Inojin mengernyit, sorot mata bingungnya seakan meminta penjelasan lain yang lebih mudah ia pahami, kecerdasan otaknya sepertinya tidak bisa menangkap kalimat sederhana yang disampaikan gadis ini di depannya.
Berbeda dengannya, gadis, ah tidak, wanita di depannya itu malah tersenyum dengan tenang, sangat tenang seperti aliran sungai. Menatap teduh pria bermanik biru itu yang tengah dirundung kebingungan.
"Apa maksudmu?" Tanya Inojin akhirnya, "Kenapa aku harus bertanggung jawab atas bayimu?"
"Bukankah seorang ayah sudah harusnya seperti itu?"
"Jangan konyol Sumire, kita tidak pernah melakukannya."
"Apa kau melupakan malam indah kita? Yaah.. aku sangat kecewa."
Inojin semakin bingung, perkataan Sumire tenang sekali, terdengar sangat menyakinkan di telinganya, sel-sel otaknya sibuk mengubek-ubek ingatan mana yang membuktikan bahwa ia pernah melakukan hal gila itu selain dengan istrinya, terutama pada wanita ini? Tidak mungkin.
Dia sangat yakin, seratus persen yakin, dia hanya melakukan itu pada istrinya, atas pelaksanaan ide gila ibunya.
Jika menyentuh istrinya saja adalah hal terakhir yang Inojin inginkan selama ini, apa mungkin dia begitu berani menyentuh hal berharga dari wanita lain?
"Aku bukannya tidak ingat," Inojin mendekat, menciptakan sedikit jarak, mencoba membuat Sumire ketakutan dan menghentikan sandiwaranya.
Setidaknya, yang ia anggap sebagai sandiwara. "Aku tidak pernah menyentuhmu lebih dari saat itu."
Jarak sempit dan sorot mata penuh kebencian itu tidak menciptakan sedikit gertakan untuk Sumire, dia tetap tersenyum tenang, sorot matanya masih seteduh mentari pagi. Dia mendongakkan kepalanya, menatap dengan pasti pria yang ada di depannya.
"Jika kau takut aku akan menyebarkan kelakuan bejatmu, tenang saja, aku tidak akan menyebarkannya."
Tidak. Inojin tidak takut, karena ia yakin ia tidak pernah melakukannya. Namun, tiba-tiba saja Inojin memperluas jaraknya lagi, ia mundur teratur sampai terantuk meja kerjanya sendiri.
Menyadari sesuatu. Yang mungkin terjadi lagi saat ini.
Jika aku benar-benar tidak ingat apa yang pernah ku lakukan pada Himawari, apa berarti aku juga melakukannya pada Sumire secara tidak sadar?
"Argh!" Inojin meremas rambutnya sampai berantakan, berusaha mengingat kapan terakhir kali ia pernah minum-minum lagi.
"Kenapa? Kau sudah mengingat sesuatu?"
Satu ingatan muncul, dia pernah menghadiri undangan Shikadai dan Mitsuki untuk minum bersama, ia mabuk berat sampai Himawari memilih tidur di kamar lain karena tidak tahan dengan bau anyir alkohol dari mulutnya.
Tapi, tidak ada Sumire di sananya. Dia yakin betul, Shikadai lah yang membopong tubuh linglung nya dan mengembalikannya pada istrinya di rumah.
Tidak ada Sumire disana.
Benar-benar tidak ada.
"Buktikan." Inojin kembali menoleh pada wanita itu, yang tetap setia berdiri di tepi jendela yang setengah terbuka tirainya.
"Apa?"
"Jika itu benar bayiku." Nadanya sangat datar, Inojin berupaya menciptakan sebuah gertakan, ancaman untuk Sumire.
Lagi-lagi, upaya itu gagal, wanita itu tetap tenang dan teduh. Suara hak sepatunya berjalan mendekati Inojin yang dirundung rasa bingung dan penyesalan yang samar.
"Dasar, para pria sama saja ya? Kalian hanya mau menikmati kami saja."
"Haha iya oke-oke, akan ku buktikan." Sumire menjawabnya setelah mendapatkan tatapan mata lurus nan tajam dari ayah bayinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanfictionKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...