Seperti biasa, jika kerjaan kantor sudah selesai atau tidak ada kepentingan untuk memantau para pekerja, maka Satria akan berpindah ke proyek kafe yang sedang ia kerjakan diluar itu. Walau kerjaannya untuk menghitung bangunan tersebut sudah selesai, tapi Satria tetap bertugas untuk mengawasi para pekerja untuk membangun bangunan bukti cinta Aska untuk istrinya.
Bisa dibilang Satria merasa santai jika bekerja. Karena jika pekerjaannya untuk menghitung sudah selesai, maka ia hanya akan bertugas untuk mengawasi para pekerja. Tapi memang tahap terpusingnya adalah saat menghitung itu. Harus tepat dan akurat. Jika tidak, bangunannya mungkin saja bisa tidak akan berdiri.
Para pekerja sibuk membangun kafe. Satria hanya memantau mereka yang sibuk bekerja, sambil sesekali mengobrol dengan rekan kerjanya.
Satria sedikit tersentak kala mendapati ada yang menudik punggungnya dengan satu jari, yang tentu itu bukanlah dari rekan kerjanya. Satria yakin karena jika memang iya, tidak mungkin mereka memanggil Satria dengan lucu seperti itu. Ia lalu menoleh, mendapati seorang perempuan dengan dress merah yang sedang mengulas senyuman sangat bahagia.
"Sarah?"
Wanita itu mengangguk, menyambut keterkejutan Satria dengan bahagia. "Kaget, ya?" tanya Sarah main-main.
Satria hanya tertawa ringan, karena jujur saja rasa bingungnya lebih besar dibanding rasa kagetnya saat melihat Sarah dengan pakaian dress diatas lutut datang ke proyek yang panas seperti ini.
"Kamu ngapain?" Giliran Satria yang bertanya penuh rasa heran.
Sarah menunjukkan cengirannya. Bukan berniat menjawab, Sarah mengalihkan pembicaraannya. "Kamu masih lama kerjanya?"
Satria memperhatikan sekitarnya sebentar, lalu kembali menatap Sarah. "Kenapa memangnya? Ini masih mantau, sih."
Sarah mengerucutkan mulutnya, bingung juga. "Masih lama?"
Satria lagi-lagi terkekeh. Berbicara dengan Sarah lama-lama tak akan ada habisnya jika selalu bertanya seperti ini. Ia lantas membuka helm serta jaket proyeknya, lalu kembali menatap Sarah. "Kita ngobrol di luar aja. Kasian kamu kepanasan di tempat proyek gini."
Sarah menyambut girang perkataan Satria barusan. Senyuman lebar langsung terulas di wajahnya. Siapapun tahu kalau Sarah sedang sangat berbahagia saat ini.
"Tunggu dulu. Saya mau naruh ini. Kamu tunggu aja di depan." Baru saja Satria akan melangkah, tiba-tiba sebuah tangan menarik pergelangan tangannya, membuat Satria berhenti dan memperhatikan sang pemilik tangan tersebut.
"Aku mau ikut, boleh, gak? Sekalian mau liat-liat aja, sih. Kayanya seru," ujar Sarah sambil menunjukkan cengirannya, berharap Satria akan mewujudkannya.
Satria memperhatikan Sarah dari ujung kepala sampai sepatu yang digunakan wanita itu. "Tapi kamu pake baju pendek, sepatu tinggi, Sar."
"Gapapa. Bisa, kok."
"Nanti kita ngelewatin sedikit pasir, loh."
Sarah tetap menggeleng. "Gapapa, Satria."
"Ngelewatin jalan berlubang yang becek, bebatuan, licin karena pasir, gak rata jalannya," tambah Satria memperkuat penjelasannya.
Sarah mendengkus seraya berkacak pinggang, "Gak sekalian bilang kita ngelewatin samudera sama pegunungan?"
"Saya ngomong serius loh,"
"Ya udah." Akhirnya, Satria mengalah kala melihat ekspresi Sarah yang kukuh. Lagi dan lagi, Sarah bahagia mendengar jawaban Satria. Tanpa harus mengulur waktu, Satria berjalan sedikit di depan Sarah. Sarah yang menggunakan high heels sedikit kesulitan melewati jalanan yang belum begitu rata, serta banyak pasir itu. Namun demi rasa penasarannya untuk mengikuti Satria, ia rela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...