42. Ekor Satria

12 5 0
                                    

Hempasan angin yang cukup kencang menerpa tubuh kedua remaja yang tengah berdiri menunggu pesanan thai tea mereka selesai. Walau belakangan ini cuaca sedang sangat berangin, tapi sinar matahari masih bersinar sangat terik di atas sana, udaranya masih menunjukkan suhu tinggi. Maka dari itu, membeli minuman dingin di saat pulang sekolah adalah kenikmatan tiada tara. Terutama bagi Haikal dsn Jisey sekarang.

Selagi menunggu, Haikal dan Jisey bersama pembeli lainnya hanya memperhatikan sang penjual yang sibuk menyeduh teh di balik kaca yang menghalangi mereka.

"Jisey, Papa sama Tante Sarah udah tunangan?" Haikal bertanya dengan sedikit berbisik. Jujur saja, saat melihat Tante Sarah dan ayahnya yang saling menggenggam tangan, ada satu hal yang menarik perhatian Haikal. Yaitu sebuah cincin yang tersemat di jari kedua orang tersebut.

Cincin itu terlihat asing di mata Haikal. Sepertinya ia tak pernah melihat ayahnya menggunakan cincin itu. Boro-boro cincin, perhiasan lain aja kayaknya gak pernah. Maksimal cuma jam tangan.

"Tau dari mana?" Jisey balik bertanya.

"Waktu itu gue liat ada cincin yang kayanya gue gak pernah liat Papa pake itu. Dan kalau gak salah liat juga, Tante Sarah pake yang sama."

Jisey menghela nafasnya. "Mungkin iya, Kal. Tau sendiri Mama sama Om Satria makin hari kayak makin keliatan orang pacaran."

"Pacaran orangtua beda ya, langsung tancap gas." Haikal menggumam. Walau rasanya masih menyedihkan dan menyakitkan, tapi melihat kebahagiaan sang ayah rasanya bisa mengurangi kepedihannya untuk merelakan perasaannya.

Tak bisa dielak kalau Haikal terkadang masih suka berandai-andai mengenai dirinya bersama Jisey. Pertanyaan 'bagaimana' dan 'mengapa' selalu muncul di dalam benaknya. Bagaimana jika mereka masih tetap memperjuangkan perasaannya? Mengapa takdir seperti ini harus terjadi kepadanya?

"Gak langsung tancap gas juga, Kal. Justru mereka yang mikirnya lebih jauh, gak kaya bocil yang liat cewek cantik dikit langsung dipacarin." Haikal diam. Memang benar apa yang Jisey katakan. Ayahnya itu pasti berpikir matang-matang, apalagi tidak mungkin sang ayah langsung memilih Tante Sarah hanya karena keinginannya saja. Begitu juga Tante Sarah.

"Atas nama Haikal." Obrolan mereka terhenti kala mendengar namanya dipanggil, tanda pesanan mereka telah siap untuk dibawa pulang.

Tak ingin mengulur waktu lagi, setelah mengambil dua gelas thai tea sesuai pesanan, mereka langsung kembali melanjutkan perjalanan untuk pulang.

Sekitar lima belas menit perjalanan, akhirnya tiba di tujuan, yakni rumah Jisey. Haikal hanya menurunkan Jisey di depan gerbang, karena ia memang berniat untuk langsung membersihkan diri.

Apalagi melihat sang ayah yang kini sudah pulang dari kantor kembali membuat rasa penasaran Haikal muncul. Mengenai cincin itu, Haikal masih penasaran.

Diam-diam ia senantiasa memperhatikan jemari manis Satria yang tertaut sebuah cincin. Mulai dari ayahnya yang menyeduh kopi, sampai ayahnya yang tengah menyapu halaman. Bola mata Haikal tak bisa lepas dari jari manis Satria yang tersemat cincin.

Rasanya penasaran, ingin bertanya langsung pada ayahnya dan mendapatkan jawaban langsung dari sang ayah, tapi masih takut dengan kenyataan. Bagaimana kalau hubungan ayah dan Tante Sarah memang sudah sejauh itu?

Rasanya masih sesak.

"Kenapa, Ga?"

Haikal tersentak, tersadar dari lamunannya kala mendapati panggilan dari sang ayah yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

"Hm? Gak apa-apa tuh. Cuma liat-liat jalanan aja."

"Gak mau bantuin nyapu?" Satria bertanya. Pertanyaan menjebak. Mau ditolak, tapi rasanya durhaka banget. Tapi kalau nerima, Haikal juga lagi gak pingin nyapu. Pikirannya masih teralihkan di cincin Satria.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang