Beberapa minggu sepertinya berhasil dilalui dengan tenang. Hima menjalani setiap pemeriksaan rutin dengan baik dan bersenang-senang dengan Sarada dan Chocho setiap akhir pekan, entah pergi mencari tempat makan yang baru, menonton film, pergi ke taman hiburan, menikmati konser musik dan sebagainya. Inojin juga meluangkan waktunya sebisa mungkin untuk mengecek kondisinya setiap saat. Ponsel Hima rasanya meledak setiap Inojin menegaskan ia harus memberinya kabar setiap 10 menit. Satu hal yang Hima tidak tahu hanyalah, ada orang lain yang juga ikut mengawasinya.
"Kak Inojin belum telfon? Tumben," sindir Sarada saat mengecek arlojinya, memastikan setiap 10 menit ponsel temannya itu pasti berbunyi. "Dia kau racuni apasih?"
"Tidak tahu ya, aku tidak pernah masak juga," ujarnya sembari membalas pesan Inojin, ya kali ini suaminya itu memilih untuk memberinya pesan singkat.
"Hah?! Kau pasti bercanda." Hima hanya menggeleng sembari menyimpan ponselnya ke saku celananya kembali, "Benar kok. Semenjak pindah, dapur itu punyanya Kak Inojin."
Sarada hanya menggeleng tidak percaya, bisa-bisanya manusia seperti itu kini setakluk itu pada istrinya yang dulu enggan sekali dia lirik barang sesaat ini. "Memangnya dia bisa masak?"
"Masakannya lebih enak dari punyamu." Himawari entah kenapa mengatakan itu semua dengan tanpa ekspresi sama sekali, seperkian detik kemudian ia sadar akan ucapannya dan seketika merangkul erat bahu Sarada yang mulai sebal dengan balasannya. "Tidak-tidak! Masakanmu tetap yang terbaik!"
"Kau semakin mirip suamimu itu ya? Anakmu pasti laki-laki." Sarada membalas sekenanya rangkulannya.
"Mungkin? Memangnya bagaimana membedakannya?"
"Tidak tahu sih.. Belum pernah dicek?" Hima hanya menggeleng disusul dengusan frustasi temannya itu.
"Astaga Hima! Kau ini--Eh?" Kata-katanya terpotong secara tidak sengaja begitu tubuhnya terhuyung paksa dengan seseorang yang melintasi keduanya dengan cepat, wanita paruh baya itu menundukkan badannya dengan cepat seraya meminta maaf lalu pergi sekenanya. "Ada apa itu? Aneh sekali."
Hima menatap kepergian Ibu itu dengan bingung, meyakini ada sesuatu yang terjatuh disitu. Benar saja, sehelai sapu tangan terjatuh rapi tepat di samping sepatunya. Ia menunduk sedikit untuk mengambilnya. "Kurasa ini miliknya, harus kita kembalikan?"
"Tidak usah dikejar, kita taruh ke pusat informasi saja." Keduanya mengganguk setuju dan berjalan ke pusat informasi, ya hampir, sebelum Chocho akhirnya menghambur ke arah keduanya membawa tiga kotak kue namagashi, membuat Hima menjatuhkan sapu tangan yang ia genggam sedari tadi.
"Jauhi Inojin anak manis, sedari awal, dia itu hanya boleh jadi milikku."
"Eh?" Hima terkesiap membaca sesuatu yang tersingkap dari sana, secarik kertas yang sepertinya disobek paksa dari lembaran majalah lama, tinta pena yang sedikit berhamburan dari garis hurufnya, dan efek timbul yang hampir membuat kertasnya berlubang.
"Ada apa Hima? Apa itu?" Sarada membuyarkan lamunannya, ia segera meremas sobekan kertas itu dan menyelipkannya di saku roknya. "Bukan apa-apa, sepertinya hanya sampah."
Mereka berdua tidak ambil pusing dengan jawaban acuh Hima, walau wajahnya seperkian detik menunjukkan ekspresi ketakutan, yang entah karena apa itu. Setelah benar menitipkan sapu tangan pada pusat informasi mereka melanjutkan perjalanan mereka.
Rute kali ini giliran Sarada, setelah Chocho berhasil mengambil giliran pertama untuk menjelajahi sudut bazar kuliner tahunan itu, kini Sarada mengajak mereka semua ke pusat kreativitas dekat dari sana.
"Sejak kapan kau tertarik pada seni? Aku kaget loh kau tidak ambil jatahmu ke toko buku," ujar gadis berkulit sawo matang itu yang entah kenapa jadi ikut sangat tertarik dengan seni, begitu ia memilih kanvas bergambar mana yang akan ia warnai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
Fiksi PenggemarKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...