Sudah sejam lamanya Haikal menyumpal telinganya dengan alunan lagu yang mengiringinya selama perjalanan pulang dari Bedugul. Matanya tak ingin terpejam walau sudah Haikal paksa. Bahkan Jisey yang di sebelahnya saja sudah tertidur pulas bersandar pada jendela.
Walau sedang mendengarkan lagu, tapi Haikal selalu memperhatikan dua orang yang berada di bangku depan. Ayahnya yang menyetir, dan Tante Sarah yang menemani sang ayah mengobrol, maupun melayani sang ayah yang kalau haus atau ingin memakan sesuatu.
Tak bisa Haikal elak kalau ia bahagia melihat kedua orang di depannya ini bersama. Sangat bahagia. Benar kata Jisey, melihat ayahnya yang mungkin akan jauh lebih bahagia dari sekarang pasti akan membuat Haikal bahagia. Dan mungkin bisa ikhlas akan masa remajanya yang tengah menaksir Jisey.
Haikal melirik Jisey yang tengah tertidur sekilas, lalu menghela nafasnya, menghembuskannya seolah ia telah menyimpan beban yang sangat berat, walau memang itu benar. Memikirkan antara harus memperjuangkan Jisey, atau kebahagiaan kedua orang di depannya.
"Tante Sarah," panggilnya.
"Ya, Haikal?"
"Tolong bagi jajannya dong."
"Jajan yang mana?"
"Yang mana aja terserah."
Sarah langsung mengambil salah satu jajanan yang berada di kotak piknik mereka, sisa kemarin yang belum habis. Melihat snack pilihan yang dibeli Haikal kemarin belum dibuka, Sarah langsung memilih untuk mengambil snack keju itu.
"Ini Haikal yang milih, kan, kemarin?" Sarah bertanya seraya membalikkan badannya untuk menyodorkan Haikal sebungkus snack.
Haikal mengangguk sambil menerima bungkusan snack tersebut, lalu membukanya. "Tante Sarah mau?"
"Boleh deh. Gapapa nih?"
Haikal langsung terkekeh. "Gapapa kali. Kan memang untuk bagi-bagi."
Sarah lantas mengambil satu biji, dan memakannya. Matanya sedikit melebar dan menganggukkan kepalanya, setuju mengapa Haikal sangat menyukai jajanan ini. "Lain kali Tante mau beli ini, deh. Pantesan Haikal suka."
Haikal lagi-lagi tertawa dan melahap jajan itu ke dalam mulutnya. "Hati-hati, Tante. Ada tiruannya."
"Ekhem, supirnya gak ditawarin, nih?" Satria menyindir kedua orang yang asyik mengobrol di sebelah dan belakangnya, tapi Satria tak diajak.
"Biasanya juga tinggal ambil kali, Pa."
"Sekarang kan Papa nyetir, Ga. Aneh-aneh aja kamu kalau Papa asal nyomot."
"Oh, iya ya!" Haikal menertawai kebodohan dirinya sendiri. Lalu menyodorkan snack-nya pada sang ayah di depannya, membuat Satria sedikit menoleh lalu kembali menghadap depan dengan alis yang tertaut. "Papa lagi nyetir, gimana caranya ambil, Ga?"
"Halah, bilang aja mau disuapin," ledek Haikal. Ia mengambil sebiji dan menyuapkannya pada sang ayah. "Lagi?"
"Gak ikhlas banget kamu nawarinnya." Satria mengomel sedangkan Haikal hanya terkekeh melihat respon sang ayah. Ia lantas menyodorkan jajannya pada wanita yang duduk di kursi sebelah sang ayah.
"Tante Sarah, itu supirnya boleh tolong dikasi jajan dulu. Empat nyawa bergantung sama supir nih soalnya," ujar Haikal sambil sedikit bergurau pada Tante Sarah. Sarah hanya sedikit tertawa, sedangkan Satria rasanya ingin menoyor kepala Haikal jika kedua tangannya itu tidak sibuk di stir dan gigi mobil.
"Suapin dong, gimana coba lepasnya?" Satria menunjukkan seolah-olah kedua tangannya sibuk. Padahal tangan kiri dilepas sebentar juga bisa kok, dari tadi juga kayak gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...