● H I A T U S ●
➡️ WAJIB DIBACA ⬅️
⚠️Rate 17+⚠️
"Dalam pekatnya hitam, aku hidup."
"Tidak ada jalan keluar kecuali percepat selesaikan."
Genre: Teenfiction-Thriller-Family
⚠️Warning Section⚠️
Jangan mencoba mencari siapa pemeran utama di da...
Biasakan vote sebelum membaca, jangan lupa komen dan share setelah itu. Thank you.
Enjoy.
***
In this world there are feelings that make people restless or dissolve in sadness. Humans call it regret.
📖 Jangan Berhenti Baca di Bagian Ini 📖
***
Aqila menyandarkan kepala pada sandaran bathub, sejak kemarin kepalanya terasa lebih berat sepuluh kali lipat. Sungguh saat Wealthy bertanya mengenai kepergiannya, Aqila tidak sepenuhnya berbohong, ia memang berniat untuk healing sejenak setelah menyelesaikan urusannya.
"Come on, Qil," ucap Aqila pada dirinya sendiri.
Sepuluh menit berendam, ia memutuskan untuk menekan salah satu tombol remote. Tirai di sisi kirinya terbuka lantas menampilkan gedung-gedung yang berdiri megah di tanah Austin.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(pict from google)
Aqila mencoba meyimpulkan simpul sabit, meskipun pada akhirnya dia gagal dan berakhir termenung menatap langit-langit kamar mandi. Setelah merasa bosan Aqila memejamkan mata, detik itu juga ia menenggelamkan kepala beserta seluruh badannya.
"Permisi, Nona Aqila!"
Kepala Aqila menyembul ke atas air begitu suara yang amat ia kenali terdengung keras. Bukan menjawab, Aqila justru menaikan volume televisi yang menempel pada dinding di hadapannya–sepertinya karena Aqila tidak begitu memperhatikan. Sesuai harapan, suara langkah kaki si pemilik suara yang memang memiliki akses untuk keluar masuk kamar luxury hotel milik Aqila, terdengar menjauh.
Belum sempat menenggelamkan kepalanya lagi, gawainya malah berdering. Bukan panggilan yang sejak kemarin ditunggu, tapi tidak begitu mengecewakan. Buru-buru Aqila memasang ekspresi teduh nan menenangkan.
"Qila!" Vivian memanggil heboh, Ceysa di sebelahnya sampai mengelus dada akibat ulah Vivian.
"Are you good?" selidik Cesya, ia berdecak sebal. Bukan karena Aqila, melainkan Vivian yang terus menempel padanya. "Kalau kita baik di sini, baik banget pokoknya! How about you?"
"I'm good." Aqila memasukan salad yang sejak tadi dianggurkan ke dalam mulutnya. "Ce, Viral?"
"Don't worry, Qila. Bali pasti bakal bikin senyum Viral kita balik lagi, trust me."
Hanya anggukan serta senyum tipis yang Aqila tunjukan sebagai respons. Nampak di seberang sana Cesya dan Vivian melakukan hal yang sama.
"Listen to me, Qila. Kita bakal tunggu lo balik. So, enjoy it," lirih Vivian.