Izin dua hari dari sekolah membuat Melia merasa sedikit rindu dengan suasana sekolah, terutama dengan sahabat kesayangannya, Jisey. Maka dari itu, sepulang sekolah, Melia berniat untuk mengajak Jisey ke sebuah pusat perbelanjaan yang biasa ia kunjungi. Tanpa membeli sesuatu, hanya menonton film dan mencari makan.
"Sumpah, Ce, lo harus tau betapa kangennya gue sama lo," oceh Melia yang hari ini sudah Jisey dengar ribuan kali. Dari pagi di sekolah, sampai sore di mall, Melia tak henti-hentinya mengucapkan itu. Padahal mereka hanya tidak bertemu dua hari, belum dua abad.
"Lo ngomong lagi sekali dapet piring cantik, Mel."
"Gue kangeeeeeen banget sama lo, Jiseeyyyy!" seru Melia dengan sedikit meninggikan nadanya. Masa bodoh dengan banyak tatap mata yang memperhatikannya.
"Mana piring cantik gue, Ce? Lumayan buat Mama gue." Jisey menoyor kepala Melia, dan yang ditoyor hanya bisa tertawa tanpa rasa bersalah.
Berkeliling tanpa tujuan memang hal yang biasa mereka lakukan. Hanya mampir ke setiap toko untuk melihat-lihat, lalu pergi dengan tangan kosong. Jika masuk ke dalam mall, paling keluar dengan makanan atau camilan.
"Ce, katanya di lantai tiga ada promo novel, gas, yuk?" ajak Melia dengan sangat bersemangat. Tak ingin menolak, Jisey langsung mengangguk dengan semangat. Lagipula, ia juga sedang mencari sebuah buku. Kali aja itu lagi promo juga.
Setelah sampai di tempat yang berisi kumpulan buku yang ditaruh di atas meja dan rak, Jisey dengan sangat antusias melihat berbagai judul buku tersebut, begitu juga dengan Melia.
Jika Jisey menyukai buku bergenre fantasi, maka Melia menyukai buku bergenre romantis. Sudah biasa jika mereka terpisah di toko buku karena memiliki selera genre yang berbeda. Tapi mereka juga tahu dimana salah satu berada.
Jisey memperhatikan setiap jajaran buku genre fantasi di depannya. Ada berbagai buku yang Jisey ingin beli, tapi belum tersampaikan karena uang yang belum memberinya takdir untuk membelinya. Ibunya juga selalu membiasakan Jisey untuk membeli apa yang ia inginkan dengan uang tabungannya sendiri, agar ia bisa belajar menabung dan menyisihkan antara keperluan dan keinginan. Tapi Sarah juga pasti sesekali membelikan apa yang anaknya inginkan, karena itu juga bisa membuatnya bahagia.
Sesaat Jisey sedikit tersentak karena mendapati namanya dipanggil dari sebelah kanan saat asyik membaca salah satu sinopsis novel buku fantasi yang ada di tangannya. Jisey mengernyit bingung, ia tak mengenal pria di sebelahnya ini, tapi pria itu terlihat sangat mengenal dirinya.
"Iya?"
Pria itu tersenyum dengan ramahnya, justru membuat Jisey semakin kebingungan, pun ketakutan.
"Kamu mau beli yang mana? Biar Papa yang beliin."
Lagi dan lagi, Jisey semakin mengernyit bingung mendengar apa yang diucapkan pria di depannya ini. Bukannya Jisey ingin menuduh yang tidak-tidak, tapi dari pakaian yang dikenakan orangtua di depannya ini, sepertinya beliau bukanlah orang dengan gangguan jiwa sampai salah memanggil dirinya sebagai 'Papa' kepada Jisey. Walau hanya menggunakan kemeja dan jeans, tapi Jisey bisa melihat kalau itu pakaian yang mahal dan berkelas.
Melihat Jisey yang kebingungan, pria itu kembali bersuara, masih dengan senyuman yang ia tampilkan. "Kamu lupa ya sama Papa?"
Jisey hanya bisa mengerjapkan matanya mendengar perkataan orangtua di depannya ini yang terlihat sangat percaya diri. Walau Jisey tak tahu itu benar atau bukan, tapi perasaannya otomatis merasa hancur. Ia merasa lemas, masih tak percaya dengan apa yang didengar barusan.
"Papa?" beo Jisey tak percaya. Jeffan mengangguk. Jika Sarah tak bisa kembali padanya, maka Jeffan harus bisa membuat Jisey kembali padanya.
Seluruh memori Jisey akan masa lalunya kembali mendatanginya, baik yang bahagia maupun tidak. Dari Jisey kecil yang bermain dengan sang ayah, menghabiskan waktu bertiga, sampai memori terakhirnya mengenai sang ayah yang memukul ibunya. Jisey kecil tak tahu apa penyebabnya, bahkan sampai sekarang. Ibunya tak pernah memberitahu, dan Jisey sebenarnya sudah tak mengingatnya. Tapi kedatangan pria di depannya ini kembali membawanya mengingat kejadian itu.
"Maaf, saya permisi," ujar Jisey sambil mengulas senyuman paksanya. Ia tidak boleh langsung mempercayai apa perkataan orang di depannya ini, yang notabenenya adalah orang asing. Setidaknya untuk saat ini. Lagipula, siapa juga yang bisa langsung percaya saat tiba-tiba seseorang yang tak kita kenal mengaku sebagai ayah disaat sudah tidak bertemu belasan tahun?
Bahkan Jisey sendiri tak begitu ingat bagaimana rupa wajah ayahnya dulu.
×××
Karena kecelakaan ringan yang dialami Haikal beberapa hari lalu, kini Satria jadi selalu mengantar jemput Haikal, sekaligus Jisey. Selagi bisa, Satria akan mengantar Haikal dalam waktu dekat ini. Satria masih belum begitu yakin untuk membiarkan Haikal membawa motor lagi, dan luka di tangan dan kakinya itu juga belum sepenuhnya sembuh.
Dari pada harus dihantui rasa khawatir pada anak semata wayangnya, Satria memilih untuk mengorbankan jam kerjanya selama beberapa saat. Walau terkadang Sarah yang menggantikannya untuk menjemput Haikal jika ayah dari satu anak itu sedang tidak bisa menjemput.
Sebelum pulang, mereka bertiga memilih untuk pergi ke sebuah supermarket yang dilewati terlebih dahulu, soalnya stok frozen food-nya Haikal udah habis.
Selagi kedua anak remaja di depannya sibuk memilih ini dan itu, Satria memilih untuk mengecek ponselnya, siapatau ada sesuatu yang penting dari kerjaannya.
Sedangkan Jisey dan Haikal, mereka sibuk memperhatikan berbagai jenis frozen food di freezer supermarket tersebut. Sesekali mereka memperdebatkan merk mana yang lebih enak, mana yang lebih bergizi.
"Lo liat, ini lebih banyak kandungan gizinya, Haikal! Enggak tepung doang," kata Jisey sambil menunjuk bagian info gizi di kemasan nugget yang sudah ia pilih.
"Ya tepung juga ada gizinya kali," sahut Haikal tak terima.
"Tapi lo, kan, sedang sakit. Jadi mau gak mau emang harus makan yang bergizi!"
"Gue luka doang, anjir! Bukan sekarat, Ce."
"Tapi, kan, lo tetep harus makan makanan yang bergizi, Aga!"
Bahkan sampai matahari terbit sekian kali pun, perdebatan mereka tak akan ada hentinya. Jika Satria tidak datang dan melerai kedua remaja itu, maka mereka tak akan menemukan titik ujungnya.
Karena Satria menyuruh mereka untuk membeli keduanya.
"Om, Jisey mah gak usah. Masih ada banyak di rumah," tahan Jisey saat Satria dari tadi memaksanya untuk ikut membeli frozen food.
Tapi jawaban Satria selalu "Gapapa, expired-nya masih lama."
Mau tidak mau, akhirnya Jisey juga ikut membelinya. Hitung-hitung juga menghemat pengeluaran, jadi ya gapapa, lah. Jarang-jarang juga ia bisa membeli nugget dari luar.
"Mau es krim?" tawar Satria saat akan pergi ke kasir.
"Gak ah, kayak anak kecil aja, ditawarin es krim kalo habis berantem," sahut Haikal.
Satria langsung menoel pipi Haikal dengan gemas, "Ya memang kamu masih kecil."
Satria lantas menoleh ke arah Jisey yang berada di sebelah Haikal, "Kalau Jisey mau es krim, nggak?"
"Boleh, Om?"
"Ya kalau gak boleh, ngapain juga ditawarin," sewot Haikal.
"Kalau mau, beli aja," jawab Satria dengan mengabaikan anaknya yang sudah mode julid.
Begitu juga dengan Jisey yang mengabaikan jawaban Haikal, ia langsung menghampiri tempat dimana kumpulan es krim berada. Tak bisa dielak jika es krim memang makanan yang paling cocok untuk meredakan emosi Jisey kala berdebat dengan Haikal tadi.
Diikuti oleh Satria dan Haikal, Jisey sibuk memperhatikan satu persatu jajaran es krim yang akan ia pilih di sana. Jisey memilih untuk membeli es krim dengan kisaran harga yang normal, yang biasa aja. Lagian ini ditraktir sama orang lain, Jisey gak mungkin ngelunjak minta beli yang mahal. Yang penting itu es krim, rasa dingin dan manis itu saja sudah cukup bisa menghilangkan emosinya pada Haikal.
"Kayak bocil aja beli es krim abis berantem," cibir Haikal yang langsung mendapat jitakan dari Satria.
"Huss! Aga, gak boleh gitu. Kamu juga gengsi banget mau beli es krim aja." Haikal hanya tertawa, meledek Jisey kan memang sudah menjadi hobinya.
×××
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...