46. Been trying

14 4 0
                                    

Rasanya sangat nyaman sekaligus hangat saat dikelilingi oleh orang-orang tersayang. Orang-orang tepat yang terasa seperti rumah. Seperti sekarang, rasanya Haikal sangat aneh sekaligus merasakan hal baru yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ada rasa hangat yang menjalar ketika ia melihat meja makan terisi penuh dengan empat orang. Sudah sejak sebulan ini mereka selalu tinggal bersama, makan bersama, menghabiskan waktu bersama-sama. Tapi bagi Haikal dan Jisey, ini tetap saja aneh.

Memiliki rumah yang berdampingan membuat mereka tak perlu kesusahan untuk memikirkan salah satu rumahnya, karena mereka tetap menempati kedua rumah itu. Namun memang, untuk saat ini mereka tinggal di rumah Satria.

Sebenarnya Satria tak keberatan dimanapun ia tinggal, tetapi ini juga rumah dari kantornya, untuk dirinya. Selagi ia masih bekerja di kantor sekarang, Satria setidaknya harus menempati rumah dinasnya. Tidak ditempati pun sebenarnya gak masalah. Karena rumah ini hanya bantuan dari kantor saat Satria tak memiliki tempat tinggal di sini. Apalagi tanggungan listrik dan air juga ditanggung kantor.

Mau bagaimanapun juga, rumah yang sudah Sarah tempati selama ini adalah hasil jerih payahnya sendiri. Walau Sarah tak keberatan, tapi Satria merasa ia tak begitu berhak menempati rumah itu.

Walau memang, perjanjian mereka sebelum menikah adalah tidak memikirkan hal yang lalu, tapi untuk membeli tanah di kawasan Denpasar tidaklah mudah dan murah, Satria paham hal itu.

"Besok udah sekolah, ya?" Sarah membuka pembicaraan, seraya menatap kedua anaknya yang tengah menyantap buah semangka sebagai penutup makan malam hari ini.

"Udah, Ma." Jisey menjawab, lalu kembali memasukkan sepotong semangka ke dalam mulutnya.

"Aga juga?" Satria bertanya beralih menatap anaknya yang hanya diam sambil menatap Jisey dan Sarah secara bergantian.

"Iya, Pa."

Satria mengangguk. Ia ingin berbicara lebih, bertanya mengenai banyak hal pada anaknya. Tapi ia urung. Pasalnya, setelah menyatukan dua keluarga, Satria merasa Haikal menjadi sedikit lebih pendiam. Walau ia masih menjadi anak yang terlihat seperti sebelumnya, tapi Satria tahu, ada yang berbeda dari anaknya itu.

Satria sudah mengenal Haikal bahkan sejak ia belum terlahir di dunia ini. Tidak mungkin Satria tak menyadari perubahan besar dalam diri anaknya itu.

"Aga." Tiba-tiba Satria memanggil dengan raut yang datar, membuat tiga pasang mata menoleh kepadanya. Raut wajah sang ayah memang datar, tapi mereka bisa paham kalau wajah itu tengah menyimpan pikiran yang tak bisa dikeluarkan.

"Kamu masih gak bisa manggil Tante Sarah sebagai Mama?" Sarah menatap Satria dengan terkejut, ia sedikit mendorong kaki Satria yang duduk di sebelah kursinya untuk mencegah Satria, memberinya kode sesuai perjanjian mereka untuk tidak memaksa satu sama lain. Namun dalam hatinya, Sarah juga menunggu jawaban.

Pertanyaan itu. Pertanyaan yang sangat Haikal hindari. Tak pernah ada nada paksaan dari pertanyaan sang ayah, tapi entah kenapa setiap ditanya seperti itu, Haikal merasa tertekan. Dulu, saat awal pernikahan, ayahnya itu pernah bertanya mengenai hal yang sama. Tapi, alasannya adalah karena Haikal perlu waktu. Walau ia memang bahagia Tante Sarah kini adalah ibunya, tapi Haikal masih belum terbiasa. Rasanya sulit. Lebih sulit dari bayangannya.

Ternyata Tante Sarah saat menjadi sosok ibu dan Tante Sarah saat sudah menjadi ibunya itu berbeda. Dua hal itu sangat berbeda di kehidupan Haikal.

"Aku masih perlu waktu untuk terbiasa. Aku bukannya gak ngakuin hubungan kita yang sekarang atau gak hargain, tapi aku belum bisa manggilnya, Pa." Haikal menghela napasnya. Rasanya kembali memusingkan, sekaligus tidak enak. "Maaf."

Sarah tersenyum, memberikan ketenangan yang bisa Haikal rasakan itu. "Gapapa. Gak usah dipaksain."

Haikal hanya tersenyum simpul kepada Sarah, ibunya. Wanita itu memang baik. Bahkan selalu sangat baik, tidak pernah berubah. Tapi rasanya masih tidak bisa dipercaya, kalau sosok yang menjadi ibu dari gebetannya kini malah menjadi ibu tirinya.

"Berusaha ya, Ga." Haikal hanya membalas ucapan Satria dengan senyuman serta anggukan kecil.

Sarah lantas beralih menatap Jisey, dan yang ditatap langsung mengalihkan pandangannya, berpura-pura menyibukkan diri dengan makanan di depannya. Jisey tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.

Target pertanyaan selanjutnya, pasti dia.

"Kalau Jisey?"

Kan. Benar dugaan Jisey.

"Hm?"

"Ice juga belajar, ya. Sekarang kita udah jadi keluarga. Ice gak keberatan?"

Jisey tersenyum, seraya menganggukkan kepalanya. Mau bagaimanapun, Mamanya benar. Mau tidak mau, pria yang dulu hanyalah sekedar ayah dari temannya, kini sudah menjadi ayahnya juga. Jisey harus belajar terbiasa. Setidaknya untuk menghargai Satria.

"Kalian seumuran. Mama sama Papa cuma berharap kalau kalian bisa selalu akur dan dukung satu sama lain, sebagai saudara." Sarah kembali berujar, membuat Jisey dan Haikal mau tidak mau hanya bisa menganggukkan kepala dan mengiyakan permintaan sang ibu.

Satri beranjak dari kursi, diikuti oleh Sarah yang hendak mencuci piringnya. Sedangkan kedua anak mereka, hanya diam dan saling menatap, seolah berbicara melalui tatapan itu.

Yoyo benar, penyesalan akan selalu datang di akhir. Kini, Haikal mengakui kalau sekarang, ia menyesal. Lebih tepatnya, masih menyesal. Menyesal karena sempat memilih untuk mengejar perasaannya kepada Jisey. Karena pada akhirnya, di saat mereka sudah saling jatuh, semuanya malah dibalikkan oleh kenyataan.

Mungkin jika ia tidak mengejar Jisey saat itu, kenyataan ayahnya akan menikah lagi bukanlah suatu hal yang bitter sweet baginya. Melainkan momen terbahagia dalam hidupnya, karena ia bisa kembali melihat sang ayah seolah terlihat lebih hidup.

Atau mungkin, takdirnya memang begini? Ia memang harus memilih, di antara perasaan, atau melihat sang ayah bersama pendamping hidup baru. Namun tragisnya, kedua hal itu sama-sama membuatnya bahagia. Kedua hal seperti itu bahkan tidak pernah ada di dalam bayangan Haikal selama ini.

Dan di sini lah akhirnya. Haikal memilih opsi kedua. Ia memilih untuk mengorbankan perasaannya. Itu juga atas saran dari orang yang Haikal sukai.

Terkadang, saran Jisey memang ada benarnya. Mereka masih terlalu dini jika harus memperjuangkan hubungannya. Bahkan mereka juga belum tau pasti, apa artinya memperjuangkan suatu hubungan. Atau lebih tepatnya, apa itu hubungan sepasang kekasih?

Bisa saja kalau perasaan mereka hanya cinta monyet belaka?

Dan menurut Haikal, pun Jisey, di antara Satria dan Sarah, bagi dua orang yang sudah menjalankan hidup selama ini, pasti tidak ada yang namanya cinta monyet. Maka, akan lebih baik jika kedua orang dewasa itu yang memulai suatu hubungan, dibanding hubungan yang berumur tidak pasti seperti Haikal dan Jisey.

Tentu, mereka harus menyembunyikan perasaannya satu sama lain terhadap orangtuanya. Jika tidak, pasti kedua orang dewasa itu akan mengalah pada saat mereka menentang hubungannya.

Mengungkapkan sekarang pun tak ada gunanya. Dua orang sudah menjadi satu, ikatan pernikahan di antara mereka tidak mungkin terputus hanya karena anak yang pernah menyukai satu sama lain.

Atau tepatnya, masih menyukai.

×××

Haikal sayang Jisey dengan ngikutin saran Jisey, ngorbanin perasaannya, demi kebahagiaan papanya. Paham gak tipikal love language nya Haikal ini apa?😥

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang