Persetujuan

251 25 13
                                    

Sedari pagi, Himawari benar-benar menjadi bisu terhadapnya, seolah mereka kembali seperti dulu. Namun kali ini, sang anak ayam itu bukanlah gadis itu lagi.

Percakapannya dengan 'calon istrinya' tadi cukup mudah, dia bahkan tidak menyangka wanita itu akan mengatakan ya dengan cepat. Ia padahal sudah siap menghadapi percakapan alot berjam-jam, syukurlah itu tidak terjadi.

Pesan sang kakak ipar berputar di kepalanya, haruskah ia pulang malam ini? Inojin cukup malas dan tidak sanggup lagi membahas apapun tentang keputusan gilanya ini dengan siapapun.

Biarlah seluruh dunia membencinya, hanya ini pilihan yang adil untuk anak-anaknya, pikirnya.

Masalah lainnya, adalah restu dari orang tuanya, Inojin sudah jelas melayangkan surat bunuh dirinya sendiri pada ibunya jika memohon izin untuk hal ini. Tapi ia tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan orang tuanya.

Himawari mungkin mengizinkannya tapi entah apa yang akan dipikirkan kedua orangtuanya, mungkin dia benar-benar akan mati dua kali.

"Kita bisa melakukannya diam-diam, bersembunyi selamanya, aku tidak masalah dengan itu."

"Ketuk pintu dulu." Wanita bersurai ungu itu mundur dan mengetuk pintu sebelum mendekati Inojin menyerahkan sebuah map. "Apa yang kau katakan tadi?"

"Aku tahu kau pasti takut meminta izin, ini hal yang tidak benar untuk orang yang tidak tahu masalah kita, jadi tidak masalah jika kita melakukannya tanpa izin, aku akan terima itu."

Serius? Kenapa Sumire sekarang menjadi sangat patuh dengan keadaan? Bukannya biasanya setiap wanita ingin memiliki pengakuan terhadap hak dan cintanya?

"Ini memang tidak benar."

"Lalu kenapa kau menyarankan itu padaku?" Sumire duduk di atas meja kerja atasannya itu, "Asal bayiku mendapatkan namamu, menikah atau tidak, itu bukan urusanku."

"Aku tidak punya pilihan." Inojin mengacak-acak rambutnya frustasi, "Shikadai bilang aku harus terikat secara hukum denganmu agar bayi itu mendapatkan namaku."

Sumire mengulum senyumnya, tujuan hidup yang selama ini dia gantungkan sudah ada di depan matanya, ia hanya tinggal menanti saat dimana pria di hadapannya ini menjadi miliknya. Meski, tidak sepenuhnya.

"Bagaimana dengan Himawari?"

"Dia tidak bicara denganku sejak pagi."

"Tapi kau sudah bilang kan?"

Inojin mengangguk, "Aku bilang, tapi aku belum mengatakan siapa orangnya. Himawari pergi di tengah pembicaraan kami."

Sumire mendekatinya dan mengusap bahunya lembut, menarik tubuh itu untuk bersandar dengan nyaman pada kursinya. "Tenanglah, dia masih remaja, emosinya masih tidak stabil, biarkan saja dia dulu."

"Haah sepertinya tidak akan semudah itu."

"Kenapa?" Sumire mengernyit, di pikirannya menangani gadis remaja putus sekolah itu pasti akan sangat mudah.

"Boruto mengetahui rencanaku."

Wanita itu terkejut sebelum akhirnya kembali mengontrol emosinya, bersikap tenang seperti biasanya sebelum kembali bersuara.

"Boruto pasti tidak mau adiknya berbagi atap dengan madunya, itu akan menyakitinya." Sumire kembali berdiri tepat di depan Inojin yang menatapnya kosong, "Setelah kita menikah, aku akan tinggal terpisah dari kalian, kau bisa mengunjungiku atau pulang ke rumahmu kapan saja."

"Baiklah, ayo kita atur itu."

Sumire mengulum senyum, kali ini, ia hanya harus bersikap baik dan mengikuti alurnya dengan tenang. Sangat tenang.

Can We Fall In Love? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang