Biasakan vote sebelum membaca, jangan lupa komen dan share setelah itu. Thank you.
Enjoy.
***
Society is too harsh, we fall without knowing what the cure is.
📖 Jangan Berhenti Baca di Bagian Ini 📖
Ia menempelkan keningnya pada sebuah nisan putih sebelum benar-benar meninggalkan tempat yang selalu ia kunjungi rutin setiap satu bulan sekali, si perempuan kembali menaburkan air wewangian di atas rumput yang menutupi bentala.
"Maaf kalau sore ini bunda absen buat jenguk kamu. Bunda lagi nemenin Ayah meeting di Andorra." Ia tersenyum tipis, setelahnya ia melirik si perempuan yang tengah menatapnya sembari mengelus punggunynya.
"Abang pamit, ya, kamu jaga diri baik-baik. Bulan depan kita ketemu lagi." Ia kembali mengelus nisan di hadapannya lalu beralih menggandeng tangan si perempuan untuk mengikutinya berdiri.
Setelah itu, mereka meninggalkan pemakaman, daerah rindang nan penuh pohon disekelilingnya itu, sore ini ramai, banyak manusia menjenguk jiwa raga yang telah di ambil Sang pencipta. Mereka meluapkan rindunya dengan merapalkan doa terbaik.
"Besok sore lo ada acara, Sha?" Ia memasangkan seatbelt untuk dirinya dan untuk seseorang yang ia sebut "Sha."
"Nggak kayaknya, kenapa?"
"Dinner, yuk?"
***
Sudah lebih dari satu jam Asha menutup mulutnya semenjak Alin menginjakkan kaki di rumah bersama Prama. Putri kedua Prama itu sama sekali tidak menyambut baik kedatangan kedua orang tuanya. Ruang makan ini nampak hening, padahal ada empat manusia yang sedang melaksanakan makan malam bersama. Avel—si bungsu—putra Prama sedang ada kunjungan belajar bersama sekolah di Bali.
"Kamu nggak ada tanggapan soal surat yang saya sampaikan melalui Arsya?" Akhirnya Prama membuka mulut setelah makanan di piringnya habis, putri tunggalnya tersebut menggeleng dengan wajah menunduk.
"Bagus."
Asha menghela napas, ia menyilangkan sendok dan garpu yang baru saja ia pakai di atas piring lalu beralih menatap Alin, Prama dan Arsya secara bergantian. "Tapi Asha nggak akan ngikutin apa yang Papa mau di poin terakhir."
Asha bangkit dari duduknya, sebelum Prama kembali bersuara gadis itu meninggalkan ruangan, tak lama ia kembali, Prama sudah menghadangnya di bawah tangga. "Maksud kamu apa?" cicit Prama, Alin yang baru saja datang dari dapur mengelus punggung Prama, ia memberi kode kepada Asha agar lebih baik mengalah pada keputusan sang ayah.
"Pa, Asha bisa ngikutin peraturan Papa buat nyelesein pendidikan dengan baik, turut patuh dalam tata tertib keluarga, tapi untuk yang terakhir, Asha nggak bisa. Asha itu punya mimpi sendiri, Pa." Asha mengembalikan surat yang beberapa hari lalu diberikan Arsya ke tangan Prama, kepala keluarga itu memandang surat yang dikembalikan anak tengahnya.
"Kamu melawan papa? Kamu mau melepas diri bagaiman? Punya uang kamu?" bentak Prama, suaranya semakin meninggi. Sementara dari ruang keluarga Arsya menatap Asha penuh kesinisan.
"Kalau ancaman Papa cuma karena aku nggak punya uang sendiri buat lanjut kuliah, Papa salah, Pa. Aku bisa cari uang sendiri dan berhenti nerusin bisnis keluarga kayak kak Arsya."
BRAK
Arsya membanting sebuah tabloid ke lantai, matanya menyala dengan tangan mengepal. Lelaki itu menghampiri Asha dan Prama yang sedang beradu sengit. Prama menatap tajam Arsya, memerintahkan sulungnya untuk masuk ke dalam kamar dan tidak ikut campur dalam masalah ini. Melihat Arsya menderukan napasnya kasar dengan menahan amarah, Alin buru-buru mneyusulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkside: Nightmare
Teen Fiction● H I A T U S ● ➡️ WAJIB DIBACA ⬅️ ⚠️Rate 17+⚠️ "Dalam pekatnya hitam, aku hidup." "Tidak ada jalan keluar kecuali percepat selesaikan." Genre: Teenfiction-Thriller-Family ⚠️Warning Section⚠️ Jangan mencoba mencari siapa pemeran utama di da...