Dering alarm dari ponsel memenuhi kamar yang hanya berisi meja kerja, lemari pakaian, serta kasur berukuran sedang. Sang pemilik alarm langsung terbangun, dan mengambil ponsel yang masih berada di dalam saku celananya.
Tadi malam Satria baru bisa tertidur sekitar pukul empat pagi, atau tepatnya dua jam yang lalu. Setelah mengantar Sarah ke klinik 24 jam terdekat, Satria tidak langsung pulang. Melainkan merawat Sarah terlebih dahulu. Setidaknya untuk menggendong Sarah yang lemas dan tak bisa berjalan dengan seimbang menuju kamar untuk beristirahat.
Sebenarnya Satria sedikit merasa lega karena Sarah hanya mengalami vertigo yang tidak begitu berat. Walau namanya tetap penyakit, sih.
Dengan nyawa yang masih terkumpul sedikit, Satria berjalan ke dapur, menyiapkan sarapan dan keperluan lainnya untuk hari ini. Untungnya sekarang hari Sabtu, jadi ia tak perlu repot mengurus Haikal yang akan pergi ke sekolah. Hanya bekerja. Tapi Satria berniat untuk sedikit datang terlambat, untuk menghampiri tetangganya yang sedang sakit terlebih dahulu.
Melihat Jisey yang kebingungan akan ibunya yang sakit membuat Satria merasa kasihan. Satria merasakan bagaimana bingung sekaligus sedihnya Jisey saat tahu kalau ibunya sedang sakit seperti ini, yang baru saja Satria ketahui dari Jisey kalau Sarah memang jarang sakit.
"Papa, Aga mau ke sebelah dulu, ya," kata Haikal sambil menuruni anak tangga, membuat Satria sedikit mengernyit bingung. Padahal ini masih jam setengah tujuh pagi di hari libur, dimana biasanya Haikal lebih memilih untuk menonton televisi atau lanjut rebahan. Sangat bukan Haikal.
"Ngapain?"
"Jisey minta tolong buat kasih surat ijin untuk Senin."
"Hm? Ngapain dia ijin?"
"Katanya mau rawat Tante Sarah."
Satria hanya mengangguk, lalu membiarkan Haikal pergi untuk berkunjung ke tetangga sebelah rumahnya.
"Bilangin nanti Papa bawain sarapan bubur ayam," pesan Satria dan dibalas acungan jempol oleh Haikal. Setelah berpamitan, dengan pakaian santai Haikal langsung meluncur ke tetangga sebelahnya. Untuk menghibur Jisey sekaligus mengambil titipan surat izin.
Tak memerlukan waktu lama untuk sampai di rumah yang hanya berjarak beberapa langkah, Haikal langsung masuk dan mengetuk pintu rumah Jisey.
Betapa terkejutnya Haikal saat melihat wajah Jisey yang terlihat berantakan dan lesu. "Kamu gapapa?"
Jisey menggeleng sambil berusaha mengulas senyuman. "Gapapa, kok. Cuma tidurku gak lelap aja."
Haikal mengangguk, lalu kembali menatap Jisey dalam-dalam. Begitu juga dengan Jisey, mereka saling bertatapan satu sama lain. Ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tapi seolah ada yang menahannya di tenggorokannya. Mereka tidak tahu bagaimana untuk menyampaikannya, pun tak ingin mengatakan yang sejujurnya.
"Haikal," Jisey memanggil lemah, menggantung kalimatnya di udara, yang sudah Haikal tunggu. "Gue takut."
Isakan langsung terdengar di antara mereka, membuat Haikal terkejut karena Jisey yang tiba-tiba menangis di hadapannya. Jisey menutup wajahnya dengan kedua tangan, yang langsung membuat Haikal panik bukan kepalang. Bagaimana Jisey bisa tiba-tiba menangis seperti ini? Di depan rumah pula.
"Eh? Eh, jangan nangis, Ce. Lo kenapa? Aduh, ayo masuk dulu," ajak Haikal sambil menuntun Jisey untuk masuk ke dalam, mendudukkannya di sofa yang biasa ia duduki saat berkunjung ke rumah Jisey.
"Lo kenapa?" Haikal bertanya sambil mengelus lengan Jisey sesaat, berharap semoga Jisey bisa menjadi lebih tenang dengan usapan yang biasa ayahnya berikan kala dirinya merasa lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...