43. New feelings

12 5 0
                                    

Tugas, tugas, dan tugas. Rasanya kepala Jisey akan meledak. Menghapal, meringkas, dan menjawab soal. Seperti makanan rutinnya setiap malam.

Ketukan pintu kamarnya mengalihkan fokus Jisey. Di sana, sang ibu tengah menunggunya di ambang pintu. "Mama boleh masuk?"

"Masuk aja, Ma."

Sarah mendudukkan dirinya di kasur, sambil memperhatikan Jisey yang masih sibuk dengan tugasnya. Sarah merasa sangat damai sekaligus kasihan setiap melihat putri semata wayangnya itu selalu belajar di malam hari. Putrinya itu selalu melakukan yang terbaik, tanpa menceritakan banyak hal padanya.

"Ice sibuk?"

"Kenapa, Ma?"

"Mama cuma mau ngomong, sebentar."

Mendengar dari nada ibunya yang khawatir, Jisey jadi menoleh, memperhatikan sang ibu yang Jisey tangkap sudah memasang raut wajah khawatir.

"Kenapa?"

"Kamu percaya sama Om Satria?"

"Maksud mama?" Jisey balik bertanya. Kurang mengerti dengan maksud pertanyaan dari sang ibu yang terdengar ambigu. Cakupannya sangat luas dan tidak mendetail, Jisey jadi bingung harus menjawab apa.

"Kalau Om Satria jadi papa kamu nanti, kamu bisa percaya sama Om Satria?"

Jisey terdiam untuk sesaat, namun ia kembali bertanya, "Mama sama Om Satria udah fix mau nikah?"

"Kalau nikahnya, iya. Tapi persetujuan kamu sama Haikal juga penting."

Jisey tersenyum. Berusaha mengulas senyuman setulus mungkin. Walau rasanya masih cukup sulit untuk menerima kenyataan bahwa ia mungkin akan memiliki ayah baru. "Jawaban Ice selalu iya, Ma. Ice percaya sama pilihan Mama. Ice belum kenal dunia luar. Dan Om Satria selama ini baik,"

"Dan kalau boleh jujur, sih, Ice suka sama Om Satria."

Hening beberapa saat, lalu Jisey langsung tersadar dengan ucapannya yang seperti terdengar ambigu. "Eh, maksud Ice tuh suka bukan suka gitu, ya, Ma. Aduh, bingung jelasinnya. Tapi Ice suka setiap ngeliat Om Satria sama Haikal. Om Satria baik dan sayang sama Haikal."

Sarah hanya tertawa melihat kepanikan sang anak. Ia jelas paham apa maksud Jisey. Tapi mendengar klarifikasi dari anaknya justru membuat Sarah semakin tertawa. "Mama sayang sama Ice."

Jisey tersenyum, mengulas senyuman tulusnya kala mendengar pengakuan dari sang ibu. Sudah biasa baginya jika ibunya mengatakan hal seperti itu.

"Ice juga sayang Mama."

Sarah meraih surai anaknya, mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih. "Mama bakal selalu sayang sama Ice. Apapun yang terjadi, Ice tetep kesayangan mama."

"Iya, Mama."

"Ice gak apa-apa, kok. Ice seneng liat Mama sama Om Satria bahagia. Nanti, kalau Mama udah nikah sama Om Satria, pasti rasa sayang Mama juga bakal terbagi untuk mereka, kan?" Respon Sarah yang tersenyum sambil menggeleng justru membuat Jisey mengerutkan dahinya karena terkejut.

"Sayang Mama ke Ice masih dan bakal selalu sama. Gak akan berkurang atau dibagi. Ibaratnya Mama kemarin punya lima ember kasih sayang ke Ice, besok Mama jadi punya 15 ember, masing-masing punya lima ember kasih sayang Mama." Jisey lantas tertawa mendengar respon sang ibu yang benar-benar di luar dugaannya. Padahal ia berpikir akan membagi kasih sayang nya, ternyata slot nya yang ditambah seperti perumpamaan ember.

Begitu pula Sarah, rasanya sangat bahagia ketika melihat putrinya yang mendukung serta percaya pasa dirinya sepenuhnya. Alasan ia bertahan selama ini hanyalah putrinya, Jisey. Tak ada yang berarti jika Jisey tak berada di sisinya.

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang