Biasakan vote sebelum membaca, jangan lupa komen dan share setelah itu. Kalau suka masukin reading list, biar nggak ketinggalan kalau sudah dipublish. Thank you.
Enjoy.
***
Seseorang yang membenci penghianatan pun bisa melakukan penghianatan.
📖 Jangan Berhenti Baca di Bagian Ini 📖
***
"Yah Kak, maaf." Matanya membulat seraya jantungnya berdegub lebih kencang karena tindakan ceroboh yang baru saja ia lakukan. Seorang lelaki menatap miris topinya yang sudah tergeletak di atas paving, mereka saat ini berada di lantai tujuh salah satu gedung pusat bimbingan belajar di tengah ibu kota."Nggak papa, gue bisa ambil sekalian pulang," lirihnya sembari menatap topinya dari ketinggian, lantas matanya beralih pada manik mata seorang gadis yang baru saja menubruknya dari belakang, membuatnya yang hendak memakai topi reflek melempar topinya ke bawah sana.
Seorang lelaki itu mengerjap beberapa kali sembari mengucek matanya. "Kenapa Kak?"
"Tolong cubit gue kalau ini bukan mimipi." Lelaki itu mengguncangkan pelan bahu gadis di hadapannya. Jelas saja dengan menuruti perintah, gadis itu segera mencubit lengan lelaki di hadapannya.
"AW." Lenguh si lelaki, sementara gadis itu meringis.
"Eh, terlalu kenceng, ya, nyubitnya?"
Lelaki itu menggeleng, merekahkan senyumnya. "Gue Langit, lo siapa?" Ia menyodorkan tangannya. "Kayaknya Tuhan emang ngirim lo buat gue." Ia mengelus puncak kepala si gadis, membuat si gadis mengerutkan kening padahal ia belum memperkenalkan dirinya balik.
Si lelaki mengeluarkan sebuah foto polaroid dari waist bagnya, ditaruhnya di samping wajah si gadis. "Gue nggak ngerti harus seneng atau terharu atau justru sedih ketemu lo." Langit menujukkan foto polaroidnya.
Beberapa saat gadis itu berhasil dibuat melongo, tetapi Langit segera mengibaskan tangannya. "Gue mau kenal sama lo, so kasih nomor lo?
Langit menyodorkan gawainya. "Gue bukan orang jahat."
Si gadis mulai mengetikan nomornya di gawai Langit. "Kita kayaknya perlu ngobrol banyak, besok lo ada bimbel?" tanyanya, si gadis mengangguk lagi pelan.
"Kita ketemu di sini lagi, oke? Gue tunggu. Dah." Langit berpamitan dengan senyum ramah, meninggalkan si gadis yang kini diam terpaku.
Gue nggak salah lihat? batin gadis itu pada dirinya sendiri.
"Sha ... Sha," teriak Kana, ia mengibaskan tangannya dengan cepat di depan wajah Asha.
"Hah?" Asha mengerjapkan matanya, terbangun dari buaian lamunannya, mengerutkan keningnya lalu menatap Kana.
"Kenapa, sih? Lo banyak pikiran?" Kana menaikan satu alisnya.
"Lo ada masalah sama kak Langit?" Nisha kini menggeser duduknya, merapat pada Asha.
"Kalian berlebihan deh. Gue nggak ada masalah apa-apa sama Langit. Mending kita lanjut belajar." Asha berangsur duduk di lantai, meraih kembali buku paket matematikanya.
"Sha, kita udah temenan lama. Lo kalau ada masalah jangan lupa bagi cerita sama kita. Jangan sampai kita denger dari orang lain dulu, lo tahu guna kita di sini, kan?" Nisha menepuk-nepuk pelan bahu Asha, Kana mengangguk setuju.
"Iya, Nisha. Tapi gue beneran nggak ada apa-apa sama Langit." Kana menggelengkan kepalanya.
"Sha, yuk balik." Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Kana menghentikan ucapannya, sesaat ia memajukan dagunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Darkside: Nightmare
Teen Fiction● H I A T U S ● ➡️ WAJIB DIBACA ⬅️ ⚠️Rate 17+⚠️ "Dalam pekatnya hitam, aku hidup." "Tidak ada jalan keluar kecuali percepat selesaikan." Genre: Teenfiction-Thriller-Family ⚠️Warning Section⚠️ Jangan mencoba mencari siapa pemeran utama di da...