Beberapa minggu setelah itu tidak ada yang berubah, Inojin serta Himawari tidak sadar dan terkesan acuh tak acuh atas apa yang terjadi pada mereka berdua malam itu.
Hari ini, tepat satu bulan Inojin mengajar. Artinya, tugasnya sebagai guru pengganti sudah selesai. Ada sedikit kekecewaan yang muncul pada seorang Himawari, karena kesempatannya untuk bertemu dengan suaminya yang sebentar lagi menjadi mantan itu semakin sempit.
"Tidak terasa satu bulan aku mengajar kalian, besok Ryuuki-sensei akan mengajar lagi seperti biasa. Terimakasih atas segala perhatian kalian saat aku jadi guru pengganti. Baiklah, ada pertanyaan?" Ujar Inojin pada akhir jam pelajarannya.
Ia berusaha agar sosoknya tidak terlihat mencari seseorang, namun seberapa kuat pun ia mencoba. Ada semacam gaya magnet yang kuat menariknya untuk selalu memperhatikan sosok itu.
Yang sebentar lagi, bukan menjadi miliknya.
"Sensei!"
"Iya? Ada yang ingin kamu tanyakan Uchiha?" Ujarnya, begitu menoleh pada sosok raven itu.
"Kau tidak ada niatan untuk menjadi guru tetap kah?" Balasnya, sebenarnya malas sekali ia harus bertemu dengan guru dingin ini lagi. Ini semua hanya demi sahabatnya yang ingin tetap bertemu dengan pria itu walau nanti mereka akan berpisah.
Inojin menatap Himawari sekejap, kemudian kembali fokus pada Sarada. Ia seakan paham, ini semua demi calon mantan istrinya. Yang mungkin saja ingin tetap bertemu dengannya.
"Tidak, ada beberapa urusan yang harus ku urus." Inojin menjawabnya dengan tenang, "Aku sangat yakin tidak ada satupun dari kalian menginginkan aku lebih lama disini bukan?"
Semuanya terdiam. Karena apa yang dikatakan itu memang benar, paras tampannya seakan terhapus karena sikapnya yang terlalu menyebalkan. Baru mendengar seorang guru yang memberikan seratus soal latihan untuk dikerjakan dalam satu malam? Iya dialah orangnya.
Walau Inojin sangat tahu dengan pasti. Ada satu orang yang menginginkan dia tetap tinggal, gadis itu. Bermanik biru saphire yang kini hanya diam termenung. Tak bersuara apapun, entah ada dimana sekarang pikirkan nya.
"Aku anggap itu iya. Tidak ada pertanyaan lagi?"
Semua murid hanya terdiam. Inojin menghela napas dan mengucapkan terimakasih kemudian berlalu meninggalkan kelas.
YES!!!
Terdengar sorakan bahagia dari para murid akibat berhentinya Inojin dalam pengajaran. Tapi tidak dengan gadis satu ini.
"Maaf Hima, aku tidak bisa mencegahnya."
"Tak apa, itu bukan salahmu. Huftt aku pulang duluan ya? Maaf, aku harus ke pengadilan." Himawari bangkit membereskan mejanya yang masih dipenuhi buku-buku.
"Kau jadi bercerai?"
Himawari mengangguk lemah, "Sayangnya iya."
"Tidak ada cara lain begitu? Aku yakin dengan sangat kau tidak ingin bercerai darinya. Dan bagaimana dengan ayah ibu mu? Sudah diberitahu? Bagaimana dengan ayah ibu nya kak Inojin?"
"Aku sudah memberitahu papa dan mama. Ya mereka kecewa, tapi mau bagaimana lagi? Soal ayah dan ibu, aku tidak tahu. Itu urusan kak Inojin." Himawari keluar dari bangkunya dan bersiap melangkah menuju keluar kelas. "Aku duluan ya? Sampaikan maaf ku untuk Chocho!"
"Baiklah, hati-hati!" Sarada membalas lambaian tangan Himawari, meninggalkan rasa iba pada hati es nya. Walau dia tergolong cuek dalam apapun, jika ini menyangkut sahabatnya dia tidak bisa diam saja.
"Tidak! Aku harus melakukan sesuatu!" Sarada mengeluarkan ponselnya dengan cepat, mendial sebuah nomor dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya.
Nada sambung terdengar, Sarada segera memberi salam. Menyampaikan niatannya dibalas dengan teriakan terkejut yang membuatnya hampir melempar ponselnya sendiri.
"Biasa saja kak!"
"Bagaimana aku bisa biasa saja? Tidak lucu namanya adikku akan jadi janda di umur segini! Sudah cukup sabar aku melihatnya menikah duluan sebelum aku, sekarang aku harus diam saja saat dia akan bercerai?"
"Aku sudah membujuk Himawari, tapi sepertinya dia pasrah-pasrah saja. Argh! Aku jadi bingung!"
"Memang dasar Inojin brengesek! Berani-beraninya dia mau mempermainkan adikku begitu saja! Sialan! Awas saja kalau ketemu ku patahkan tulangnya!"
"Wuo wuo santai kak, begini saja. Sepertinya kak Inojin belum pulang, kakak kesini saja. Pura-pura menjemput Himawari bagaimana?" Usul Sarada kemudian.
"Ide bagus! Cerdas juga otak mu itu! Baiklah aku akan segera kesana."
Telepon terputus, Sarada hanya cukup ikut mengikuti alur yang akan diperankan sang kakak sahabat karibnya itu. Dia tahu, persentase keberuntungannya sangatlah kecil, namun apa salahnya bila mencoba?
>>••<<
"Kau akan datang kan?" Tanya Inojin saat menemukan manik shapire itu melewati gerbang dengan wajah tertunduk lesu.
Pria itu hanya mendapatkan anggukan sebagai balasan. Gadis tadi hanya memilih melanjutkan langkahnya dan berniat mencari angkutan umum untuk sampai di pengadilan.
Walau tumpangan gratis ada di depan matanya, namun ia tahu itu semua tidak akan jadi miliknya lagi.
"Himawari!!!!"
"Ka-kakak?! Ada apa kakak datang kemari?" Seru Hima terkejut mendapati kakaknya itu tiba-tiba berjalan ke arahnya dan menghambur memeluknya.
"Aku hanya merindukan adik kecil ku saja, tidak apa kan? Hei Inojin!" Sapa nya pada pria yang masih memasang raut wajah datar seperti biasa.
"Hai juga, ada apa kau kemari?"
"Telinga mu rusak ya? Aku kan sudah bilang aku rindu dengan adikku, aku jarang bertemu dengannya kan setelah kau curi!" Nada bercanda sangat jelas terdengar namun di telinga pria Yamanaka itu tidak terdengar begitu. Ia merasakan ada sindiran disana.
"Maksudmu?"
"Hei tenanglah! Buang raut menyeramkan itu dari wajah mu. Maksudku kan setelah Hima menikah dia jadi tinggal dengan mu dan aku jadi jarang bertemu dengannya mengerti? Masa otak cerdas mu tidak bisa memahami ini?"
"Aku mendengar jelas kata curi dalam kalimat mu. Dan jika kau keberatan, tak masalah, aku akan mengembalikkan adikmu lagi." Pria itu berkata dengan datar, menimbulkan kecemasan bagi satu-satunya gadis disana. Boruto dengan sengaja menarik Inojin ke arah lain untuk bicara.
"Ada apa?"
"Dasar brengsek! Adikku sudah rela-rela menikah dengan pria brengsek sepertimu! Dan kau? Seenaknya mengembalikkan dia begitu!"
"Itu yang kau mau kan? Kalau aku mengembalikannya dia akan tinggal di rumah mu lagi, dan kau bisa bertemu lebih sering dengannya."
Boruto naik pitam, ia tidak pernah semarah ini sebelumnya. Pria di hadapannya kini benar-benar berhasil menyulut emosinya. Ya mungkin dia menyebalkan dan kekanak-kanakan, tapi menyangkut bunga matahari kesayangannya. Dia tidak bisa hanya menjadi penonton.
"Ingat ya, adikku bukanlah barang bergaransi yang bisa kau beli lalu kau kembalikan lagi setelah kau tidak puas dengan barang itu!"
"Aku tidak menganggap Hima sebagai barang, aku tidak serendah yang kau pikirkan. Aku tahu, ini semua dilandaskan paksaan dan tidak dapat bertahan lama."
"Apa yang sudah kau lakukan sudah sangat membuat nama keluarga ku rendah di hadapan mu! Aku tahu apa yang membuatmu begini, ck! Katanya cerdas tapi termakan omong kosong?"
"Kau tadi berka-"
"KAK BORUTO! KAK INOJIN! TOLONG AKU!"
Suara itu membuat mereka menoleh dan langsung menghampiri pusat suara berasal. Boruto yang baru saja tiba dengan napas tersengal-sengal berkata, "Apa yang-- "
"HIMA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
Hayran KurguKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...