48. Wondering

18 4 0
                                    

"Gue bahagia banget lo ke sini! Tapi sayang sedang ada om sama tante gue, jadi gak bisa pergi." Melia berkata sambil menaruh tasnya di meja kamarnya. Sepulang sekolah memang paling enak jika kita bermain bersama teman terlebih dahulu, dibanding harus pulang dan kembali seperti merasa kesepian. Apa lagi Jisey di rumah memang sendirian. Mama yang kerja, sehari-hari hanya ditemani oleh televisi. Mumpung Haikal juga berniat ke rumah Yoyo, lebih baik ikut ke rumah Melia yang di dekat sana.

"Memang kenapa, Mel?"

"Gapapa, sih. Cuma, ya, gak enak aja ada tamu, maksudnya mereka. Tapi mereka sedang keluar, sih."

"Bisaan aja." Jisey hanya terkekeh, begitu juga Melia yang otomatis mengeluarkan tawanya karena sudah seolah seperti menggombali Jisey.

"Btw Haikal ngapain ke rumah Yoyo? Mau gue anter pulang aja, gak?"

Jisey menggeleng. "Gak usah. Lagian rumah Yoyo gak jauh. Sekali-sekali repotin Haikal," katanya sambil sedikit tertawa.

"Sekali-sekali lama-lama jadi bukit," timpal Melia yang membuat Jisey tertawa, membenarkan ucapan sahabatnya itu.

"Mel, gimana rasanya punya sodara cowok?"

Melia sedikit terjengit karena mendengar pertanyaan Jisey yang tiba-tiba terdengar seperti orang yang tidak semangat.

"Ya, biasa aja, sih. Lagian Yoyo bukan saudara kandung gue."

"Gak semua orang sama, Ce." Melia menambahi.

"Gak semua kelakuan saudara tuh sama. Contohnya, Yoyo yang kelakuan kayak setan tapi kadang berjiwa malaikat." Melia kembali menambah penjelasan.

"Malaikat pencambut nyawa?" Jisey bertanya main-main sambil tertawa.

"Nah, itu tau," balas Melia bercanda, namun ia melambaikan tangannya di udara sebelum kembali berbicara. "Gak, Ce. Bercanda. Setiap orang, kan, beda-beda. Yoyo emang kampret, tapi masih ada sisi kesaudaraannya, walau sedikit, cuma segini." Melia berkata sambil mendekatkan kedua jarinya, menunjukkan betapa sedikitnya rasa persaudaraan Yoyo.

"Tapi, gue gak tau lagi kalau Haikal. Bisa jadi sisi setannya yang sedikit," lanjutnya.

"No one knows."

"Yes, yes, no one knows, tapi, kan, seenggaknya bisa diliat dari kesehariannya."

"Pokoknya!" Melia kini berseru menggantung di udara, membuat Jisey sedikit terkejut sampai ia menatap Melia dengan heran. Walau sudah tidak heran dengan sikap Melia yang seperti ini, tapi tetap saja terkejut sekaligus kebingungan.

"Lo gak bisa selamanya awkward gini. Gue tau, Haikal sama Papanya itu orang baru di hidup lo. Orang baru yang tiba-tiba malah masuk ke kehidupan lo sama Tante Sarah...,"

"Mereka gak sebaru itu juga, Mel. Gue ngerasa deket sama mereka, sebelum ini."

"That's it, Jisey-ku yang tercantik! Gue mungkin gak bisa maksa lo bersikap seolah semuanya gak apa-apa di depan kedua cowok yang baru di hidup lo itu. Tapi dengan lo nerima keadaan, semuanya pasti bisa bakal baik-baik aja. Lo sekarang ngerasa kurang deket itu, ya, karena mereka juga jaga sikap sama lo. Mereka tau lo belum nyaman."

"Gitu?" Jisey bertanya dengan polos, membuat Melia yang sudah menjelaskan panjang lebar langsung melotot.

"GITU?! 'Gitu?' lo bilang?!"

Jisey hanya tertawa, sedangkan Melia berusaha menahan kesabarannya. Justru dalam pertemanan mereka, yang sering membuat emosi adalah Jisey, sedangkan Melia tim yang harus banyak bersabar. Jisey yang menerima apa adanya, Melia yang emosi karena tidak tahan dengan sikap Jisey seperti itu.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang