Setelah mendapat kabar kalau anak semata wayangnya telah mengalami kecelakaan ringan, Satria buru-buru pulang ke rumah, meninggalkan pekerjaan yang untungnya bisa ditinggal lebih awal.
Sarah yang baru mengabari Satria melalui panggilan video hanya bisa tertawa melihat interaksi antara bapak anak tersebut. Satria yang panik sendiri, dan Haikal yang hanya mengiyakan sang ayah.
"Papa kamu emang kayak gitu, ya?" tanya Sarah sembari memberikan Haikal segelas air untuk diminum.
Tanpa menolak, Haikal menerima gelas tersebut sambil mengangguk. "Aku lecet dikit, Papa bisa panik berhari-hari, Tan."
"Ya maklum, Haikal. Kamu kan satu-satunya yang papa kamu punya."
Setelah selesai habis meneguk beberapa teguk air, Haikal kembali berbicara. "Sebenarnya juga karena Papa suka lupaan, Tan. Kadang Papa lupa kalau aku habis luka."
Sarah tertawa, "Papa kamu sedang banyak pikiran berarti."
Disaat seru tertawa dan mengobrol berdua, Jisey menuruni anak tangga sambil membawa handuk, melihat siapa tamu yang datang sampai suara obrolan mereka masuk ke kamarnya.
"Loh? Haikal?" Haikal menoleh, begitu juga dengan Sarah yang berbalik melihat anaknya yang sedang kebingungan.
"Udah ngembaliin piring ya lo?"
"Bukan, Ce. Tadi Mama tawarin ke sini, buat obatin lukanya."
Raut wajah yang tadinya datar langsung berubah menjadi sedikit khawatir sekaligus panik. Ia lantas mendekati Haikal untuk mengecek keadaan fisik tetangga seumurannya itu. "Luka apa?"
"Gapapa, tadi jatoh doang di jalan."
Jisey menggelengkan kepalanya dengan heran, "Makanya, kalau naik motor tuh pelan-pelan. Jangan sok kayak jadi Valentino Rossi."
"Temennya abis jatuh kok malah kamu gituin, sih, Ce," tegur Sarah dengan santai.
"Bandel, Ma, soalnya."
"Dari Hongkong!" cibir Haikal tak terima. Jisey lantas menatap Haikal dengan remeh, "Lah, kan, bener lo katanya dari Hongkong?"
Haikal hanya memainkan mulutnya tanpa suara, mengejek Jisey yang membuat wanita itu harus menahan emosi.
"Udah, udah. Mama tinggal dulu, ya. Kalian di sini dulu," ujar Sarah lalu beralih menatap Haikal. "Haikal malemnya mau makan apa?"
"Eh? Gak usah, Tante. Paling nanti Papa bawain martabak."
"Martabak kan bukan nasi." Haikal hanya cengengesan mendengar sanggahan Jisey. Sebenarnya ia juga bingung mau jawab apa.
"Apa aja deh, Tante. Haikal pemakan segala, kok," sahut Haikal akhirnya. Sarah mengangguk, dan berpamitan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Kalau gitu lo makan batu aja gih," decak Jisey sambil mendudukkan dirinya di sebelah Haikal.
"Judes banget, sih? Lagi sakit nih gue."
Jisey hanya mengerlingkan bola matanya dengan sabar. Walau begitu, ia juga turut khawatir dengan keadaan Haikal. Terlihat dari beberapa luka merah serta perban yang menutupi lukanya, Jisey jadi ikut merasakan betapa ngilunya.
"Tapi lo gapapa, kan?" tanya Jisey tanpa mengalihkan pandangannya dari luka di tangan dan kaki Haikal.
"Aman. Nyawa gue ada banyak."
Jisey mendesis dan secara otomatis memukul lengan Haikal. "Aw! Sakit, nyet!" Jisey spontan menutup mulutnya, ia lupa kalau Haikal sedang terluka.
"Maaf, Aga. Gue gak sengaja."
"Dih, sokab banget manggil gue pake Aga."
"Itu tuh yang gue rasain waktu lo manggil gue pake Ce!" sengit Jisey.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...