06. How about him?

41 13 9
                                    

Memiliki tetangga yang ramah dan selalu bertegur sapa adalah salah satu keberuntungan bagi Satria. Setelah berpengalaman pindah kesana kemari hampir mengelilingi Indonesia, tak jarang Satria memiliki tetangga yang jarang bertegur sapa. Lebih tepatnya karena mereka sering sibuk sendiri, tanpa memperdulikan hubungan tetangga.

Terkadang Satria heran, mereka yang jarang menyapa dirinya, apa karena takut membuat sang suami khawatir? Pasalnya Satria yakin, sangat yakin, kalau dirinya memang masih tampan. Atau setidaknya bisa menarik perhatian para perempuan di luar sana. Tak jarang ada perempuan yang mendekati Satria. Justru Satria pernah hampir menjadi selingkuhan dari rekan kerjanya dulu. Untung gak jadi, karena tak lama dari itu, Satria dipindahkan ke proyek lain.

Sebenarnya Satria sedikit canggung saat menerima sikap dari para tetangga di sini yang sangat ramah kepadanya. Terlebih lagi dengan Sarah, tetangga rumah sebelahnya.

Jujur saja, Satria takut jika Sarah menjadikan dirinya sebagai selingkuhan. Mengingat Satria juga tak pernah melihat suami Sarah, Satria jadi was-was sendiri. Bagaimana jika suaminya nanti salah paham akan kedekatan dirinya dengan Sarah? Belum lagi kalau tetangga lain mendengar kedekatan mereka. Kalian pernah dengar ungkapan kalau mulut tetangga kecepatannya lebih kilat dibanding cahaya, dan lebih pedas dari cabai? Bagi Satria itu memang benar.

Tapi semua pikiran itu sirna setelah melihat sikap ramah yang Sarah tunjukkan kepada dirinya dan tetangga lainnya ternyata sama. Maka, Satria tahu bahwa ini adalah memang sikap Sarah yang selalu ramah kepada orang lain.

Satria tak tahu bagaimana latar kehidupan Sarah, dan Satria tak ingin tahu. Yang Satria pikirkan hanya putra semata wayangnya, Haikal. Masa depan dan kebahagiaan Haikal adalah hal yang harus Satria pikirkan.

Dan sekarang, berkat sifat pelupanya, Satria jadi melupakan cara untuk membayar SPP bulanan Haikal. Waktu itu, sekolah memberinya keringanan waktu selama dua minggu untuk membayar SPP, karena Satria baru tahu kalau SPP hanya bisa dibayar melalui bank daerah.

Satria tak tahu itu di mana, dan harus bagaimana. Satu-satunya cara adalah bertanya pada orangtua teman Haikal. Dan satu-satunya orang yang Satria kenal adalah Sarah. Satria tak mengenal orangtua lain selain orangtua Jisey.

Untungnya Sarah dengan sedia membantu Satria. Seperti sekarang, Sarah sudah mengantar Satria ke tempat di mana mereka bisa membayar tunjangan bulanan sekolah anaknya.

"Makasih banyak, ya, Bu, udah ngerepotin."

Sarah tersenyum sambil mengangguk dengan ramah, "Gak apa-apa, Pak."

Dalam perjalanan pulang, masih tak ada obrolan yang tercipta diantara mereka. Hanya sedikit sesi tanya jawab seputar lingkungan rumah dan sekolah anak mereka.

Walau merasa canggung, tapi mereka berdua merasa lebih nyaman seperti ini. Dari pada harus bersikap seperti seseorang yang akrab, lebih baik jika mereka menunggu ada topik yang harus dibicarakan.

Memang sih, mereka berdua pernah semobil berdua beberapa kali. Tapi itu bukan berarti mereka sedekat itu. Hanya saja, Satria yang terkadang tanpa sengaja bertemu dengan Sarah di toko tempat ia belanja, memilih untuk memberinya tawaran untuk pulang bersama. Mengingat rumah mereka hanya bersebalahan. Satria melakukan ini bukan modus, ini hanya hal sederhana yang biasa Satria lakukan dengan sesama manusia, apalagi sama tetangga sebelah rumah sendiri.

Hitung-hitung sih karena Sarah juga orangtua dari Jisey, jadi kali aja siapatau Sarah bisa jadi lebih membantunya dalam menangani urusan sekolah Haikal, seperti tadi.

"Bu Sarah kalau boleh tau udah sejak kapan, ya, tinggal di sana?" ucap Satria membuka percakapan. Sebenarnya ia juga kepo seberapa lama Sarah sudah tinggal di sana, soalnya Sarah terlihat sudah sangat akrab dengan para tetangga, dan bahkan para pedagang gerobak yang lewat sekitar rumah mereka.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang