47. Noda merah

26 4 0
                                    

Suara ketukan pintu kamarnya mengalihkan fokus Haikal yang tengah sibuk menonton pertandingan sepak bola di ponselnya sambil rebahan. Semenjak Haikal kembali sekolah setelah liburan selama dua minggu, rasanya sangat melelahkan. Padahal liburnya baru dua minggu, belum sebulan.

Haikal melirik pintunya, mendapati Jisey yang berdiri di ambang pintu sambil menatapnya untuk meminta izin. Haikal mendudukkan dirinya di pinggir sofa, dan membiarkan Jisey masuk.

Jisey tak ikut duduk, ia hanya berdiri seraya menyerahkan sebuah buku tulis pada Haikal. Buku tulis berwarna hijau yang berisikan gambar princess di depannya sebagai cover membuat Haikal menautkan alisnya.

"Punya lo, kan?" Jisey langsung membuka beberapa lembar buku tersebut, hanya berisi angka-angka dan tugas yang telah diberikan Pak Andi selaku guru Matematika Wajib mereka.

Bahkan Haikal sendiri lupa kalau ia pernah memberikan bukunya pada Jisey, membiarkan dirinya sendiri dihukum dan menyelamatkan Jisey dari teriknya matahari. Pun Melia yang malah terkena hukuman ringan karena ingin bersama Jisey di masa hukumannya.

"Gue lupa." Haikal beranjak, lalu mengambil buku yang ada di tangan Jisey. Namun, tak semudah itu. Karena Jisey justru tidak membiarkan buku itu terlepas dari genggamannya.

Haikal mengerutkan dahi, lalu beralih menatap Jisey.

"Gak mau ngasih tau alasan kenapa ngasih buku ini ke gue?"

Haikal sedikit terkejut dengan pertanyaan Jisey, namun ia kembali merubah ekspresinya menjadi pura-pura kebingungan. Walau nyatanya ia memang bingung dengan maksud sebenarnya Jisey, mungkin berbeda dengan pikirannya. "Gue bahkan gak tau buku ini ada di lo. Gue pikir, ini hilang."

Jisey berdecak, entah kenapa ia muak mendengar jawaban Haikal yang terdengar berbohong di telinganya.

"Liar."

"Who?" Haikal balik bertanya.

"You."

Haikal menghela nafasnya. "Ce. Udahan." Rasanya sangat tercampur aduk. Kejadian itu jauh dari sebelum semua ini terjadi. Bahkan mungkin, Haikal belum merasa menyukai Jisey waktu itu. Ia hanya membalas budi Jisey yang selalu baik padanya.

"Kenapa gak jujur aja, Kal?"

"Gak ada gunanya juga kalau jujur. Kita udah jadi saudara."

"Oke. Gue tau." Jisey memilih untuk menghentikan pembicaraan ini. Dari pada harus berdebat lagi dengan Haikal.

Namun, satu pikiran kembali mendatangi benaknya.

"Lo tau? Gue punya taruhan. Hm, sebenarnya, ini keputusan sepihak Melia, karena dia yang maksa."

"Apa?"

Jisey tersenyum, seraya menatap buku yang kini tengah ia genggam. Jujur, rasanya bingung. Apakah ia harus benar-benar menuruti taruhan Melia, atau membiarkannya saja sebagai angin lalu?

Tapi Jisey memilih opsi pertama. Saat ini, itu adalah hal yang menarik. Mungkin berbeda lagi jika taruhan itu ia lakukan di hari-hari lalu, atau mungkin besok. Bisa saja semuanya hanya menjadi angin lalu bagi Jisey.

"Gue harus jujur tentang perasaan gue, kalau misal ini beneran buku lo."

Haikal menaikkan alisnya, penasaran dengan taruhan serta kejujuran apa yang akan Jisey katakan.

"Gue harus jujur, mengenai perasaan gue."

"Perasaan lo?" Haikal membeo. Sedangkan Jisey hanya mengangguk, membuat Haikal jadi kembali penasaran.

"Perasaan apa?"

"Perasaan kalau gue bahagia karena bisa liat Mama bahagia."

Haikal berdecih. Sedikit menertawai jawaban Jisey yang sudah pasti sangat jelas. "Ada perasaan lainnya?"

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang