu di rumah." Jisey mengangguk, lalu berpamitan pada dua orang di depannya.
Rasanya masih tercampur aduk. Harapan untuk membuat ayahnya kembali itu ada. Yang dulunya tidak mungkin, sekarang semakin tidak mungkin.
Lima menit perjalanan terasa seperti sekali kedip bagi Jisey. Tiba-tiba sudah sampai rumah, bahkan ia belum meminum minumannya sama sekali. Padahal tujuannya membeli minum agar kepalanya tidak meledak dengan emosi dan panas matahari. Tapi mendadak, dirinya merasa menjadi lesu terbayang kejadian yang baru saja ia lihat dan dengar beberapa saat lalu.
"Udah, Ce. Jangan nangis lama-lama. Nanti Mama lo ikutan sedih." Jisey terhipnotis akan ucapan Haikal, ia spontan menghapus air matanya sambil menatap Haikal yang kini sudah melepas helm-nya. Jisey tersenyum, memandang Haikal yang selalu ada bersamanya rasanya meneduhkan. Tak pernah terbayang di benak Jisey kalau ucapan Haikal
"Gue pulang, Ce. Hati-hati." Haikal mengangguk sebagai responnya pada Jisey. Seraya menghidupkan mesin motornya, ia langsung menarik gas untuk masuk ke rumahnya yang berada di sebelah tanpa menggunakan helm. Haikal sesekali menoleh ke belakang, memperhatikan Jisey yang sudah masuk dan menutup gerbang.
Jisey menarik nafas dengan dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan guna menenangkan dirinya. Ia tak ingin memperlihatkan diri kalau sedang menangis di hadapan ibunya, ya walau Jisey kurang yakin apa ibunya sudah berangkat ke tempat kerja atau belum.
Karena melihat dari mobil dan pintu yang tidak dikunci, Jisey berpikir ibunya pasti belum berangkat. Baru saja Jisey membuka pintu rumah dan mengucap salam untuk mencari keberadaan sang ibu, ia justru terkejut saat melihat ibunya yang tengah terisak sambil memasak di dapur.
"Mama?"
Sang ibu menoleh, menahan isakannya dan berusaha menggantinya dengan senyuman seteduh mungkin pada Jisey. Sarah menyodorkan nasi goreng yang telah ia masak sebelum Jisey menghubunginya tadi sebelum pulang sekolah. Jisey terus bertanya pada ibunya, mengapa ibunya terlihat menahan tangisan. Tapi, sang ibu justru terus mengalihkan topik dengan berbagai cara. Menanyakan keadaan Jisey di sekolah, apa yang Jisey lakukan seharian ini, bagaimana ulangan yang Jisey katakan beberapa hari lalu, dan yang lainnya.
Jisey menjawab semua pertanyaan sang ibu secara tanpa sadar hingga Jisey sendiri sampai lupa pada pertanyaannya. Lagipula wajah Sarah yang semakin tersenyum dan seolah melupakan raut wajah yang tadi Jisey lihat perlahan kian menghilang, tergantikan oleh binar mata yang selalu terlihat tertarik pada ceritanya.
Ibu yang selalu bersamanya, siap mendengarkan semua cerita suka dan duka nya, ibu yang selalu menemaninya hingga sampai saat ini. Haikal benar. Jisey sudah cukup dengan memiliki sang ibu. Walau rasa rindu pada ayahnya itu hadir, tapi rasanya menyakitkan saat melihat sang ayah yang sudah memiliki seseorang baru.
Dan yang terpenting, jika ibunya bahagia dengan saat ini, maka Jisey akan bahagia.
***
Siapa yg kangen tacendaaa🥺☝️
Makasih banyak semuanyaa, yang masih mau baca dan nungguin ini walau update nya gak nentu 🙇 kalian terbaaikkk❤️❤️❤️ have a nice day ol😻
Wml ngejar target update sebelum akhir tahun udah sampe part 35an walau besok aku uas huhu semangat yg masih/mau uas dan selamaatt yang udah liburan, have fun😻😻😻 good luck gais
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...