Baru sepuluh menit Melia berada di bawah terik matahari sambil memegang sebuah serok di hadapan Haikal, tapi rasanya kulitnya sudah terbakar habis. Padahal ini baru jam sepuluh pagi.
Karena Melia sibuk kesana kemari menghindari matahari tanpa sadar kalau Haikal di depan sana sudah berdecak berkali-kali dan berusaha untuk memasukkan dedaunan ke dalam serok.
"Lo pegang yang bener, dong!" geram Haikal sambil menangkap seroknya dengan emosi, menempatkan serok tersebut di satu titik.
"Iya! Iya! Gue kepanasan, nih!"
Haikal merebut serok dan menunjuk ke arah lain dengan asal. "Udah lo sana aja, cari yang lain."
Melia menggeleng dengan yakin dan kembali merebut serok yang sedang Haikal pegang. "Pak Andi nyuruh gue untuk pegang serok CUMA SATU ORANG. Dan gue memilih lo, Haikal, sebagai partner nyerok gue."
"Kalau gitu yang bener!"
"Iya, iya," sahut Melia dengan malas, dan berusaha diam dan mengikuti arah sapuan Haikal.
Dengan mata yang masih terfokus pada dedaunan, Melia bertanya pada Haikal, atau lebih tepatnya hanya bertanya dengan angin. Ini bukan pertanyaan yang harus dijawab, hanya saja, rasa penasarannya yang menggila. Lagipula, Haikal tidak mungkin tahu mengenai hal ini.
"Aneh banget, siapa ya yang rela ngasih buku tugasnya ke Jisey? Maksud gue tuh, aneh banget gitu. Apa Sivani salah ngasih orang, ya?"
Sapu lidi yang tadi sibuk menari kesana kemari, kini langsung diam, karena sang pemilik sedikit terkejut mendengar pertanyaan Melia.
"Jadi, Jisey sebenarnya gak bawa tugas?" Melia mengangguk atas pertanyaan Haikal.
"Mungkin jatuh dari segitiga bermuda," sahut Haikal acuh, sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan Melia.
Tanpa memperdulikan dedaunan yang ada di dalam serok, Melia langsung mengangkatnya dan membiarkan serok itu menggantung di udara, seolah hendak memukul Haikal. "Ih! Lagi serius juga! Gue pukul juga lu pake serok!"
"MEL!"
Melia melotot, begitu juga dengan Haikal. Mereka sama-sama terkejut, sekaligus bingung harus berbicara apa.
"Mel, sumpah, lo harus tanggung jawab nyapuin semua daunnya."
×××
Satria meregangkan tubuhnya karena ia sudah duduk berjam-jam di depan laptop untuk menghitung ukuran bangunan mall yang akan ia beri kepada para pekerja. Hari ini ia tidak pergi ke kantor, mengingat tak ada kerjaan yang harus ia lakukan di sana, Satria memilih untuk mengerjakan kerjaannya di rumah.
Satria sesekali mengecek ponselnya, memeriksa apakah ada pesan atau panggilan yang tak terjawab. Tepat disaat itu, tiba-tiba sebuah panggilan datang. Melihat Haikal yang memanggil di sebrang sana, Satria langsung menekan tombol hijau untuk menjawabnya. Terlebih lagi ini masih jam sekolah, Satria jadi sedikit khawatir.
"Kenapa, Ga?"
"Pah! Papa disuruh ke sekolah!"
Satria mengerutkan dahinya bingung, apalagi Haikal di sebrang sana bersuara dengan nafas yang terengah-engah. Mengapa dirinya dipanggil untuk pergi ke sekolah Haikal? Apa putranya itu membuat masalah di sekolah barunya? Atau justru, anaknya yang mendapat masalah? Semua pertanyaan itu muncul di benak Satria.
"Ngapain, Ga? Kamu ada buat masalah?"
Haikal menggeleng di sebrang sana, walau ia yakin ayahnya tak akan bisa melihatnya. Kecuali beliau memiliki ilmu khusus, mungkin bisa. "Emang tiba-tiba semua orangtua murid kelas aku dipanggil. Gak tau mau ngapain. Tapi kalau gak bisa juga gapapa, katanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...