Mungkin sudah sekitar dua puluh menit lamanya Jisey berdiri di luar toilet pria, menunggu Haikal untuk keluar. Entah apa yang Haikal lakukan di dalam sana, Jisey tak berani masuk untuk mengecek.
Di saat benar-benar merasa tidak ada orang di sana, Jisey memberanikan diri untuk memanggil Haikal dengan sedikit berteriak. "Kal! Haikal?"
Masih tak ada jawaban, akhirnya Jisey sebal sendiri. Ingin menerobos masuk dan mendobrak pintu kamar mandi yang dimasuki oleh Haikal. Namun niatnya diurungkan karena yang dipanggil sudah datang dengan santai. Jisey tahu, Haikal sedang meluapkan emosinya tadi, dilihat dari ekspresinya yang sangat gusar.
"Lo ngapain di sini? Nungguin gue?"
Jisey berdecak sebal. Ia tahu sebenarnya Haikal pasti sedang memendam emosinya, hanya saja, pria itu tak menunjukkannya. Dan entah apa alasannya.
"Kal, kenapa?" Jisey memilih untuk bertanya to the point, masih di depan kamar mandi.
"Gak apa-apa tuh. Emang gue kenapa?"
Lagi, Jisey berdecak. "Cerita aja kali, Kal. Masa gak mau cerita sama gue? Sedih nih gue."
Haikal lantas sedikit tertawa mendengar ucapan yang sangat bukan Jisey. Tidak seperti biasanya. "Lebay banget. Udah ah. Balik. Kasian Papa sama Tante Sarah nunggu lama."
"Yakin mau balik?" Jisey bertanya untuk meyakinkan, dan Haikal hanya membalas dengan anggukan.
"Yuk." Haikal berjalan mendahului Jisey, meninggalkan Jisey yang sibuk memperhatikan Haikal yang perlahan semakin melangkah menjauh darinya. Jisey tanpa sadar memelankan langkahnya, bingung dengan keputusannya juga.
Ia juga masih ragu mengenai semuanya. Ini semua terlalu tiba-tiba, Jisey masih belum bisa berpikir dengan keputusannya.
Tapi jika ini pilihan untuk kebahagiaan ibunya, mungkin ia akan mengalah? Entah. Jisey sendiri masih bingung.
Jisey mendudukkan dirinya di sebelah Haikal, bisa dirasakan kalau suasana meja ini kian canggung. Jisey menoleh, menatap Haikal yang sibuk dengan ponselnya. Begitu juga dengan kedua orangtua di depannya yang berusaha menetralkan suasana dengan membiarkan Haikal terlebih dahulu.
Jisey menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha memberanikan diri untuk membuka percakapan di antara mereka. "Habis ini kita ada mau ke mana lagi?"
Atensi ketiga orang itu lantas beralih pada Jisey, dan saling menatap satu sama lain.
"Jisey ada mau ke mana lagi?" Satria kembali bertanya, membuat Jisey jadi bingung sendiri untuk menjawabnya. Ia lantas melirik Haikal, dan bertanya pada pria itu.
"Kalau lo mau ke mana, Kal?"
"Terserah. Gue ngikut." Jisey berdecak sebal, berusaha menahan emosinya yang ingin memukul Haikal, tapi ditahan.
"Kalau Mama? Ada mau ke mana?"
"Mama ngikut aja, Ce. Kan Mama ke sini untuk nganterin kalian."
Jisey langsung menghembuskan nafasnya, pasrah dengan pertanyaan yang tak tahu harus ia jawab apa lagi.
"Jisey sih gak kepikiran mau ke mana lagi. Jadi, terserah Om Satria deh."
"Mau ke villa aja dulu? Biar gak capek kalau kita sampe sana agak malem."
Jisey mengangguk sambil melirik Sarah dan Haikal yang juga menganggukkan kepalanya. Tak bisa dielak juga kalau sebenarnya Jisey lelah. Bukan lelah karena fisik, tapi karena kejutan yang ia dapat hari ini.
Mungkin seharusnya ia senang karena mendapatkan kejutan, tapi kali ini berbeda. Entah perasaan apa yang harus Jisey rasakan sekarang.
Sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya mereka telah sampai di sebuah villa yang berada di daerah pegunungan, masih di sekitar kawasan Bedugul. Setelah memasukkan barang di kamar masing-masing, Satria dengan Haikal dan Sarah dengan Jisey tentunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction[Completed] Memiliki ayah yang suka kerja di luar kota adalah salah satu hal yang paling Haikal sukai. Karena itu, ia jadi bisa melihat suasana baru. Bagi Haikal, perpindahan kali ini adalah takdir yang terbahagia, sekaligus patah hati terbesarnya...